Dalam perjalanan menuju rumah baru Vian. Mereka berdua hanya diam. Tidak ada yang membuka obrolan ataupun memulai pembicaraan.
Dua puluh menit mereka sampai di tempat tinggal baru mereka.
Vian turun dari mobil dan membuka pintu rumah. Sementara Kintan menurunkan satu persatu barang-barangnya dari bagasi dengan begitu kerepotan.
Vian hanya melihatnya tidak ada niat sedikit pun baginya untuk membantu istrinya itu.
Vian masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu.
Kintan membawa masuk barang-barang bawaannya.
“Taruh barang-barangmu di kamar sebelah kanan”. Vian menunjuk kamar bagian atas.
“Kita memang menikah. Tapi bukan berarti kita menjadi suami istri beneran. Jangan pernah bicara apapun padaku. Ataupun menyela apapun ucapanku”.
Kintan kaget dengan perubahan sikap lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya itu.
“Jangan pernah mencampuri urusanku. Ataupun menyentuh barang-barangku. Kau boleh pergi ke manapun ruangan di rumah ini. Asal jangan ke kamarku. Jangan membatasiku ataupun mengadukan apapun sama mami atau papi. Aku akan tetap memberikan uang untuk kebutuhanmu. Tapi kau jangan pernah berharap kalau aku akan punya rasa buatmu”. Vian memberi penjelasan panjang lebar. Bahkan saat Kintan belum mendudukkan diri di kursi.
“Kita bisa tinggal di rumah yang sama. Tapi anggap saja kita ini orang asing yang tidak saling kenal. Paham kan?” Kintan hanya mengangguk, tanpa mengucapkan apapun.
Ada rasa perih di hatinya dengan perkataan dan perilaku suaminya. Namun ia bisa apa. Ia sadar mereka memang orang asing yang tiba-tiba di satukan dalam. hubungan pernikahan.
***
Pagi harinya karena belum ada bahan makanan apapun di rumah. Kintan berniat pergi ke pasar untuk berbelanja.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Tapi Vian belum juga terlihat bangun.
‘Apa mas Vian nggak sholat subuh ya’. Pikir Kintan. Tapi dia tidak berani mengetuk pintu kamar Vian walaupun sekedar membangunkannya. Karena ultimatum yang sudah Vian ucapkan kemarin.
Kintan pergi ke pasar dengan meninggalkan catatan kecil di meja makan tanda izinnya kepada suaminya.
Vian baru saja bangun saat Kintan berangkat. Segera ia mencuci muka dan melakukan kebiasaannya. Yaitu lari pagi. Vian pergi tanpa membaca surat yang di tinggalkan Kintan. Ia berlari keliling kompleks.
“Loh Beb kamu kok lari paginya sampe di kompleks sini”. Deby menegur Vian dan menghentikan laju mobilnya.
“Iya. Emm aku kebetulan aja”. Vian tersenyum. “Kamu ngapain disini?”
“Aku baru aja pindah. Rumah aku sekarang di kompleks sebelah”.
“Kok aku nggak tau kalo kamu pindah?”
“Emm. Ini mendadak Beb. Maaf ya aku nggak ngabarin kamu”. Deby menatapnya dengan memasang mimik yang memelas.
“Emm. Kamu mau nggak main ke rumah aku?” Ucap Deby memberikan tawaran.
“Gimana ya?” Vian terlihat bimbang.
“Ayolah”. Deby turun dari mobil dan menarik tangan Vian untuk masuk ke dalam mobil.
Segera kuda besi itu melaju ke rumah Deby.
Mereka sampai di rumah Deby yang memang tidak jauh dari rumah yang di tinggali Vian dan Kintan.
“Kamu kemana aja sih belakangan ini?” tanya Deby manja.
“Yah nggak kemana-mana sih beb”. Vian bingung mau memberi alasan apa.
“Kok susah banget di hubungi?”.
“Ah. Kemarin aku ada sedikit urusan beb”.
“Urusan apa?” tatapan mata Deby menyelidik.
“Emm.” Vian masih terlihat ragu.
“Kamu mau nggak jujur sama aku?” Deby mengubah mimik wajahnya.
“Emm. Kamu masih ingat kan yang dulu aku pernah bilang kalo aku di paksa nikah sama papi”. Akhirnya Vian mengaku karena tidak ingin terus menerus di interogasi pacarnya itu.
“Iya, terus kenapa?” Tanya Deby yang masih memasang ekspresi bingung.
Vian menghembuskan nafas perlahan. “Jadi kemarin pernikahan itu berlangsung”.
“Apa”. Teriakan Deby memekakkan telinga. “Kok secepat itu sih?” Deby mulai terlihat emosi.
“Ya. Dengar dulu penjelasan aku”. Vian menarik tangan Deby.
“Apa lagi sih”. Dadanya naik turun menahan emosi. Padahal emosi itu tidak serius. ia ingin Vian membujuknya.
“kamu kan tau kalo aku terpaksa. Lagian aku janji bakalan menomor satukan kamu. Aku bener-bener nggak ada rasa sama dia”.
“kamu yakin?”
Vian mengangguk. “Dan aku juga nggak tinggal bareng di rumah papi. Aku pilih tinggal sendiri supaya nggak ada yang ikut campur masalah aku”. Ucap Vian menenangkan.
“Terus kamu tinggal dimana?”
“Di kompleks sebelah beb”. Vian akhirnya memberi tahu. “Aku bakal buat dia nggak tahan sama perlakuan ku. Supaya dia saja yang meminta cerai”.
Deby tersenyum. “Kalo gitu aku boleh dong main ke situ?”
Vian terlihat ragu. Ia diam.
“Nggak boleh ya?” tanya Deby dengan mimik yang mulai marah.
“Ah. Nggak. Boleh dong, tentu boleh”. Jawab Vian pasrah.
***
Sementara itu Kintan memilih beberapa sayuran dan lauk pauk untuk mengisi persediaan.
Ia sempat berfikir untuk membeli motor matic bekas. Untuk di pakainya pergi-pergi. Karena ia tidak mungkin meminta Vian mengantar jemput dirinya kemanapun. Lagian mana mungkin juga Vian mau, pikirnya.
Selesai berbelanja. Kintan pulang dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Ia berniat memasak dengan agak banyak makanan untuk di antar ke tetangga-tetangga barunya.
Sesampainya di rumah. Kintan segera mengemas semua belanjaan dan bersiap memasak.
Ia melihat surat yang di tinggalkannya tetap berada rapi di tempat itu.
‘Apa mas Vian nggak baca surat aku ya’. Gumamnya.
Saat Vian pulang dan sampai ke depan rumah. Ia mencium aroma masakan yang menggelitik hidungnya.
Saat masuk rumah Vian melihat Kintan yang sibuk memasak. Karena penasaran apa yang di masak Kintan. Vian melangkah menuju dapur. Tapi rasa gengsi itu datang sehingga dia membuka kulkas dan mengambil air mineral supaya tidak ketahuan.
Kintan menoleh ke arah Vian. Kintan mau ngomong soal izin membeli motor matic bekas dengan uang maharnya. Tapi Vian sudah lebih dulu berlalu meninggalkan Kintan di dapur.
‘Apa dia begitu jijik melihatku. Sampai melirik pun tidak’. Kintan Cuma bisa bergumam sedih.
Semua hidangan sudah tersaji di meja makan. Kintan juga membagi menjadi tiga bagian. Untuk tetangga depan dan samping kiri kanannya.
Kintan mengetuk pintu kamar Vian mau memberitahu kalo makanan sudah siap.
Tok tok.
Beberapa kali ketukan tak ada jawaban dari dalam.
“Mas Vian. Makanan sudah siap”.
Tak ada sahutan. Ternyata di dalam kamar Vian sedang mendengarkan lagu menggunakan head set dengan suara yang cukup keras.
Karena tidak ada sahutan Kintan memilih pergi dari depan kamar Vian.
Vian yang sudah tidak tahan dengan aroma makanan itu keluar saat Kintan sedang mengantar makanan ke tetangga sekitar.
***
Seminggu kemudian cuti mereka karena menikah sudah berakhir. Berakhir seperti biasa tanpa tegur sapa. Seperti orang asing.
Pagi ini Kintan menyiapkan sarapan setelah sholat subuh. Pukul enam pagi kegiatan memasak sarapan sudah siap. Kintan bersiap untuk kembali beraktivitas di pondok tempatnya mengabdi.
Tidak lupa di tulisnya sebuah memo diatas meja makan sebelum pergi. Kintan sudah menyiapkan sarapan untuk suaminya. Dan bekal untuk dirinya sendiri.
Bahkan Vian belum juga bangun saat Kintan berangkat.
Pukul 07.00 pagi Vian baru saja bangun saat Kintan sudah pergi ke pondok. Ia bangun, mandi dan bersiap ke kantor. Saat hendak pergi ke kantor Di lihatnya sarapan yang sudah di siapkan Kintan di atas meja.
Merasa sayang akhirnya Vian memilih sarapan sebentar. Karena dia tahu kalo masakan Kintan enak dan sayang untuk di lewatkan.