Sore ini Kintan pulang lebih awal. Ia berniat memasakkan sesuatu untuk suaminya.
Sepulang dari pesantren. Kintan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur.
Setelah selesai berbelanja Kintan pulang ke rumahnya.
Drrt Drrt.
Dering ponsel Kintan masuk ke pendengaran. Kintan melirik layar gawainya. Tertera nama ‘Mami Audy’di layarnya.
“Assalamualaikum Mi”.
“Wa alaikum salam. Kintan apa kabar nak?”
“Alhamdulilah Kintan sehat mi. Mami sendiri gimana?”
“Mami juga sehat nak. Oh iya mami mau ngasih tau kalo in shaa Allah nanti malam mami sama papi mau ke rumah kalian. Boleh kan?”
“Tentu boleh banget Mi. Kebetulan Kintan lagi masak. Mami mau di masakin apa?”
“Apapun yang kamu masak pasti kami makan nak”.
“Ya udah kalo gitu mi”.
“Tapi jangan bilang Vian ya kalo mami mau ke rumah kalian”.
“Kenapa kok nggak boleh bilang Mi?”
“Biar jadi kejutan aja. Soalnya Vian tu anaknya bawel”.
“Ya udah Mi kalo gitu. Mami hati-hati di jalan ya nanti”.
“Iya nak. Assalamualaikum”.
“Wa alaikum salam”.
Kintan melanjutkan kegiatan memasaknya. Tidak terasa waktu sudah menunjuk waktu magrib. Adzan magrib berkumandang membelah angkasa. Sebuah panggilan yang tidak bisa di tinggalkan.
“Sudah hampir selesai semuanya. Sekarang waktunya sholat dulu”. Kintan bergumam. Lekas di bukanya celemek yang menutup pakaiannya.
Gegas ia ke kamarnya. Mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban sholat magrib.
Usai sholat Kintan kembali berkutat dengan masakan di dapurnya.
Ting tong.
Suara bel pintu berbunyi. Kintan segera menuju pintu dan mengintip dari lubang pintu.
Di lihatnya bu Audy dan pak Bram di luar sedang menunggu. Segera Kintan membuka kunci dan memutar handle pintu.
“Assalamualaikum sayang”.
“Wa alaikum salam mi”.
Kintan menyalami mertuanya satu persatu.
“Silakan masuk mi”. Ucapnya ramah mempersilakan.
“Jadi Cuma mami yang di suruh masuk nih?” Goda pak Bram sembari berpura-pura merajuk.
“Ya dengan papi juga. Maaf Kintan nggak sebut lengkap”. Kintan meralat ucapannya.
“Iya nggak papa. Papi juga Cuma bercanda”. Pak Bram mengusap kepala menantunya.
“Nih mami bawakan oleh-oleh. Dari toko dessert kesukaan mami”. Bu Audy mengulurkan sebuah paperbag yang di bawanya pada Kintan.
“Makasih banyak Mi. Lain kali nggak perlu repot-repot”. ucap Kintan sambil mengambil uluran paperbag dari mertuanya.
“Nggak repot kok sayang”.
Karena Cuma ada mertuanya. Kintan menurunkan cadarnya.
“Ma shaa Allah nak. Kamu cantik sekali. Baru kali ini mami lihat muka kamu”. Bu Audy terpana dengan kecantikan menantunya itu.
“Alhamdulilah Mi. Ini anugerah dari Allah yang harus di jaga”. Kintan tersipu mendengar pujian mami mertua.
“Mami sama papi duduk dulu sambil tunggu aku nyiapain makan malam di meja ya”.
“Mami bantuin ya sayang”.
“Nanti mami capek. Mami istirahat saja”.
“Eits, Mami masih cukup kuat kok untuk sekedar bantu siapin makan, sayang”.
Akhirnya mereka berdua menyiapkan makan malam bersama. Bu Audy menceritakan masa kecil Vian pada Kintan. Mereka mengobrol dengan sangat seru, tertawa dan bercanda bersama.
"Lain kali kalo main ke sini. Mami bakal bawain foto-foto masa kecilnya Vian". Ucap bu Audy.
"Iya mi. Aku jadi penasaran sama sosok mas Vian kecil". Kintan mulai terbiasa akrab dengan mertuanya, ternyata mertuanya begitu baik dan penyayang.
"Oh iya. Selama ini Vian bersikap baik kan sama kamu sayang?" Bu Audy bertanya penasaran.
"Iya Mi. Sangat baik malah". ucap Kintan berbohong. Biarlah ia menanggung sendiri sikap buruk Vian padanya selama ini. Yang penting aib suami dan rumah tangganya selalu terjaga.
Suami adalah pakaian bagi istrinya, begitupun sebaliknya. Kintan selalu berusaha menjadi pakaian yang bagus bagi suaminya. Yang bisa menutup aib serta cacat suaminya. Dan ia berharap semoga usahanya dalam rumah tangganya di berkahi dan rumah tangganya menjadi sakinah. mawaddah wa rahmah.
Vian yang baru pulang dari kantor dan datang bersama Deby. Seperti biasa pasti Deby yang memaksa untuk ikut Vian pulang. Vian yang dengan alasan tidak tega menolak akhirnya membiarkan Deby ikut. Padahal awalnya ia menolak. Takit jika Kintan mengadu.
Vian yang melihat mobil orang tuanya yang terparkir di halaman, mulai berkeringat dingin.
“Napa beb. Kok diem? Yuk turun”. Deby menarik tangan Vian.
“Aduh nggak bisa. Orang tua aku ada di sini. Pasti si Kintan itu sudah mengadu sama mereka. Makanya mereka sampai datang ke sini. Bisa abis aku”. Vian mulai cemas.
“Ya udah kita hadepin sama-sama”.
“Kamu mau mati hah?” Vian geram melihat tingkah Deby hingga tanpa sadar dia berkata kasar pada gadis itu.
“Ya aku nggak maksud kaya gitu”. Deby mulai berkaca-kaca. Itulah senjata andalannya yang membuat Vian takluk.
“Ya maaf beb. Aku nggak maksud ngomong kasar. Tapi ini emang belum saatnya. Sekarang kamu turun dan balik naik taxi ya”.
“Ish kamu jahat banget”.
“Nggak ada pilihan lain beb”.
“Anterin aku. Lagian rumah aku Cuma di kompleks sebelah. Nggak jauh juga. Kalo kamu nggak anterin aku. Aku bakal masuk nemuin orang tua kamu”.
Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Vian menuruti keinginan Deby. Di putar lagi mobilnya dan melaju ke rumah Deby.
Yang tanpa Vian tau kalo sebenarnya pak Bram tau tentang kepulangannya. Tapi tidak tau jika ada Deby dalam mobilnya.
Setelah mengantar Deby Vian kembali pulang ke rumahnya.
Vian memarkir mobilnya di garasi. Setelah itu masuk ke dalam rumahmya.
“Assalamualaikum”. Ucapnya memberi salam. Padahal biasanya ia tak pernah memberi salam.
“Wa alaikum salam”. Jawab ketiga orang itu.
“Loh. Kayanya tadi kamu udah pulang di depan. Kok balik lagi?” tanya pak Bram.
“Ah tadi ada yang urusan kecil yang kelupaan pi”. Ucapnya beralasan.
“Ya udah. Kamu bersihin badan dulu baru kita makan malam”. Ucap papinya.
Pikiran Vian mulai ketar-ketir. Takut setelah makan malam papinya akan menghakiminya.
“Iya pi”. Ia menuju kamarnya. Selesai mandi dan berganti pakaian ia turun lagi ke bawah. Menyapa orang tua dan istrinya.
“Masak apa sayang?” Ucapnya bertingkah manis sambil mencium puncak kepala Kintan. Membuat Kintan menegang.
‘Ada apa dengan mas Vian’. Batinnya bertanya-tanya.
“Ish. Romantis-romantisannya nanti deh. Sekarang kita makan dulu”. Tegur pak Bram.
Kintan yang masih terus melamun dan tegang. Vian memegang tangannya. Bukannya rileks. Kintan malah semakin tegang.
“Ada apa?” Vian berbisik di telinga Kintan. Membuat Kintan kaget.
“Ah. Eng enggak”. Kintan terbata dengan wajah memerah.
Vian yang melihat ekspresi Kintan seolah tersenyum penuh kemenangan.
‘Ini balesan tadi pagi. Karena udah buat gue juga Jantungan’. Batin Vian tersenyum melirik wajah Kintan yang seperti kepiting rebus.
Kintan menetralkan degub jantungnya. Ia mengambilkan Vian nasi dan lauk yang sudah di masaknya.
“Wah pas banget kamu masakin makanan kesukaan Vian juga papi nak”.
“Ah. I iya Mi. Mumpung kita makan bareng”. Jawab Kintan asal. Tak mungkin ia mengatakan pada mertuanya jika baru mengetahui makanan kesukaan suaminya.
Mereka melahap makanannya dalam diam. Selesai makan Kintan membereskan meja makan. Dan mencuci semua alat makan.
“Mi. Aku mau sholat isya dulu ya”. Kintan berpamitan setelah selesai mencuci peralatan makan. Kebetulan adzan isya berkumandang saat mereka tengah makan tadi.
“Iya sayang. Nanti gantian sama mami”.
Kintan mengangguk. Ia menaiki tangga menuju kamarnya.
“Loh kok kamu masuk di situ?” Ucap pak Bram yang melihat Kintan masuk kamar lain. “Bukannya tadi kamar Vian di depannya?” Pak Bram menunjuk kamar yang berseberangan dengan kamar Vian.
Vian dan Kintan sama-sama membatu. Bingung mencari alasan.
“Ah i itu”. Kintan terbata.
“Ah. Kamar itu Cuma buat ruang sholat aja Pi”. Vian beralasan.
“Ah i iya pi”. Kintan menguatkan alasan suaminya.
“Oh kirain kalian tidur terpisah”. Ucap pak Bram spontan.
Kembali keduanya membeku mendengar ucapan pak Bram.
“Mana ada lah pi. Hehe masa pengantin baru tidur pisah. I iya kan sayang”. Vian melirik Kintan. Setelah menjawab kikuk pertanyaan pak Bram.
“I iya Pi. Mana mungkin”. Kintan kembali menguatkan ucapan Vian.
“Aku juga mau sholat bareng Kintan ya mi”. Dengan segera Vian berdiri dan hendak menyusul Kintan.
“Alhamdulilah nak. Akhirnya kamu mau sholat”.
“I iya Alhamdulilah mi. Aku naik dulu”. Dengan segera Vian menyusul Kintan. Dan keduanya masuk di kamar Kintan.
Didalam kamar, Kintan tampak ragu. Apakah dia harus membuka hijabnya atau tetap memakainya. Ia belum pernah menampakkan auratnya pada orang lain selain abah, ummi, dan adiknya. Dan sekarang ia harus membukanya di hadapan Vian.
"Kenapa?" Tanya Vian heran melihat keraguan yang terlihat jelas di wajah Kintan.
"Emm, eng enggak apa".
"Ya udah sana cepetan wudhu". Perintah Vian.
"Mas Vian nggak wudhu?"
"Ya lu sholat aja. gue enggak".
"Kok gitu?"
"Ya urusan gue lah. Udah sono".
"Mas, sholat itu kewajiban Kita loh, bukan hak. bagi Kita yang mengaku seorang muslim". Kintan mencoba menasihati suaminya. ia berharap semoga kebekuan hati Vian bisa sedikit mencair.
"Ah udah, malah ceramah. Buruan".
Mendengar jawaban suaminya, ada rasa kecewa di hati Kintan. Namun Kintan berjanji, ia takkan menyerah. Ia akan terus mengingatkan suaminya agar bisa berubah menjadi lebih baik, sambil terus berharap pada sang pengendali hati.
"Eh, tunggu". Vian memanggil saat Kintan hendak masuk kamar mandi.
"Ada apa mas?" Kintan menghentikan langkahnya.
"Tadi pagi lu naik di mobil siapa?" Akhirnya Vian tak dapat menahan rasa penasaran yang sedari tadi ia tahan dan sembunyikan karena jaim.
"Mobil?"
"Ah, belaga lagi. Lu pikir gua nggak tau". Vian sedikit emosi.
"Ah, tadi pagi. Ceritanya ban motor aku bocor. Waktu mau dorong ke bengkel aku ketemu sama ustadz Ghani. Jadi di kasih tumpangan dan motor aku di ambilkan orang lain untuk diantar ke bengkel". Kintan menjelaskan.
"Lu cuma berdua aja di mobil?" Viab semakin penasaran.
"Ya enggak lah mas. Kalo cuma berdua aku nggak bakal mau". Kintan menjeda. "Lagian tadi ada ummi Fatimah di dalam mobil. umminya ustadz ghani". Jelasnya.
Entah mengapa kelegaan terpancar dari wajah Vian. Namun kembali ia memasang wajah datar. Kintan yang melihat itu merasakan rasa bahagia menjalar di hatinya. walaupun terlihat cuek dan kasar bahasa suaminya. Namun ia merasa itu merupakan bentuk kepedulian suaminya.
"Gue minta nomor HP lu". Vian menyorkan ponselnya. "Jangan kepedean. Gue cuma nggak mau hal begini terulang lagi. Gue nggak mau kalo sampe papi atau mami tau hubungan kita yang sebenarnya". Dengan cepat Vian meralat.
Kintan mengambil ponsel Vian. saat baru mengambil ponsel Vian, Kintan melihat foto Deby menjadi wallpaper HP Vian. Dan entah mengapa. Hati Kintan terasa seperti ada yang mencubitnya, sakit. Baru saja ia merasa bahagia karena perhatian kecil suaminya. Namun lagi lagi ia harus kecewa karena harapan kosong. Bagai di lambung angan, dan seketika di hempaskan ke dasar bumi. Namun ia berusaha sekuat hatinya untuk menahan rasa kecewa tersebut.
setelah memasukkan nomor Hpnya Kintan menyerahkan kembali ponsel Vian. Dan segera masuk kamar mandi tanpa mengucapkan apapun. Vian jadi terheran melihat sikap Kintan.
"Nape dia. aneh". Ucapnya malas tau.
Sementara Kintan melaksanakan ibadah wajib, Vian justru asik bermain game di ponselnya. Namun Vian selalu mencuri pandang ke arah istrinya. Dan anehnya, entah mengapa di sudut hatinya ada rasa yang menghangat melihat Kintan begitu khusyuk dalam Sholatnya. Semoga itu hidayah.
Selesai melaksanakan kewajiban. Mereka keluar dari kamar dan menuju ke ruang tamu kembali.
"Udah selesai?" Ucap pak Bram.
"Udah pi". Vian dan Kintan menjawab bersamaan.
"Oh iya. Mami sama papi mau nginap di sini malam ini". Ucap Bu Audy tiba-tiba.
"Apa?" Kintan dan Vian sama-sama kaget mendengar ucapan maminya.