“Aahh”. Vian berteriak kencang karena melihat bayangan putih dalam kegelapan. Ia meringkuk dengan menarik selimut untuk menutup wajahnya.
Satu menit kemudian Kintan berlari ke arah suaminya, yang sedang meringkuk di sudut ranjang.
“Mas, mas Vian kenapa?” Ia menepuk lengan suaminya.
Vian menarik selimut perlahan untuk mengintip keadaan.
“Ah, elu ternyata. Ngagetin gue tau nggak”. Vian membentak Kintan dengan kesal.
“Aku salah apa mas?” Kintan yang masih bingung apa salahnya jadi terheran melihat tingkah suaminya.
Sebenarnya Vian berteriak karena melihat Kintan yang sedang sholat malam dengan memakai mukena putihnya. Karena merasa malu sudah bertingkah memalukan, dan tidak mungkin juga ia mengatakannya pada Kintan. Mau di taruh di mana harga dirinya. Beruntung kamar itu kedap suara. Sehingga keributan akibat ulah Vian tidak terdengar oleh orang tuanya.
“Gue mau ambil minum. Minggir”. Kembali ia membentak Kintan.
“Aku ambilkan mas”. Kintan mencoba menawarkan diri.
“Ya udah nih, ambilkan”. Vian menyodorkan teko kaca pada Kintan.
Kintan tersenyum dan meraih teko tersebut. Ia senang bisa melakukan hal kecil untuk suaminya.
Setelah mengambilkan air minum untuk suaminya, Kintan duduk dan bertadarus sambil menunggu waktu subuh. Ia takut jika tidur lagi, ia akan tertinggal waktu subuh.
Vian bisa mendengar suara merdu Kintan yang melantunkan ayat-ayat Al Qur’an , walaupun suaranya terdengar lirih.
Ada kesejukan yang merambat di hatinya. Setetes butir bening jatuh menetes di pipinya. Dengan segera ia mengusap air mata itu. Merasa gengsi jika sampai Kintan mengetahuinya.
Kantuk kembali datang, sedikit demi sedikit mata Vian kembali terpejam.
Adzan subuh berkumandang masuk ke dalam rungu Kintan. Dengan segera ia menutup aplikasi Qur’an dari gawainya. Dan duduk menunggu adzan selesai.
Selepas itu ia melaksanakan sunnah sebelum subuh dua rakaat dan sholat subuhnya dua rakaat.
Selepas sholat dan berdzikir Kintan berdoa. Bermunajat kepada sang pemberi dan pemilik kehidupan.
“Ya Allah, aku menerima segala takdir yang telah Engkau tetapkan. In shaa Allah aku ikhlas. Tapi ya Allah hamba mohon. Berikanlah kelapangan bagi hati ini, agar bisa dengan sabar menerima perlakuan suamiku. Bukakanlah pintu hatinya. Berikanlah ia hidayah indah dari-Mu. Agar ia bisa menjadi hamba yang taat dan dekat dengan-Mu. Berikanlah kami cinta, seperti orang-orang yang mencintai-Mu. Dan jadikanlah kami dalam golongan orang-orang yang Kau cintai”. Kintan menutup doa dengan mengusap wajahnya.
Hatinya merasa lebih tenang dan damai setelah berdoa kepada Tuhannya.
Kintan melepas mukenanya dan memakai kembali jilbabnya. Ia tau Vian sedang tidur.
Kintan berjalan ke arah Vian, membangunkan suaminya untuk melaksanakan kewajiban.
“Mas, mas Vian bangun mas. Sholat subuh”. Kintan mengguncang lembut bahu suaminya.
Tak ada respon. Sampai beberapa kali guncangan.
Setelah kesekian kali Kintan memanggil Vian menggeliat.
“Ah, berisik. Gue ngantuk”. Jawab Vian kasar.
“Ya Allah mas. Sholat itu kewajiban. Jangan kalah dong sama ngantuk”. Kintan masih berusaha membangunkan pria yang berstatus suaminya itu. Dengan sabar dan lembut.
“Ah udah sono. Ceramah mulu. Masih pagi juga”. Vian mendorong Kintan hingga Kintan mundur beberapa langkah.
“Astaghfirullah hal ‘adzim”. Akhirnya Kintan menyerah untuk hari ini. Tapi ia bertekad untuk terus melakukannya besok dan seterusnya. Harapannya hanyalah agar Allah menilai kebaikan dari usahanya mengabulkan inginnya.
Kintan keluar kamar, meninggalkan suaminya yang masih tetap bertahan dengan mimpinya. Kintan menuju dapur dan bersiap membuat sarapan pagi.
Pukul setengah tujuh pagi sarapan telah tersaji di meja makan. Kintan memutuskan untuk mandi lebih dulu sebelum membangunkan suaminya kembali.
Vian yang sudah terbangun, langsung menyambar handuk dan hendak masuk kamar mandi. Tanpa ragu-ragu Vian langsung membuka pintu kamar mandi.
Matanya yang semula setengah mengantuk langsung terbuka lebar. Vian melotot sambil menelan saliva melihat pemandangan di depannya.
Vian seperti kaku melihat tubuh putih Kintan dan rambut hitam panjangnya yang tergerai indah sampai di punggungnya.
Mereka berdua sama-sama terkejut. Terutama Kintan yang ternyata bagian atas tubuhnya terekspos. Hanya tertutup bra saja. Dengan cepat ia menarik handuk untuk menutupi tubuhnya.
Vian yang tiba-tiba sadar langsung kembali menutup pintu kamar mandi. “Makanya lain kali kunci pintu”. Ia berteriak dari luar.
Di dalam kamar mandi dengan segera Kintan memutar kunci ke arah kanan tanpa mengatakan apa pun.
Mereka berdua sama-sama menetralkan degub jantung yang tidak beraturan. Walaupun terlihat bandel tapi ini juga pertama kalinya bagi Vian melihat tubuh atas wanita. Walaupun mereka sudah sama-sama sah dan halal di mata agama.
Vian terduduk di bibir ranjangnya sambil menunggu Kintan keluar. Ia tersenyum sendiri mengingat kejadian yang baru berlalu beberapa menit yang lalu.
Naif sekali jika ia mengatakan tidak tertarik. Sebagai lelaki normal melihat pemandangan seperti itu pastilah jiwa kejantanannya menjerit. Namun, logika dan egonya selalu mendominasi.
“Ah, shitt. Ternyata indah banget”. Vian bergumam. Ia meremas rambutnya. “Kayanya gue udah gila nih. Masa liat gituan aja udah nggak tenang”. Kembali ia mengusap wajahnya kasar. Bayang-bayang tubuh Kintan masih menggerayangi otaknya. “Ah m***m banget gue. Tapi kan nggak ada salahnya. Toh dia bini gue”. Ia berbicara sendiri.
“Lu mau jadi cowok b******k. Cinta kagak doyan iya”. Lagi ia berbicara sendiri.
Saat sedang berperang dengan pikirannya. Pintu kamar mandi terbuka. Kintan sudah keluar dengan pakaian lengkap dan jilbab yang membungkus tubuhnya.
Pandangan mereka bertemu. Dengan cepat Kintan mengalihkan pandangannya.
“Su sudah mas”. Katanya gugup.
Kintan merasa sangat malu bertemu dengan Vian. Dia merasa sudah sangat bodoh dan ceroboh, kenapa tidak di kuncinya pintu kamar mandi itu. Ia lupa jika ia sedang berada di kamar Vian.
Tanpa menjawab, Vian langsung berdiri dan segera masuk ke kamar mandi. Vian takut akan tergoda jika berlama-lama menatap wajah istrinya itu.
“Ma mas”. Dengan ragu Kintan memanggil.
“Napa?” Vian menyahut dari dalam kamar mandi.
“Sarapan sudah siap”.
“Hmm”. Vian hanya menjawab dengan deheman.
Kintan memilih pergi dan turun ke lantai bawah.
“Vian mana nak?” Tanya bu Audy.
“Masih mandi mam”.
“Ya udah kita tungguin sebentar”.
“Papi mau minum teh?” tawar Kintan pada mertuanya.
“Bisa nak”. Pak Bram mengangguk mengiyakan.
Dengan sigap Kintan membuatkan kedua mertuanya teh hangat untuk menghangatkan pagi mereka.
Lima belas menit Vian turun dalam keadaan rapi. Ia memakai kemeja berwarna abu dan celana chino hitam. Rambutnya di sisir dengan model ala oppa Korea. Membuatnya makin terlihat tampan.
“Pagi mam”. Vian mengecup pipi maminya. Suatu kebiasaannya sewaktu masih lajang dulu.
“Kok mami doang? Istri kamu nggak?” Tanya bu Audy.
Membuat sepasang manusia muda itu salah tingkah.
“Kan tadi udah di kamar. Kan sayang”. Vian beralasan sambil melihat kearah Kintan. Mengedipkan sebelah matanya.
“I iya mam”. Kintan tersipu karena lagi-lagi ia mengingat kejadian di kamar mandi.