Tanggal dan waktu pernikahan sudab di tentukan dan di sepakati oleh kedua keluarga.
Pak Bram meminta asistennya untuk mempersiapkan pernikahan Vian dan Kintan.
Pernikahan sederhana di rumah Kintan.
“Persiapkan semua pernikahan Vian dan Kintan. Walaupun sederhana. Jangan sampai ada yang cacat”. Titahnya pada pria muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
“Baik Tuan”. Ia menganggukkan kepala tanda kepatuhan.
Vian berdecak kesal melihat perilaku papinya yang dirasa berlebihan dalam memperlakukan Kintan.
Ia memilih meninggalkan papi dan maminya lalu berlalu ke kamar. Vian mengambil kunci mobilnya dan hendak nongki sama teman-temannya lagi.
“Kamu mau kemana?” tanya Pak Bram melihat Vian yang mau pergi lagi.
“Nongkrong”.
“Vian. Pernikahan kamu tinggal dua minggu lagi. Berhenti deh nongkrong nggak jelas”.
“Pi. Vian capek.. Bosen dirumah. Mau cari hiburan” .
“Kasih papa kunci mobil kamu”.
“Papi kenapa sih jadi pemaksa banget. Aku sudah menuruti keinginan papi untuk menikahi gadis ninja itu. Jadi papi stop larang aku melakukan apa yang aku senangi”. Nada Vian mulai meninggi. Emosi dengan tingkah papinya yang jadi pemaksa.
“Kalo kamu nggak mau nuruti maunya papi. Papi bakal bekukan rekening kamu. Dan Cuma kasih uang gaji kamu saja”.
“Agh. Selalu saja. Ngancam dan maksa”. Vian membanting kunci mobilnya ke lantai dengan perasaan yang sangat marah. Ia lalu naik ke kamarnya.
‘Dasar cewek sialan. Belum juga nikah. Kebebasan gue udah terganggu'. Ucap Vian mengacak rambutnya kesal. Di kuncinya pintu kamar itu.
***
Satu Minggu berlalu. Persiapan pernikahan sudah tiga puluh persen. Undangan sudah di tulis.
Karena pernikahan ini sederhana mereka hanya menyebarkan undangan untuk keluarga, kerabat, serta para ustadz dan ustadzah. Dan beberapa teman bisnis dari pak Bram. Sedangkan Davian sendiri tidak mengundang siapapun dari teman-temannya. Dengan alasan malu.
Satu minggu yang berlalu bagi Vian serasa sangat lama. Karena hari membosankan. Dia di larang nongkrong. Dan Cuma boleh kerja.
“Vian. Hari ini kamu temani mami sama Kintan untuk beli cincin kawin kalian”. Pinta bu Audy.
“ish mami. Minta antar pak Yono aja”. Ucap Vian.
“Ya nggak bisa dong sayang. Nanti pemilihan ukuran kamu gimana?” wanita yang telah melahirkan Vian itu membujuknya.
Mau tidak mau Vian menerima permintaan maminya.
Sebelum ke toko perhiasan Mereka menjemput Kintan ke rumahnya.
“Sudah siap sayang?” Tanya bu Audy. Bu Audy adalah wanita yang lembut. Ia berlaku baik pada siapapun. Terlebih Kintan akan menjadi menantunya. Ia bisa merasakan bahwa Kintan gadis yang baik dan penyayang. Besar harapannya agar Vian bisa berubah lebih baik setelah mereka menikah.
Kintan hanya mengangguk. Lalu masuk di kursi belakang. Kemudikan mobil yang di kemudikan Vian pergi meninggalkan pekarangan rumah ummi Aisyah.
Dalam perjalanan Kintan hanya diam dan menunduk saja. Sementara itu Vian diam-diam melirik wajah Kintan melalui spion atas.
Bu Audy yang diam-diam juga melirik gerak gerik putranya Cuma tersenyum simpul.
Sesampainya di toko perhiasan petugas toko mengukur ukuran jari mereka. Kemudian mengeluarkan beberapa model yang sesuai dengan ukuran Kintan dan Vian.
“Dah. Mami pilih saja sama dia. Aku mau tunggu di mobil”. Vian gegas kabur sebelum maminya melarang. Dengan cepat dia meninggalkan maminya dan masuk ke dalam mobilnya. Tidak ingin ada orang lain yang melihat dia sedang memilih perhiasan dengan seorang wanita ninja.
“Kamu pilih yang mana sayang?” Tanya Bu Audy.
“Kintan bingung bu. Semua bagus-bagus”. Suara Kintan sangat lembut. Dan bu Audy baru kali ini mendengar suara Kintan.
“Kalo gitu pilih yang paling kamu suka”.
“Yang ini saja bu”. Kintan menunjuk sebuah cincin berbahan perak dengan ukiran bunga kecil dan hiasan permata kecil di tengahnya.
“Selera kamu bagus. Tapi kenapa kamu nggak pilih yang emas sayang?”
“Soalnya laki-laki haram memakai emas bu. Kalo aku pilih emas nanti punya kak Vian juga emas”.
Bu Audy manggut manggut paham. Ternyata suaminya tak salah pilih calon menantu. Kintan adalah gadis tepat. Yang bahkan untuk hal kecil saja ia masih memikirkan orang lain.
Setelah membayar cincin. Bu Audy mengajak mereka makan siang di Cafe.
“Kita makan siang dulu sayang”. Ajaknya pada Vian.
Vian hanya menjalankan mobilnya tanpa menjawab.
Mereka berhenti di depan sebuah Cafe dengan papan nama Green Cafe.
Saat baru turun dan masuk ke dalam Cafe. Vian melihat siluet orang yang di kenalnya. Ya, Vian melihat Deby dengan teman wanitanya hendak keluar dari Cafe.
Vian meminta izin maminya untuk pergi ke toilet. Sementara seorang waiters datang membawa buku menu.
“Kamu mau pesan apa sayang?” Tanya bu Audy pada Kintan.
“Sama kaya yang ibu pesan aja”. Ucapnya.
Vian datang setelah di rasa situasi aman.
“Kamu mau makan apa sayang?” Bu Audy ganti bertanya pada Vian.
“Apa aja deh. Serah mami”. Ucapnya masih dengan celingukan takut di lihat oleh Deby.
Bu Audy memesan mi goreng ayam caramel. Dengan minuman Es Lime tiga porsi.
Karena di lihat Vian masih celingukan Bu Audy menepuk tangan Vian.
“Kamu kenapa?”.
“ha.. Eng enggak papa Mi”. Ucapnya. Dilihatnya Deby sudah tidak ada. Vian pun bernafas lega.
‘Nggak ribet apa nih cewek ninja kalo mau makan’. Batin Vian karena liat cadar yang menutupi wajah Kintan.
Sepuluh menit seorang waiters mengantar makanan mereka.
“Silakan di nikmati”. Ucapnya ramah. Kemudian berlalu pergi.
Vian langsung melahap makanannya. Dia melirik Kintan yang masih mengangkat tangannya berdoa. Ada rasa malu dalam hati Vian. Tapi dia mencoba abai.
Sedikit sedikit Vian diam-diam melirik Kintan untuk melihat bagaimana cara Kintan makan. Kintan yang sudah terbiasa jadi tidak kerepotan.
Setelah semua hidangan mereka tandas mereka menuju ke sebuah butik untuk membeli baju pernikahan yang sudah jadi. Jadi tidak perlu memesan dan menjahitnya lagi.
Vian Cuma bisa menuruti keinginan maminya. Mereka tiba di sebuah butik mewah yang bangunannya lumayan besar.
“Permisi ada yang bisa saya bantu ibu”. Ucap seorang karyawan butik ramah.
“Kami mau cari gaun pengantin yang sudah jadi, ada?”. Tanya bu Audy.
“Ada bu. Mari saya antar untuk melihat-lihat koleksi kami”.
Mereka di bawa ke dalam ruangan yang berisi deretan baju pernikahan. Mata Kintan takjub melihat deretan gaun indah yang berjejer rapi.
Karyawan yang membawa mereka ke dalam memanggil bos nya untuk melayani bu Audy.
“Ada yang bisa saya bantu ibu?” Pemilik butik itu menyapa dengan Ramah.
“Tolong pilihkan gaun dan stelan pengantin yang cocok untuk mereka mba”.
Diperhatikannya Kintan dan Vian bergantian. “Kami punya beberapa koleksi baju pernikahan yang cocok buat kalian”. Di mintanya pegawainya membawakan beberapa gaun dan pasangannya. Tentu yang sesuai dengan karakter Kintan yang mungil dan bercadar, juga Vian yang tinggi dan gagah.
“Bisa kita coba dulu satu persatu ya kak”. Ucapnya menuntun Kintan menuju ruang ganti.
Vian berdecak. Baginya ini membosankan. Sangat membosankan. Kalo bukan karena maminya. Dia tidak akan pernah mau begini.
Beberapa menit kemudian mereka keluar dengan Kintan yang sudah mencoba gaun itu. Gaun furing berwarna gold yang terlihat sederhana. Dengan Tile berwarna mocca dan payet yang berwarna coklat berbentuk kombinasi bunga menghias bagian perut ke bawah dan ujung lengannya.
Sejenak Vian melotot melihat penampilan Kintan. Walaupun wajahnya tertutup cadar tapi aura kecantikannya tetap terlihat. Tapi lagi-lagi gengsi itu yang membuatnya acuh kembali.
“Wah cantik sekali calon mantu mami. Kamu suka yang ini?”
Kintan cuma menunduk malu.
Sekarang giliran Vian yang mencoba setelan baju pengantin pria. Baju yang sesuai dengan pasangan milik Kintan.
“Kalian sangat serasi”. Ucap pemilik butik itu.
Wajah Kintan merona. Tapi Vian tidak bisa melihatnya.
“Semua perlengkapan sudah siap. Tinggal mencari perias pengantin saja”. Ucap mami Vian. Mami bakal minta salon langganan mami untuk merias Kintan”.
Kintan hanya mengangguk .
“Serah mami”. Vian berlalu dan kembali ke mobilnya.