Sekamar.

1156 Words
“Malam ini, mami sama papi bakal nginep di sini ya”. Ucap bu Audy enteng. “Apa?” Vian dan Kintan menjawab serempak. Keduanya sama-sama terkejut. Di luar prediksi ternyata orang tua Vian justru akan menginap. “Kenapa? Nggak boleh ya?” Tanya bu Audy bingung. “Emm. Bukan gitu mi. Cuma...” Davian mencoba mencari alasan. Sedangkan Kintan hanya terdiam. Bingung mau ngomong apa. “Cuma apa? Atau jangan-jangan ada yang kalian sembunyikan? Kalian nggak tidur sekamar ya?” Pertanyaan Bu Audy semakin membuat mereka salah tingkah. “Apa? Kalian berdua nggak tidur sekamar?” Pak Bram menimpali. “Ya ya nggak mungkin lah pi. Masa pengantin baru nggak tidur sekamar. Iya kan sayang?” Vian langsung merangkul Kintan. Kintan yang bingung semakin bingung. Di tambah rangkulan Vian yang tiba-tiba. Vian mengedipkan matanya meminta bantuan Kintan. “Iya mi. Ki .. Kita tidur sekamar kok”. Ia terpaksa berbohong. “Ah syukurlah. Lalu apa yang kalian takutkan?” Tanya bu Audy menyelidik. “Ah mami. Mana ada. Kita nggak takut apa-apa kok. Mami sama papi duduk dulu di gazebo belakang ya. Aku mau bantuin Kintan beberes kamar. Sama nyiapin kamarnya buat kalian”. Ucap Vian sambil mendorong orang tuanya menjauh. “ya udah. Cepetan. Mami capek mau istirahat. Mau sholat isya juga dulu”. “Oke siap bos”. Vian meletakkan tangannya di kening seperti orang menghormat. “Cepetan beresin barang-barang lu. Jangan sampe ada yang ketinggalan”. Vian berbisik pada Kintan begitu kedua orang tuanya di taman belakang. “I iya. Terus barang-barang aku mau taruh di mana mas?” tanya Kintan bingung. “Ah, taro di kamar gue dulu. Besok kalo mami sama papi pulang baru lu balikin lagi”. Dengan segera mereka membereskan barang milik Kintan. Lalu memasukkan ke dalam tas. Dan Vian dengan hati-hati meletakkan barang Kintan di kamarnya. Selesai semua Kintan memasang sprei baru di kasur itu. Lalu keluar kamar. Mereka berdua ngos-ngosan karena ngebut membereskan barang. Setelah mengatur nafas dan mulai tenang Vian terlebih dahulu menyusul orang tuanya. Sementara Kintan membuat teh hangat dan menyiapkan camilan untuk mereka semua. “Ngeteh mi”. Tawar Kintan sambil meletakkan teh dan biskuit dari nampan yang di bawanya. “Makasih nak”. Ucap Bu Audy. “Ternyata malam-malam santai di tempat ini enak juga ya”. Mereka berempat duduk di kursi santai. Membahas hal-hal random yang tidak jelas. . “Kintan tau nggak. Kalo dulu waktu Vian masih kecil dia itu rese banget. Tapi dia juga penyayang. Adenya Vian yang sekarang kuliah di luar negeri itu korban kerese’an Vian loh. Kalo udah gangguin adeknya bisa sampe nangis-nangis. Tapi dia bisa jadi super hero kalo adeknya di gangguin sama orang lain”. Bu Audy menceritakan kenangan masa kecil Vian. “Apaan sih mi. Bikin malu aja cerita gituan”. Vian menyahut. “Masa sih Mi?” Kintan menjawab antusias. “Ia bener nak. Dan tau nggak serial bob*ho?” Bu Audy menyebut serial film lawas dari negeri tirai bambu. “Ah, yang gendut itu ya mi?”. “Iya nak. Dulu Vian badannya segendut itu. Tapi setelah umur sepuluh tahun, Vian mulai diet dan rajin olahraga. Jadi badannya bisa seperti sekarang ini”. Mereka bertiga tertawa kecuali Vian. Ia merasa aib masa lalunya terbongkar. Namun, diam-diam Vian melirik istrinya saat sedang tertawa. Sebuah lesung pipi dan gingsul runcing menambah kecantikan Kintan saat sedang tertawa. Ada yang berdetak tak karuan di dalam sana. Di dalam d**a Vian. Ia memegang dadanya. ‘Apaan sih lu. Diem nggak’. Batinnya memarahi detak jantungnya. “Nanti kalo mami ke sini lagi. Mami bakal bawain foto kecil Vian”. “Iya mi. Kintan juga penasaran”. Ia tersenyum. Matanya menyipit seperti anime jepang saat sedang tersenyum. Memang segala hal yang berkaitan dengan Kintan itu indah. Makanya mendiang abahnya meminta Kintan menutup wajahnya dengan niqob. “Kalo Kintan dulu kecilnya seperti apa?” Tanya bu Audy. Mendengar pertanyaan itu. Vian diam-diam memasang telinga. Walaupun gestur tububnya seolah cuek. Ternyata jiwanya begitu penasaran. “Nggak ada yang menarik mi. Sejak lulus MI Kintan melanjutkan sekolah di asrama pondok pesantren”. Ucapnya. “Ummi sama abah kamu pasti bangga punya anak gadis yang sholiha seperti kamu nak”. Ucap bu Audy seolah ikut merasakan bangga memiliki Kintan. “Nggak sebaik itu mi. Kintan masih banyak kekurangan”. Setelah mengobrol banyak hal, tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Pukul 22.00 mereka masuk ke dalam rumah. “Istirahat ya nak. Maaf mami merepotkan”. Ucap bu Audy mengusap bahu Kintan. “Nggak repot mi. Kintan malah seneng ada mami sama papi di sini”. Bu Audy dan pak Bram masuk ke dalam kamar yang sudah di siapkan Kintan. Kintan masuk ke dalam kamar Vian. Kecanggungan mulai terasa memenuhi ruangan berukuran 4x4 itu. “Lu.. Lu tidur di bawah atau di sofa terserah. Yang penting jangan di ranjang gue”. Ucap Vian sok cool padahal ia sendiri merasa canggung dengan kehadiran Kintan. “Iya mas. Kalo mas Vian capek tidur aja. Aku mau wudhu dulu”. “Nggak usah nyuruh-nyuruh. Gue juga tau”. Vian berbaring di pembaringan. “Jangan lupa berdo’a mas”. Kintan mengingatkan. Lalu segera masuk ke kamar mandi. “Udah bawel”. Ia menutup matanya. Padahal sebenarnya Vian belum bisa tidur. Ada perasaan gelisah karena harus sekamar dengan perempuan. Walaupun Kintan sudah sah menjadi istrinya. ‘Bodo. Dia kan bini lu. Hak lu lah mau ngapain’. Suara hatinya berbisik. ‘Ah. Nggak punya harga diri banget lu. Lu mau bertekuk lutut di hadapan dia? Mana janji lu yang mau buat dia nyerah. Dasar laki nggak konsisten'. Sisi jahatnya kembali mempengaruhi. ‘Halah. Banyakan mikir lu. Ada yang pasti di depan mata nggak di manfaatin. Sok banget. Padahal jiwa laki lu meronta-ronta’. ‘Lu maju, berarti kalah'. ‘seberapa kuat sih lu bakal nahan hasrat sama diri lu. Dasar sok'. Begitulah kedua sisi hatinya saling berdebat. Antara rasa dan ego. Rasa yang baru bertumbuh tanpa di sadari. Dan keegoisan yang besar yang mencoba menekan rasa. Entah siapa yang akan menang nantinya. Sambil terus mendengar perdebatan hatinya. Vian tak sadar jika Kintan sudah keluar dari kamar mandi. Vian melihat Kintan yang masuk dengan jilbab besar miliknya. Saat keluar pun masih sama. “Lu kagak gerah apa pake baju kayak gitu?” Tanya Vian penasaran. “Enggak mas. Udah biasa”. Kintan beralasan. Padahal sebenarnya ia tidak pernah tidur dengan kerudung besarnya. “Ya udah serah. Jangan lupa matiin lampu”. “Iya mas”. Setelah mempersiapkan tempatnya untuk tidur. Kintan mematikan lampu dan bersiap tidur. *** Pukul dua dini hari. Vian terjaga dari tidurnya karena rasa haus yang melanda. Air minum di atas nakas sudah kosong. Mau tidak mau ia harus bangun untuk mengambil air minum di dapur. “Aahh”. Vian berteriak kencang karena melihat bayangan putih dalam kegelapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD