Jika perasaan ini ketakutan, kenapa aku merasa kamu hilang ketika ada gadis lain di dekatmu? ~Sharena
Langit mendung pagi ini, menambah jumlah puing-puing kemalasan yang sedang coba diatasi oleh Sean. Anak itu masih bergelung nyaman di bawah selimut tebal miliknya. Membuka matanya tapi masih gelap. Bagaimana tidak gelap? selimut hitamnya menutupi seluruh badannya.
"Baiklah lima menit lagi. Biarkan aku menikmati surga ini lima menit lagi!" Gumamnya seorang diri. Hujan mulai turun, seolah alam merestuinya untuk membolos sekolah pagi ini. Alarmnya sudah berbunyi sekitar dua puluh menit yang lalu, dan seperti biasa benda malang itu sudah teronggok hancur dibawah kasurnya
"Sean! Cepat bangun! Ada temanmu menunggu dibawah!” Raina sudah berteriak sangat kencang, tapi Sean masih tidak bergerak.
Hingga tiba-tiba anak itu mengingat sesuatu, kemudian mengernyit heran dan reflek langsung bangkit mengakhiri suasana nikmat bagaikan di surga versinya.
"Siapa?" tanyanya heran, Sean tidak pernah seakrab ini dengan seseorang sampai datang ke rumahnya sepagi ini. Raina menghedikan bahunya tidak tahu.
"Cepat bangun! mandi dan temui dia. Sebelum aku melemparmu beserta kasurmu itu ke tengah lautan!” Ibu hamil satu ini sudah mulai memerintah dengan menyebalkan, membuat Sean mendengus sebal sambil beranjak ke kamar mandi.
"Aku berangkat sekolah kakak ipar!” Niko menaikan sebelah alisnya melihat kelakuan adiknya yang hanya berpamitan kepada istrinya saja, seolah menganggapnya tidak ada.
"Aku masih hidup dan ada disini kalau kau tidak tahu bocah nakal.” Sean berhenti sejenak sambil menatap Niko malas kemudian melanjutkan langkahnya tanpa berpamitan seperti yang Niko harapkan.
"Dasar bocah nakal sialan!” Teriak Niko keras. Dia sudah beranjak hendak memukul anak itu tapi langsung berhenti dan tersenyum melihat pelototan istrinya.
Sean keluar pintu dan tubuhnya langsung membeku melihat siapa yang sedang menunggunya diluar. Tiba-tiba moodnya yang buruk bertambah buruk.
"Hai Sean, lama tidak bertemu. Hari ini aku pindah ke sekolahmu. Aku pikir lebih baik aku berangkat dengan orang yang aku kenal agar tidak bingung.” Gadis itu tersenyum manis seperti biasanya. Masih terlihat begitu cantik seperti biasanya. Bahkan wanginya-pun masih sama seperti yang Sean ingat. Dulu mereka teman, tapi sekarang Sean membenci teman salah satunya gara-gara gadis ini.
"Darimana kau mendapat izin untuk kembali mengusik hidupku Angeline Moeise?”
"Ayolah Sean, setiap orang memiliki kesempatan kedua, kenapa aku tidak?” Gadis itu masih menatap laki-laki di hadapannya dengan pandangan kerinduan yang begitu dalam.
"Sayangnya aku tidak sebaik itu kalau kau mau tahu.” Sean berjalan meninggalkan Angeline yang sudah mulai berkaca-kaca. Tapi bukan Angeline namanya kalau tidak keras kepala. Dia tetap berjalan menyamai langkah Sean sambil bercerita seperti biasanya. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Seolah tidak pernah ada luka besar yang pernah dia torehkan begitu dalam kepada laki-laki disampinya.
Sean melangkah di gerbang sekolah dengan wajah ditekuk dan aura yang benat- benar membuat siapa saja enggan untuk berada di dekatnya. Tapi hampir seluruh penjuru sekolah memandang gadis cantik di sebelah Sean yang sedari tadi berbicara seolah begitu akrab dengan si pemarah itu. Termasuk Sharena yang diam-diam memandang mereka sambil meremas kotak bekal ditangannya. Entah perasaan macam apa yang sedang di rasakannya. Seperti ada sesuatu darinya yang diambil seseorang, atau sedikit tercubit di hatinya.
Tanpa sadar dia menghembuskan napasnya lelah dan berbalik hendak menuju kelasnya, kemudian berhenti kembali setelah melihat Celine di belakangnya sedang menatapnya penuh ejekan. Kedua lengannya di tekuk di depan d**a. Menggambarkan begitu jelas bagaimana sikap menyebalkan yang ada didirinya tumpah ruah hingga Sharena ingin segera menyingkir dari tempatnya sekarang. Sayangnya tidak semudah itu, untuk menyingkir dari sana minimal Sharena harus mendapatkan sedikit kalimat ejekan terlebih dahulu.
"Merasa dibuang Sharena yang malang?” Bisiknya sengit diiringi dengan tawa mengejek ketiga temannya di belakang. Sharena kembali meremas kotak bekal di tangannya.
"Gadis miskin sepertimu memang tidak pantas bermipi terlalu tinggi. Mengerti sekarang dimana posisimu?” Ucapan jahat itu entah kenapa saat ini terdengar begitu menyakitkan. Sharena kesal pada diri sendiri, karena selalu diam tidak mampu melawan. Dan dia semakin membenci dirinya sendiri karena sempat merasa lega ketika Sean mengatakan bisa menjadikan dirinya sebagai kekuatan untuknya. Nyatanya.
Nyatanya dia hanyalah bagian dari permainan Sean saja. Yang mungkin begitu menyenangkan menjadikannya objek untuk Sean melepaskan rasa bosan. Sean bahkan tidak mau menganggapnya teman. Lalu kenapa dia harus berharap sebesar itu pada laki-laki yang bahkan tidak akan peduli padanya jika tidak ada yang menguntungkan?
Air matanya jatuh seiring dia berlari meninggalkan gerombolan Celine yang tertawa mengejek. Sharena membolos jam pelajaran pertamanya, hanya untuk menangis sesenggukan di gudang belakang. Kali ini tidak ada Sean yang datang dan mengajaknya membolos ke rumah bibi penyihirnya. Dia hanya sendirian, hingga tanpa terasa bukan hanya jam pelajaran pertama yang dia lewatkan. Tapi semua jam pelajaran hari ini, karena bell pulang sekolah sudah berbunyi.
Sharena menunggu sekolah menjadi sepi, kemudian dia akan pulang dan bersikap ceria seperti tidak ada yang terjadi. Gadis itu menghapus sisa-sisa air mata yang tertinggal di pipinya. Kemudian beranjak dari tempat persembunyiannya dan tiba-tiba mematung melihat siapa yang sedang duduk bersandar di tembok samping gudang.
"Sudah selesai menangisnya?” Pandangan orang itu tertuju pada kotak bekal ditangan Sharena.
"Berikan milikku?” Sharena masih diam. Membuatnya mendengus kesal. "Sharena berikan nasi goreng ku! Aku sudah kelaparan dari pagi dan harus menunggumu menangis dulu. Lihat betapa kurus perutku sekarang menahan lapar dari pagi.” Ada perasaan hangat yang hinggap di hati Sharena mengetahui Sean menemaninya menangis sedari tadi.
Kemarin setelah mengantar Sharena pulang dari tempat bibi penyihirnya, Sean memang berpesan dengan nada perintah tak terbantahkannya untuk dibuatkan nasi goreng oleh Sharena.
"Kamu menungguku menangis?” Ucapnya polos. Sean tidak sabar lagi dan menyambar kotak nasi goreng ditangan Sharena, kemudian membukanya dengan mata berbinar.
"Ayo duduk disitu, temani aku makan!” Mereka berdua duduk beralaskan potongan meja usang di pojokan belakang gudang. Terdiam menikmati pikiran masing-masing. Sean dengan nasi gorengnya, dan Sharena dengan masalahnya.
"Besok buatkan lagi!” Sean memberikan kotak bekal yang sudah tandas dilahapnya ke tangan Sharena. "Ayo kita pulang, beritahu aku dimana rumahmu!” Sharena memandang laki-laki yang sedang berjalan di sampingnya. Ada perasaan lain yang dengan kurang ajarnya masuk ke relung hatinya tanpa izin. Dan sharena tahu, dia harus menyiapkan tembok yang tinggi untuk menghalanginya. Dia mulai merasa bahwa Celine benar, orang miskin seperti dia tidak pantas bermimpi terlalu tinggi.
"Aku pulang sendiri saja Sean, lagipula rumahku dekat dan sepertinya tidak searah denganmu.” Sean mendengus tidak suka mendengar penolakan Sharena.
"Aku tidak me—"
"Sean, akhirnya kamu keluar, aku sudah menunggumu dari tadi.” Mereka berdua berhenti dan sedikit terkejut, terlebih Sharena yang kembali di serang perasaan seperti tadi pagi melihat gadis cantik yang terlihat begitu serasi bersama Sean tersenyum manis pada laki-laki itu. Bahkan senyum itu terlihat terlalu manis untuk ukuran senyum seoarang teman.
"Ya sudah Sean aku duluan.” Sharena menunduk sambil terus berjalan melewati gadis yang memandangnya sedikit tidak suka itu. Ada ketidak realaan di hatinya meninggalkan Sean berdua saja dengan gadis cantik itu. Tapi memangnya dia siapa? berani sekali memiliki perasaan seperti ini pada Sean. Dia menepuk kepalanya sendiri, mencoba menyadarkan pikirannya agar kembali ke tempatnya yang seharusnya.
***