Malam hari sebelum pernikahan.
Entah kenapa hari ini perasaan Vian tidak menentu. Ia mencoba untuk bersikap santai. Tapi perasaannya benar-benar tidak tenang. Ini bukan pernikahan yang dia inginkan. Tapi hatinya begitu gelisah.
“Huft”. Ia membuang nafas kasar. Mondar-mandir di kamar seperti setrika rusak.
Hampir semalaman Vian tidak bisa tidur. Tak ada rasa gugup tapi matanya sulit sekali terpejam. Andai papinya tidak cerewet, mungkin dia sudah hangout dengan teman-temannya untuk mengusir penat.
Hari ini hari terakhir ia menyandang gelar bujang. Esok ia sudah resmi memiliki seorang istri. Walaupun ia tak akan menganggap Kintan istri sungguhan.
Tok tok.
“Siapa?” tanya Davian saat pintu kamarnya di ketuk.
“Ini mami sayang”.
“Masuk aja mi. Nggak di kunci kok”.
Bu Audy masuk ke dalam kamar itu. Ia duduk di tepi ranjang.
“Kemarilah nak”. Ucapnya menepuk kasur di sebelahnya.
Davian menurut saja perintah maminya.
“Kamu siap untuk besok?” tanyanya mengusap punggung anak yang telah di lahirkannya itu.
"Emang papi bakal membatalkan kalo aku bilang gak siap?”. Ucapnya. Masih ada rasa kesal di hatinya karena pernikahan yang sangat di paksa ini.
“Sayang. Walaupun pernikahan ini tidak di dasari dengan rasa cinta. Mami yakin suatu saat kamu akan merasakan juga nikmatnya rasa cinta untuk istrimu”. Bu Audy mengambil tangan putranya. Dan menggenggamnya. “Perlakukan istrimu dengan baik nak. Sebagaimana papimu memperlakukan mami”. Pintanya penuh harap.
“Aku nggak janji Mi”. Jawabnya enteng. Sebenarnya Vian paling tak tega jika melihat maminya sampai memohon seperti ini.
“Ingat nak. Kamu punya adik perempuan. Dan kamu pasti nggak akan rela kalo adik perempuanmu di perlakukan buruk oleh suaminya”. Bu Audy kembali menasehati.
“Iya mi”. Jawab Davian cepat karena ia malas berdebat dengan Maminya.
“Istirahatlah nak. Supaya kamu lebih segar dan siap untuk besok”. Bu Audy tersenyum. Kemudian oergi meninggalkan kamar Vian.
Vian berbaring di pembaringan. Dua sisi hatinya saling berdebat.
‘Udahlah. Nggak usah dengerin. Lagian juga nikah terpaksa’. Sisi jahat hatinya berbisik.
‘Lo itu laki. Masak kagak tanggung jawab ama bini'. Sisi hati yang lain menjawab.
‘Ah elah. Siksa aja dia dirumah. Kalo nggak betah biar dia yang minta pisah’.
‘Cukupkah kebrengsekan elu. Masa kagak mau berubah’.
‘Yang penting elu udah nurutin kemaunya bokap lu. Kan beres. Lo tetap dapet warisan. Dan dia juga jengah sama kelakuan lu’.
Davian tersenyum smirk mendengar suara hati jahatnya.
Kemudian ia tengkurap lalu melayang ke dunia mimpi bersama Deby.
***
“Vian bangun”. Suara pak Bram menggedor pintu kamarnya. Ia sangat kesal dengan kebiasaan Vian yang selalu bangun siang.
Vian yang baru tersadar berjalan gontai membuka pintu.
“Ini udah jam enam. Acara kamu jam sembilan. Sedangkan jam delapan kita harus sudah ke tempat acara. Kenapa kamu masih tidur”. Pria paruh baya itu mengomel karena geram melihat tingkah anaknya.
“Ini udah bangun kali pi”. Jawabnya ringan mendengar omelan pagi papinya.
“Papi nggak mau tau. Jam tujuh kamu harus sudah turun ke bawah dan siap-siap”.
“Iya iya Pi. Ah rese banget deh”. Vian mulai kesal karena ocehan pagi. Terlebih mimpi indahnya terganggu.
“Papi tunggu satu jam lagi”. Pak Bram meninggalkan Davian yang malah menggaruk kepala dan menguap lebar.
Dengan berat Davian menarik handuk dan menuju kamar mandi. Dia malas mendengar drama keributan Pagi-pagi.
Jam enam lewat dua puluh. Seorang perias pengantin pria sudah datang dan bersiap untuk merias Davian.
“Apaan nih mi. Aku kan cowok. Masa pake dirias segala sih”. Ia mulai bawel.
“Ini bukan di rias tebal sayang. Supaya wajah kamu keliatan lebih fresh aja”. Bu Audy menjelaskan.
Lagi dan lagi Davian patuh.
‘Nggak apa gue patuh sekarang. Setelah tinggal sendiri. Bakal gue buat semau gue’. Ia duduk di kursi sambil tersenyum smirk.
Semua persiapan keluarga pak Bram sudah siap. Pak Bram sudah siap dengan stelan gas yang membungkus rapi tubuhnya. sehingga kesan gagah di usianya masih sangat terlihat. Bu Audy mengenakan dress kebaya modern dan hair do yang tertata rapi.
Davian tampak segar dan semakin tampan, walaupun sebenarnya dalam hatinya sangat kesal.
Beberapa iring-iringan mobil yang berisi keluarga besar mereka bersama-sama menuju rumah Kintan. Si mempelai wanita.
Tiga puluh menit kemudian iring-iringan itu sudah sampai ke tempat acara. Mereka membawa beberapa seserahan dan mas kawin dengan nilai yang lumayan.
Kedatangan Keluarga pak Bram di sambut dengan baik oleh keluarga Kintan.
Mereka menempati tempat duduk yang telah di sediakan.
Ada rasa gugup dalam hati Vian. Karena ini untuk pertama kalinya ia akan mengikrarkan sebuah janji suci. Ijab kabul yang beberapa saat lagi akan di laksanakan.
Di sana sudah ada Pak Ardan, paman Kintan, adik dari abahnya sebagai wali nikah. Dan seorang penghulu. Dua orang saksi juga pelengkap prosesi sakral yang juga akan di saksikan oleh Malaikat.
Di kamarnya Kintan duduk dengan gugup. Meremas jari jemarinya. Telapak tangannya juga berkeringat.
Susunan acara demi acara di bawakan oleh MC. Hingga tiba di acara inti yaitu prosesi ijab dan qobul.
“Bisa kita mulai acaranya?” Tanya pak Rahman selaku penghulu.
“Bisa pak”. Jawab pak Ardan.
“Calon pengantinnya sudah siap?” Pak Rahman ganti bertanya pada Vian.
Vian menghembuskan nafasnya perlahan. “Siap pak”. Jawabnya mantap.
“Sebelum prosesi ijab kabul ini kita mulai. Izinkan saya menyampaikan sedikit nasehat untuk kedua mempelai. Boleh?”
“Silakan pak”. Jawab orang yang hadir.
“Nak. Siapa namamu?” Pak Rahman bertanya pada Davian.
“Davian pak”. Jawabnya.
“Nak Davian. Engkau sudah siap? Engkau menikah atas keridhoanmu dan tanpa paksaan?”
Cukup lama Davian terdiam. Ia berpikir. Mungkin jika ia mengatakan jika terpaksa pernikahan ini akan batal. Tapi pasti Papinya akan sangat Murka dan langsung mengusirnya.
“Tidak ada paksaan pak”. Jawabnya.
“Untukmu Nak Davian. Pernikahan ini adalah ibadah yang menyempurnakan separuh agamamu. Dimana pernikahan ini bukan hanya menyatukan dua insan. Tapi juga menyatukan dua keluarga. Jadilah kamu. Anak lelaki dengan tetap berbakti pada ibumu. Jadilah engkau suami yang menyayangi dan menaungi istrimu dengan cinta dan tanggung jawabmu. Jadilah kau menantu yang mendukung bakti istrimu pada ibunya. Engkau harus siap untuk menerima semua beban tanggung jawab atas ke tiga hal itu. Dan di saat kemudian kau mempunyai zuriat atau anak. Jadilah bapak yang bisa membimbing anak-anakmu menjadi manusia-manusia sholeh. Ridho Allah terhadapmu tergantung Ridho ibumu. Tapi bahagia rumah tanggamu tergantung bagaimana kau membahagiakan istri dan anak-anakmu”.
Vian mencerna sedikit demi sedikit ucapan nasihat dari pak Rahman. Namun karena kebekuan hatinya. Seolah kata-kata itu tidak mampu mencairkan kebekuan itu. Ia menganggap omongan itu hanya sebuah ucapan yang membuang-buang waktu. Hanya di tundukkan wajahnya.
“Ijabnya mau di wakilkan atau bapak Ardan sendiri yang menikahkan?” Tanya penghulu itu usai memberi nasehat pernikahan.
“Biar saya yang menikahkan pak. Menggantikan tanggung jawab abahnya”.
“Baiklah. Sebelum benar-benar di mulai. Apa bapak mau latihan terlebih dahulu atau langsung saja?”
“Saya tergantung mempelai pria pak”.
“Bagaimana nak Davian? Perlu latihan?”
“Tidak pak. Saya siap”.
“Baiklah. Bisa kita mulai prosesinya”.
Mereka membaca dua kalimat syahadat juga istighfar sebagai pembuka prosesi suci itu.
Ardan menjabat tangan Davian. “wahai engkau Davian Bramantyo bin Bramantyo ”.
“Saya” jawab Vian lantang.
“Saya nikahkan engkau dengan anak saya Kintamani binti Sultan dengan maskawin berupa emas tiga puluh gram dan uang sebesar seratus dua belas juta tujuh ratus tiga puluh lima ribu rupiah di bayar TUNAI”
“Saya terima nikahnya Kintamani binti Sultan dengan mas kawinnya tersebut TUNAI”. Suara Vian lantang dengan satu tarikan nafas.
“Bagaimana saksi?” Tanya Ardan.
“Sah”.
“Alhamdulillah” sagera Pak Rahman mengangkat kedua tangannya dan berdoa “BAROKALLAH HU LAKUMA WA BAROKA ALAIKUMA. WA JAMA’A BAINAKUMA FII KHOIR”.
“Aamiin”. Orang-orang yang menyaksikan ijab kabul itu turut mengaminkan doa tersebut.
“Sudah siap nak?” tanya ummi Aisyah melihat Kintan di dalam kamar.
Kintan mengangguk. Davian dengan di antar bu Audy menuju kamar Kintan untuk menjemputnya.
“Assalamualaikum”. Ucap bu Audy saat hendak masuk.
“Wa alaikum salam”. Kintan menjawab lirih nyaris tidak terdengar.
Davian dan Kintan sama-sama gugup. Bagaimanapun, mereka sudah resmi menjadi suami istri.
“Kintan meraih tangan Vian lalu mencium punggung tangan suaminya. Vian mengecup kening Kintan setelah di suruh ibunya.
Tubuh Kintan menegang saat benda lunak itu menyentuh keningnya.
“Kalian bisa keluar”. Ucap ummi Aisyah.
Dengan perintah maminya. Davian menggandeng tangan Kintan untuk keluar. Jantung Kintan tidak henti-hentinya berdebar. Bagaimanapun semua ini pertama kali baginya. Termasuk bergandengan dengan lelaki.
Mereka duduk kembali ke tempat ijab. Davian memakaikan cincin pernikahan mereka. Suasana berubah menjadi haru. Bu Audy dan ummi Aisyah sama-sama meneteskan air matanya. Melantunkan harap dalam doa-doanya.
Kembali Vian mengecup kening Kintan setelah memakaikan cincin. Lalu keduanya sama-sama menandatangani sisa surat-surat yang menyatakan mereka sah di mata Agama dan Negara.
Kemudian mereka menuju singgasana sederhana yang sudah tersedia.
Para tamu bergiliran datang dan menyalami mereka. Dan beberapa swa foto sebagai pelengkap.
Iring-iringan yang mengantar Vian sudah kembali pulang. Tinggallah papi dan maminya yang masih menemani.
Ustadz Abdul Ghani juga datang karena masuk sebagai tamu undangan. Ia menyalami Davian dan menatap Kintan sendu. Rasa itu, ia mencoba menyembunyikannya. Terlambat. Ternyata ia tak berjodoh dengan Kintan.
Davian yang melihat gelagat pria itu mencoba cuek.
Acara berakhir sampai menjelang ashar.
Selepas Acara Kintan masuk ke kamar dan membersihkan diri. Cukup lama ia di kamar ternyata Vian tak menyusulnya. Segera Kintan keluar dari kamar. Saat Kintan keluar Vian barulah masuk ke dalam.
Kintan hanya terheran melihat perilaku suaminya. ‘Apa dia terpaksa dengan pernikahan ini’. Batinnya.
Ia menyusul ummi dan mertuanya.
“Mi aku mau langsung ajak Kintan ke rumah baru yang sudah aku siapin”. Ucap Vian tiba-tiba.
“Ish kamu nggak sabaran ya. Emang dasar pengantin Baru”. Goda bu Audy.
Kintan hanya tersipu. Rona wajahnya menjadi merah.
“Ya udah. Ummi bantu Kintan siapin barang-barangnya dulu ya nak Vian”. Ucap ummi Aisyah.
“Iya bu”.
“Panggil ummi nak. Seperti Kintan”.
“Iya ummi”.