Sepuluh

1125 Words
%%% Naysa memencet tombol lift secara tidak sabaran. Namun, pintu berwarna silver itu tak kunjung bisa dibuka. Nasya menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ia ingin segera pergi dari gedung ini dan mengemasi semua barangnya. 'Ting' Nasya menoleh. Ia langsung melangkah lebar memasuki pintu lift yang terbuka. Setelah itu ia menutup pintunya dan menekan angka satu. Rasanya sangat sulit bagi Nasya untuk membendung tangisannya. Ia merasa, begitu tidak berarti di hadapan pria yang ia cintai. Ia menyesali perjalanannya ke Jogja. Jika tau akan berakhir seperti ini, mungkin Nasya akan memilih datang ke kencan buta yang disetting kakak iparnya kemarin, ketimbang harus kabur-kaburan ke Jogja. Mungkin inilah yang harus Nasya bayar atas tindakan bodohnya. Bertemu dengan mantan, lalu dicampakkan lagi. Seakan alam telah benar-benar menunjukkan hukumannya bagi gadis pembangkang seperti Nasya. 'Glek' Nasya tersentak saat tiba-tiba lift berhenti. Ia menunggu beberapa saat, menunggu pintu terbuka jika saja akan ada orang yang masuk. Namun, nihil. Bukannya pintu yang terbuka, malah lampu dalam lift yang beberapa kali berkedip. Nasya mulai khawatir. Ia memencet tombol satu beberapa kali, namun lift itu masih enggan bergerak. "Astaga, kenapa lagi sih ini?" Gumamnya. Nasya mencoba membuka pintu lift itu, tapi sama saja tidak bisa. Sepertinya ada masalah pada listrik gedung, atau pada pusat pengoprasian lift itu. Tiba-tiba, lampu padam. Membuat keadaan seolah semakin mencekam. Dengan tangan bergetar, Nasya mencari handphonenya lalu menyalakan senter untuk sedikit memberinya pencahayaan. Nasya juga mulai mencari kontak siapa saja yang bisa membantunya saat ini. Sialnya, hanya ada dua nomor telepon di sana. Milik ibunya, dan Bara. "Aku harus gimana?" Nasya pusing bukan main memikirkan permasalahannya saat ini. Belum lagi pasokan udara yang semakin menipis, dan suhu ruangan yang terasa semakin naik. Nasya berniat menghubungi ibunya. Tapi ia segera mengurungkan niatnya. Ibunya ada di Jakarta. Bukannya membantu menyelesaikan masalah, yang ada malah akan memperkeruh suasana. Pasti ibunya akan khawatir, dan Beliau tidak bisa membantu. Terpaksa, akhirnya ia mencoba menghubungi Bara. 'Tuuutt' 'Tuuutt' Tidak ada jawaban. Nasya kembali mencobanya. Lalu Nasya memilih untuk duduk di lantai karena rasanya tubuhnya sudah mulai melemah. Pasokan oksigen terus menipis, membuat napasnya terasa semakin berat. Belum lagi keringat yang mulai bercucuran di sekitar keningnya. Rasanya Nasya ingin pingsan. "Halo," Meski pun lemah, Nasya tetap berusaha untuk tersenyum setelah mendengar sahutan dari seberang teleponnya. "Halo, Nasya," "Bara," panggil Nasya begitu lemah. Rasanya semua tenaganya sudah benar-benar habis. "Nasya! Kamu kenapa?" Dan sepertinya Bara dapat menangkap nada bicara Nasya yang begitu lemah. Ia yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi pada Nasya. Tubuh Nasya mulai merosot. Bahkan handphonenya pun terjatuh. Dan Nasya masih berusaha meraihnya kembali. "Nasya, jawab!" Nasya berusaha membuka mulutnya, mengatakan beberapa patah kata untuk Bara. "Ak- aku- Bar, tolong!" Ujarnya lirih. Napasnya semakin berat. Bahkan secara refleks Nasya meremasi dadanya yang terasa sesak. "Apa? Nasya kamu bilang apa barusan?" Tanya Bara khawatir. Sebab, ia tidak dapat mendengar jelas apa yang Nasya ucapkan. Nasya ingin menjawab, tapi ia sudah benar-benar tidak memiliki tenaga. "Nasya jawab aku! Kamu di mana sekarang?" Nasya mendengar jelas nada bentakan itu. Namun ia hanya bisa meneteskan air mata karena tak berdaya menjawab pertanyaan Bara. "Nasy-" "Maaf, Pak. Salah satu lift mengalami kerusakan. Dan ada satu penumpang di dalamnya," Samar, namun Nasya dapat menangkap suara yang mengintrupsi ucapan Bara itu. "Ya sudah, sana perbaiki!" Bentak Bara. "Nasya, kamu dengar aku? Nasya! Kamu di mana?" Nasya menggeleng lemah. Ia benar-benar sudah tidak kuat lagi mempertahankan kesadarannya. Ia hanya dapat berharap orang yang mengintrupsi Bara tadi segera memberitahukan keberadaannya sekarang. "Maaf, Pak. Tapi yang ada di lift itu adalah gadis yang baru saja keluar dari ruangan Anda. Saya pikir-" "Apa?" Nasya tersenyum mendengarnya. Sebelum akhirnya ia benar-benar kehilangan kesadarannya dengan telepon yang masih tersambung dengan Bara. Setidaknya, sekarang Bara sudah tau keberadaannya. Dan ia harap, Bara akan segera datang untuk menyelamatkannya. * Nasya dapat merasakan belaian lembut di pipi sebelah kanannya. Seperti mimpi, tapi terasa sangat nyata. Rasanya Nasya tak ingin cepat-cepat membuka matanya. Tapi, sepertinya ia sudah terlalu lama tertidur sehingga sangat sulit untuk dapat kembali terjun ke alam mimpi. Perlahan, dua kelopak mata gadis itu terbuka. Berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk sebelum iris cokelat itu benar-benar tampak. Nasya menoleh ke samping. Dan ia tersenyum saat mendapati Bara ada di sana. Nasya sedikit memiringkan tubuhnya agar dapat memeluk mantan kekasihnya itu. Dan tak lama berselang, Nasya pun dapat merasakan jika sosok itu membalas pelukannya. "Bu, tolong jangan bangunkan Nasya sekarang! Nasya mau bangun besok saja ya," ujar Nasya setengah sadar. Nasya semakin memperdalam pelukannya. Mencium aroma memabukkan dari kemeja pria di depannya. "Memang kamu nggak lapar?" Nasya menggeleng sebagai jawaban. "Besok aja makannya, Bu. Nasya lagi pengen nostalgia sama mantan. Ini rasanya nyata banget. Mana wangi banget lagi," jawabnya begitu natural. Terasa adanya gerakan kecil pada tubuh yang Nasya peluk. Seperti orang yang sedang menahan tawa. Tapi Nasya berusaha tak acuh dan mempertahankan posisinya. "Enak, Sya, nostalgia sama mantannya?" Nasya mengangguk. Ingin sekali gadis itu marah, karena orang itu terus mengganggu konsentrasi Nasya. Tapi, ia tidak bisa marah. Suara orang itu begitu mirip dengan Bara. Membuat fantasi Nasya terasa semakin nyata. "Masih sayang soalnya," balas Nasya sembari tersenyum tipis. Terasa sebuah tangan yang lebar membelai lembut rambut panjang Nasya. Membuat Nasya semakin nyaman dengan posisinya. "Kalau masih sayang, kenapa mau ditinggalin?" Nasya terdiam. Namun, selanjutnya ia berdecak seolah tak suka dengan pertanyaan itu. "Kamu nggak takut bakalan kehilangan dia lagi?" Nasya memperdalam pelukannya. Seolah tak ingin apa yang orang itu katakan menjadi nyata. Tidak. Ia tidak bisa kehilangan Bara untuk kedua kalinya. "Sya," "Enggak mau. Nasya nggak mau kehilangan Bara lagi. Nasya cuma cinta sama Bara, Bu," Terdengar helaan napas panjang yang membuat Nasya sadar akan sesuatu. Otak kecil gadis itu pun mulai bekerja di tengah kenyamanan yang ia rasakan. 'Kenapa mimpi bisa senyata ini? Dan tumben banget Ibu kepo soal kehidupan pribadi aku,' Nasya kembali mengosongkan pikirannya. Berusaha berpikir positif jika semua itu hanya mimpi. Tapi, ke mana perginya suara yang sangat Nasya sukai tadi? Kenapa tiba-tiba senyap? "Bu," panggil Nasya. "Ibu bicara lagi dong! Suara Ibu mirip suara Bara, Nasya suka," ujarnya yang masih dengan suara serak. Masih tak ada sahutan. Nasya kembali ingin melemparkan protes dan meminta ibunya kembali bicara dengan suara yang mirip dengan milik Bara itu. Tapi, sebuah suara sudah lebih dulu mengintrupsinya, "Sayangnya aku bukan ibu kamu, Nasya," Secara refleks, Nasya mulai memundurkan kepalanya. Matanya terbuka secara perlahan untuk menatap sosok yang tampak menyilaukan di depan matanya. O o, ini bukan mimpi. Bukan sekadar fantasi Nasya. Tapi suara itu, aroma itu, dan pelukan itu benar-benar milik Bara. %%% Bersambung ... Nahloh... bagaimana respon kalian selanjutnya kalau jadi Nasya? Tulis di komentar, ya! Jangan lupa follow i********: @riskandria06 biar kita bisa seru-seruan bareng dan bisa lihat spoiler dari aku. Untuk info open PO dan ready stock novelku juga akan aku share di sana. Jadi kuy kuy follow!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD