perasaan aneh.

1288 Words
Pukul dua belas malam Vian pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Diantarkan oleh Alex. Beberapa kali Alex menekan bel pintu. Tak ada jawaban. Setelah menunggu cukup lama akhirnya Kintan membukakan pintu. “Anu mbak. Ini bang Viannya lagi teler”. “Bisa tolong bawa di kamarnya saja mas. Mari saya antar”. Kintan menunjukkan kamar Vian pada Alex. “Ini Hp sama kunci mobilnya saya taruh di meja”. Ucap Alex menatap wajah Kintan yang tertutup cadar dengan intens. “Iya mas. Makasih udah ngantar mas Vian”. Kintan yang di tatap merasa risih. “Saya permisi”. Alex meninggalkan rumah Vian. “Walaupun Cuma keliatan matanya doang. Tapi dah keliatan jelas kalo bininya Vian itu cakep. Vian Vian. Bodo banget lu”. Alex bergumam dan masuk ke mobil yang di bawa Mahesa. Mereka pergi meninggalkan kediaman Vian. Kintan mengunci kembali pintu depan. Sejenak ia ragu apakah ia harus masuk ke kamar Vian untuk melepas sepatu dan memperbaiki posisi tidur Vian. Akhirnya ia memilih masuk dan mengurusi suaminya itu. Setelah selesai Kintan kembali masuk ke dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mengurusi Vian yang pulang larut. Kintan melaksanakan sholat tahajud. Ia memohon agar Allah membukakan pintu hidayah untuk suaminya. “Ya Allah. Aku tidak menyalahkan takdir yang menimpaku. Semua yang terjadi padaku sekarang ini, semua atas kehendak-Mu. Bukan salah istiqhoroh yang aku kerjakan. Namun hikmah yang ku ambil, mungkin Engkau ingin agar mas Vian bisa berubah menjadi lebih baik melalui pernikahan kami. Berikanlah ia petunjuk dan hidayah-Mu. Jadikanlah ia suami yang sholeh dan berjalan lurus. Ku serahkan semua takdir kehidupanku di tangan-Mu ya Allah sang penciptaku”. Doa di tutup dengan Kintan yang menangkupkan telapak tangan di wajahnya. Doa tulus dalam tangisan. Ia menangis dan berharap Allah akan memberikan hikmah indah dari kesulitannya. “Ini ujian dari Allah. Aku harus kuat”. Kintan menyemangati dirinya sendiri. Ia naik ke ranjang membaca doa lalu terlelap. Adzan subuh berkumandang membuat Kintan terjaga. Kintan bersiap wudhu. Ia pergi ke kamar Vian dan membangunkannya untuk sholat subuh. Mulai hari ini ia bertekad untuk mengambil hati suaminya. Mengejar cinta suaminya. Dan mempertahankan bahteranya. Ia yakin suatu saat nanti Allah akan membuka hati suaminya untuk mencintainya. “Mas, bangun ayo sholat subuh”. Kintan mengetuk pintu kamar Vian. Beberapa kali panggilan Vian tidak juga menyahut. Dengan ragu. Kintan memberanikan diri untuk masuk. “Mas”. Di goncangkan tubuh Vian pelan. “Ayo sholat subuh”. Di dalam mimpinya sayup Vian mendengar suara lembut seorang wanita memanggilnya. Seperti srdang berkelana ia mengikuti jejak suara itu. Semakin lama kesadarannya mulai datang kembali. Ia mengerjapkan matanya. Pandangannya kabur menatap wajah Kintan yang memakai mukena putih. “Ahh”. Vian terlonjak kaget. Di kiranya hantu. Ia menutup matanya. ‘Tapi kalo hantu kok cantik’. Pikirannya yang sadar mulai bisa berpikir. Di buka tangan yang menutupi matanya. “Ngapain lu masuk kamar gue?” Vian berteriak kesal pada Kintan. Sebenarnya ini adalah cara dia mengembalikan image nya karena baru saja terlihat konyol di hadapan Kintan. “Ayo sholat subuh mas”. Kintan bersuara. “Ah ogah. Udah lu sana sholat sendiri. Gue masih ngantuk”. “As sholatu khoiru minan naum mas. Sholat itu lebih penting dari pada tidur”. Kintan masih membujuk suaminya. “Ah nggak butuk ceramah lu. Buru keluar”. Akhirnya Kintan memilih keluar. Tapi ia akan terus berusaha. “Jangan lupa tutup pintu”. Vian berteriak. Kintan menutup kembali pintu kamar Vian. “Heh. Ganggu orang tidur aja”. Kembali Vian menarik selimutnya. Tapi matanya tidak bisa kembali terpejam. “Sialan. Ternyata bukan Cuma cantik. Tapi suaranya juga lembut banget. Ah”. Vian mengacak rambutnya. “Hah. Gue nggak boleh tergoda. Kali aja Cuma topeng”. Lagi-lagi setan masih tidak membiarkannya membuka hati untuk istrinya. Karena tidak bisa tidur lagi. Vian memutuskan untuk mandi. Selepas mandi Vian mencium aroma masakan yang menggelitik hidungnya. Ia memilih duduk sebentar dan main game di gawainya. Pukul 5.30 Vian keluar kamar dan berniat lari pagi. Ia melihat Kintan yang sedang memasak menyiapkan sarapan. “Mau kemana mas?” Kintan mengejutkan Vian yang sedang lewat melintasi dapur. “Bukan urusan lu”. Vian menjawab acuh. Sudut matanya melirik Kintan yang tetap memakai hijab tapi tanpa cadar. Melihat Kintan yang terlihat malas tau dengan jawabannya membuat hati Vian menjadi kesal. “Gue mau lari pagi”. Vian akhirnya menjawab. “Oh. Ya udah hati-hati”. Vian kembali pura-pura cuek. Ia memasang headset lalu menutup kepalanya dengan topi jaketnya. Empat puluh lima menit berlalu. Vian kembali ke rumah. “Sarapan dulu mas. Sudah siap”. Vian melirik meja makan. Rendang sapi dan beberapa lauk tersaji. Air liurnya meleleh melihat rendang sapi di meja makan itu. Aroma wangi menggelitik. Dengan cepat ia menarik kursi dan duduk. Dengan cekatan Kintan menyendokkan nasi ke piring. Dan mengambilkan lauk. Di layaninya dengan baik suaminya. Tanpa banyak basa basi Vian melahap makanannya. “Mas udah cuci tangan?” Suapan Vian berhenti mendengar pertanyaan Kintan. Vian langsung berdiri dan menuju westafle. Kintan tersenyum melihat tingkah suaminya. “Jangan lupa berdoa mas”. Ucap Kintan lagi saat Vian hendak menyuapkan makanannya. “Udah, bawel”. Vian terlihat kesal. Namun Kintan justru tersenyum. Selesai makan Vian kembali ke kamarnya. Ia mandi lagi dan bersiap ke kantor. “Mas, ini bekalnya aku taruh di meja”. Kintan kembali berbicara saat Vian melintasi dapur hendak berangkat kerja. “Heemm”. Tanpa banyak bicara ia mengambil rantang bekalnya. “Mas”. Kintan kembali memanggilnya saat Vian hendak pergi. “Paan lagi?” Dengan ragu Kintan mengulurkan tangannya. Vian melihat apa yang di lakukan Kintan. Ia hanya diam. “Salim”. Ucap Kintan malu. Akhirnya Vian mengangkat tangan dan di sambut dengan Kintan. Kintan mencium hangat punggung tangan suaminya. Ada gelenyar hangat di hati Vian saat bibir Kintan menyentuh punggung tangannya. Vian terheran padahal ini bukan kali pertama Kintan mencium punggung tangannya. Tapi kenapa rasa yang saat ini berbeda. Setelah Kintan melepas tangannya. Vian jadi salah tingkah. Ia pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Vian menyandarkan kepalanya di kursi mobil. Jantungnya berdetak tak karuan. “Napa sih lu nggak bisa diem”. Vian menepuk dadanya akibat jantungnya yang selalu berdisco. “Dah nggak waras nih gue”. Vian mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ia tersenyum-senyum sendiri di dalam mobilnya. “Loh mas Vian belum berangkat?” Suara Kintan mengagetkannya yang sedang melamun. Kintan mendorong motornya keluar dari garasi. “I ini mau jalan”. Jawabnya terbata. Kintan hanya melongo. Setelah itu mobil Vian melesat meninggalkan rumah mereka. Kintan menutup pintu garasi juga mengunci gerbang lalu pergi ke sekolah. Di tengah perjalanan ban motor Kintan mendadak bocor. Ia memilih turun dan mendorong motornya untuk mencari bengkel terdekat. Tiin. "Kenapa motornya?" Seorang pengendara mobil membuka kaca jendelanya dan memunculkan kepalanya. "Eh, ustadz". Kintan menganggukkan kepala karena ternyata ustadz Abdul Ghani yang menyapa. "Bocor ustadz". Ucapnya menjelaskan. "Ya udah bareng ana saja. Nanti ana telpon bengkel biar ambil motor kamu". "Nggak perlu repot ustadz. Sudah dekat sama bengkel". Tolak Kintan halus. "Bengkel masih tiga ratus meter dari sini. Lagian kamu nggak perlu khawatir. ada Ummi di belakang". Ucapnya menenangkan. Ia tau Kintan menolak karena takut mereka cuma berdua saja. Tidak berapa lama kaca mobil bagian belakang terbuka. Dan benar ada Ummi Fatimah. "Assalamualaikum ummi". Ucap Kintan sopan. "Wa alaikum salam. Mari sama ummi saja nak". Ucap wanita paruh baya itu lembut. "Emm. Baik Ummi. syukron". Kintan meminggirkan motornya. di titipkan pada seorang bapak penjual bubur ayam pinggir jalan. Lalu Kintan masuk ke dalam mobil Ustadz Abdul Ghani. Tanpa mereka tau jika Vian melihat kejadian itu. Vian yang sedang menunggu Deby di mobilnya berbelanja di mini market.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD