Saat hendak pergi, Kintan menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya terluka.
Ia melihat seorang wanita sedang menggandeng tangan Vian dan mereka keluar dari pusat perbelanjaan barang-barang branded.
Perih hatinya. Walaupun belum bisa di katakan cinta. Tapi bagi Kintan pernikahan bukanlah sebuah permainan. Sisi hatinya mencoba menguatkan sisi hati yang terluka.
Istri mana yang tidak sakit melihat suami yang ketika di rumah tidak memperlakukannya dengan baik. Namun justru memperlakukan wanita lain dengan hangat dan manis di luaran.
Air matanya luruh. Namun lisannya selalu beristighfar.
“Astaghfirullah. Ya Allah. Semoga apa yang terjadi tidak seperti apa yang hamba pikirkan ya Allah. Kuatkanlah aku”. Dengan hati perih Kintan menarik pedal gas dan pulang ke rumah yang di tempatinya dengan Vian.
Suara kumandang adzan magrib menelusup ke dalam gendang telinga. Kintan bangun dari duduknya. Dan bersiap mengambil air wudhu.
Sepulang dari pesantren sore tadi. Tepatnya setelah melihat pemandangan yang tidak pernah di duganya. Kintan mengurung diri di kamar sampai adzan berkumandang.
Tak ingin berburuk sangka kepada suaminya. Ia memilih untuk bersujud pada Tuhannya dan mengadukan masalahnya.
“Ya Robby, sesungguhnya mataku telah melihat sesuatu yang tidak pernah ku bayangkan. Aku tidak ingin berburuk sangka pada suamiku. Lindungilah ia dimanapun ia berada. Jagalah ia dari maksiat yang bisa menjerumuskannya dalam kubangan dosa. Dan apabila ia bersalah, maka kembalikanlah ia ke jalan kebenaran. Ya Robby Engkau yang maha mengetahui segalanya. Yang ghoib dan yang nyata. Tumbuhkanlah rasa cinta antara kami. Dan lindungilah bahtera rumah tangga kami. Aamiin”. Lafadz doa Kintan setelah ia menunaikan kewajibannya.
“Kruyuk”. Usai berdoa perut Kintan keroncongan minta di isi. Ia bahkan ingat, batagor yang sore tadi di belinya belum di makannya sama sekali.
Kintan menuju ke dapur dan membawa bungkusan batagor yang di belinya. Ia mengambil piring lalu duduk di meja makan.
“Bismillah”.
Saat hendak menyuapkan batagor ke mulutnya ia mendengar samar suara di luar rumah. Suara lelaki dan wanita yang tengah berbicara.
Urung di suapkan makanan itu. Saat tiba-tiba pintu depan terbuka dan menampilkan dua sosok manusia yang berjalan masuk dengan begitu lengketnya seperti prangko pada amplopnya.
Kintan bahkan lupa jika saat ini ia sedang tidak memakai cadarnya.
Obrolan dua manusia itu berhenti saat tatapan mereka beradu dengan tatapan mata Kintan. Kintan hanya bisa duduk terpaku di kursinya.
Awalnya kedua manusia itu kaget. Namun secepatnya mereka berlaku biasa saja.
Tapi tatapan mata sang lelaki menatap kagum keindahan wajah Kintan yang baru kali ini di lihatnya. Wajah putih bersih. Dengan hidung mancung dan dagu serta bibir tipis yang terbelah. Iris mata coklat menambah kecantikannya. Vian tertegun menatap wajah indah istrinya. Jiwa lelakinya seolah bangkit. Namun dengan segera ia menguasai diri. Sepertinya syetan tidak akan semudah itu menyerah untuk membuat bahtera ini tidak harmonis.
Kembali ego dan bisikan setan mendominasi.
“Beb. Buruan mandi ya. Aku tungguin kita hangout bareng”. Ucapan Deby membuyarkan tatapan Vian.
“Oke”.
“Aku tungguin kamu di kamar kamu ya. Soalnya aku nggak nyaman di liatin orang asing”. Ucapnya lagi melirik Kintan dengan tatapan mencemooh.
“Emm”. Vian agak ragu. Ia takut Kintan mengadukan semua pada Pak Bram.
“Kamu keberatan ya?” Suara Deby yang lagi-lagi dengan suara manja dan nyaris merajuk.
“ya tentu boleh dong sayang”.
Akhirnya mereka berdua berjalan bersama menuju kamar Vian. Melewati Kintan yang terpaku dan mereka anggap seperti patung.
Dalam hati Kintan terus menerus beristighfar. Air mata mengembun di pelupuk matanya.
Nafsu makannya hilang seketika. Kintan memilih masuk ke dalam kamarnya.
‘Ya Allah. Bahkan aku saja di larang untuk masuk ke dalam kamarnya. Kenapa justru wanita itu yang orang lain malah di perbolehkan’. Hatinya pilu. Ia terduduk dan menangis.
Kintan tidak pernah berpacaran ataupun menjalin hubungan dengan lelaki. Ini pertama kalinya bagi Kintan. Tapi kenapa sesuatu yang pertama ini justru menyakitkan. Luka di dalam hubungan yang halal. Walaupun belum lama mereka hidup bersama, tapi sepertinya rasa itu mulai tumbuh. Terutama rasa itu halal. Dan untuk suaminya. Tapi kenapa justru suaminya tega berbuat demikian.
“Sudah siap. Yuk jalan”. Kintan mendengar suara Deby lagi. Dan dengan sengaja Deby mengeraskan Volume suaranya untuk memanasi Kintan.
“Oke”. Sahutan dari Vian.
Mereka berdua berlalu meninggalkan rumah dengan Kintan seorang diri.
Tapi tidak bisa di pungkiri. Jika Vian mulai membayangkan wajah cantik istrinya. Bahkan bisa jadi di bilang lebih cantik dari Deby. Deby sangat cantik karena perawatan mahal yang di jalaninya. Tapi kecantikan Kintan masih terlihat begitu asli.
“Kamu mikirin apa sih Beb? Dari tadi diem aja?” Deby yang melihat keterdiaman Vian oun bertanya.
“Ah nggak ada kok beb”. Elaknya.
“Serius?”
“Jangan bilang kamu mikirin perempuan itu?”
“Ah mana ada. Aku Cuma takut aja. Gimana kalo dia ngadu sama papi. Bisa runyam Beb”. Ucap Vian beralasan. Walaupun sebenarnya ia sendiri memang takut hal itu terjadi.
“Iya juga ya. Kok aku nggak mikir sampe kesitu sih”.
“Yah, semoga aja dia nggak ngadu. Aku bakal ngomong sama dia kalo pulang nanti”.
“Iya beb. Bila perlu ancam dia supaya nggak ngadu-ngadu”. Usulnya. Dalam hati Deby sangat bangga, karena dirinya yang memenangkan Vian.
***
Drrt Drrt.
Ponsel Kintan bergetar. Panggilan dari Umminya tampak di layar.
Seolah ikut merasakan ada sesuatu yang tidak enak.
Kintan mengelap air matanya. Di netralisir suaranya supaya tidak terdengar serak seperti habis menangis.
“Assalamualaikum ummi”. Sapanya dengan suara bahagia.
“Wa alaikum salam. Gimana kabar kamu nak?”
“Kintan sehat ummi. Ummi sendiri gimana?”
“Ummi juga Alhamdulillah sehat nak. Kamu baik-baik saja kan sayang”.
“Iya ummi. Kenapa?”
“Kok suara kamu kaya habis nangis”.
“Kintan Cuma lagi batuk saja mi”.
“Oh. Minum air hangat nak”.
“Ia Ummi”.
“Kamu sudah makan?”
“Sudah ummi. Ummi lagi apa?”
“Ummi baru habis potong kain. Tiba-tiba ummi keingat kamu. Jadi telpon deh. Dimana suami kamu?”
“Emm. Em, mas Vian lagi lembur Mi. Iya lembur. Katanya kejar proyek”. Ucap Kintan berbohong. Tidak mungkin ia menceritakan semuanya.
Tidak mungkin Kintan membuka aib suaminya. Ia juga mempertimbangkan kondisi kesehatan umminya. Juga hubungan antara kedua keluarga.
“Oh. Ya sudah nak. Istirahatlah. Ummi Cuma pengen dengar suara kamu sebentar”.
“Iya Ummi”.
“Ya sudah Assa....”
“emm. U ummi”. Kintan memotong ucapan Umminya.
“Ada apa nak?”
“Kintan rindu ummi. Itu aja”.
“Ummi kira kenapa. Ummi juga rindu Kintan. Mainlah ke rumah Ummi kalau senggang”.
“In shaa Allah Mi”.
“Assalamualaikum”.
“Wa alaikum salam”.
Panggilan suara itu berakhir tepat saat adzan isya berkumandang. Setelah mendengar suara umminya, perasaan Kintan menjadi lebih baik.
Dengan segera Kintan kembali mengambil wudhu. Baginya ketenangan itu hadir saat ia sedang bersama Tuhannya. Cerita yang tidak terbatas.
Kintan memutuskan untuk memperjuangkan pernikahannya. Ia akan berusaha untuk menggapai cinta sang suami. menggapai hatinya, sehingga sang suami bisa mencintainya.
Besar harapan Kintan, agar sang suami mau berubah. Menjadi sosok yang lebih baik. Karena selama tinggal bersama Kintan tidak pernah melihat suaminya melaksanakan sholat. Bahkan sewaktu hari jum'at saja Vian justru nongkrong dengan teman-temannya.
Kintan akan berusaha semampunya untuk membimbing suaminya menjadi imam dan kepala rumah tangga yang sholih.