Sembilan

1136 Words
% Aku sudah terbiasa dengan kata 'Kecewa'. Tapi di sini aku tidak akan menyalahkanmu. Karena semua adalah salahku, yang mungkin bermimpi terlalu tinggi % %%% Nasya dan Bara. Dua sejoli itu kini tengah duduk berjauhan di sofa panjang yang ada di ruang kerja Bara. Nasya memangku kedua tangannya sendiri, dan kepalanya sedikit tertunduk untuk menghindari berhadapan langsung dengan Bara maupun tiga perempuan yang berdiri di depannya. "Kami benar-benar tidak tau kalo mbak ini kerabat Anda, Pak," itu suara Veni. Nasya cukup hafal meski hanya beberapa kali mendengarnya. "Minta maaf!" Suruh Bara dengan suara dingin. "Ka.. kami minta maaf, Pak. Kami mengaku sal-" "Bukan padaku. Tapi pada perempuan yang sudah kalian rendahkan!" Potong Bara. "Mbak, kami minta maaf. Kami tidak bermaksud merendahkan Mbak. Kami tidak tau kalau Mbak ini orang yang spesial untuk Pak Bara," Eka. Nasya mengangkat kepalanya lalu mengangguk pelan. "Saya sudah melupakannya. Lain kali jangan diulangi, ya! Jangan menilai seseorang dari penampilan dan latar belakangnya!" Balas Nasya. Tiga perempuan itu mengangguk. Lalu ketiganya kembali menghadap Bara takut-takut. "Jadi, kami tidak jadi dipecat kan, Pak?" Veni. Belum sempat Bara membuka mulut, Nasya sudah dulu menyela, "Tidak. Kalian bisa segera kembali bekerja!" Sambar Nasya. Bara melemparkan tatapan protes ke arah Nasya. Sementara tiga pegawai wanita itu sama-sama tersenyum lega, namun ketiganya masih belum bisa pergi sebelum keputusan itu disetujui Bara. "Tidak! Enak saja. Kalian tetap dipecat. Kemasi barang kalian!" Bara. Veni, Eka dan Ida terkejut. Ketiganya menghampiri Bara dan memohon ampun pada bosnya itu. "Kami mohon beri kami kesempatan, Pak. Kami janji tidak akan mengulanginya lagi," Ida. "Iya, Pak. Mbak nya juga sudah memaafkan kami," Veni. Nasya menghela napas panjang. Memang benar jika Bara memiliki hak untuk memecat pegawainya. Tapi, Nasya tidak ingin tiga perempuan itu mengenang Nasya sebagai penyebab dipecatnya mereka. "Cepat kemasi barang kalian dan pergi dari perusahaan saya!" Tegas Bara. "Sudahlah, kalian bisa kembali bekerja. Kembali ke ruangan kalian masing-masing!" Sambung Nasya. "Nasya-" Bara hendak melemparkan protes pada gadis itu. Tapi Nasya sudah dulu menatapnya sinis. "Saya yang jamin kalau Bara tidak akan memecat kalian. Karena kalau kalian sampai dipecat, saya akan benar-benar kembali ke Jakarta. Hari ini juga." Bara membolatkan matanya. Ia tidak bisa mendebat lagi. Belum selesai masalah ibu Nasya yang menyuruhnya segera pulang untuk dijodohkan, kini gadis itu sendiri yang mengancamnya jika akan segera pergi. "Ja.. jadi bagaimana, Pak?" Veni. Bara dan Nasya masih bertukar pandangan. Namun bibir keduanya sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun. Rasanya terlalu banyak yang Bara ingin sampaikan pada gadis itu, sampai ia tidak tau cara mengatakannya. "Pak," tegur Eka memecah lamunan Bara. "Kembalilah bekerja!" Ujar Bara pada akhirnya. Bara sudah membuat keputusan. Ia tidak ingin Nasya secepat itu kembali ke Jakarta. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak," Eka. "Iya, terima kasih, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya di waktu mendatang," Veni "Saya juga. Sama Mbak nya juga yang sudah membantu membujuk Pak Bara. Kami benar-benar minta maaf, Mbak," Ida. Nasya hanya menanggapinya dengan senyuman tipis lalu kembali fokus menatap Bara. "Keluarlah!" Usir Bara terhadap tiga pegawainya. Ia tidak kuat lagi. Banyak hal serius yang harus ia bicarakan pada Nasya. Veni, Eka dan Ida pun segera pamit dan berlalu dari ruang kerja Bara. Meninggalkan Nasya hanya berdua dengan pria berhati dingin itu. "Apa yang baru saja kamu katakan?" Tanya Bara dengan nada tajam setelah tinggal ia dan Nasya yang ada dalam ruang kerjanya. "Apa?" Tanya Nasya berpura-pura tidak mengerti. Jelas ia tau, Bara tengah membicarakan tentang ancamannya tadi. Karena memang sejak dari perjalanan setelah makan siang tadi permasalah mereka tentang satu hal itu belum juga terselesaikan. "Kamu ingin pulang ke Jakarta?" Bara. "Jelas aku ingin. Rumahku di sana, keluargaku di sana. Ibu dan kakak-kakakku pun tidak akan tenang kalau aku terlalu lama di sini!" Kesal Nasya. Bara menegakkan tubuhnya, lalu sedikit mencondongkannya ke depan. "Jadi perkataanmu waktu itu hanya bualan saja?" Nasya menyerit atas pertanyaan yang terlontar dari mulut Bara. "Perkataan apa?" Tanya Nasya. Tapi Bara tak menjawab. Ia seakan memberi Nasya waktu untuk mengingat-ingat sendiri. "Kayaknya, aku masih cinta kamu deh, Bar," "Itu hak kamu," "Jadi kamu tidak melarangku buat suka sama kamu kan?" "Lalu kamu? Kamu suka aku juga nggak?" "Tergantung. Kalau kamu bisa membuatku tertarik lagi, mungkin aku akan cinta juga sama kamu," "Maksudnya, masih ada kesempatan buat aku?" "Ada, walaupun tipis," "Setipis apa yang kamu pikir, kalau pada nyatanya kita tinggal di bawah satu atap yang sama?" Nasya memejamkan matanya erat-erat mengingat percakapan mereka itu. Ia baru sadar, harusnya ia tak perlu mengatakannya dengan begitu gamblang di depan Bara. Dan sekarang, kesannya seperti dia hanya memberi harapan palsu pada pria itu. "Hmm.. mak.. maksud aku nggak git-" "Pulanglah kalau kamu memang ingin pulang! Anggap saja beberapa hari ini hanya mimpi, dan kita tidak pernah bertemu di Jogja!" Ujar Bara dengan suara dingin. Benar. Memang apa yang Nasya harapkan? Bara menahannya? Lalu mengatakan jika pria itu juga mencintainya? Itu semua tidak mungkin. Tidak mungkin bagi sosok seperti Bara semudah itu menjatuhkan hatinya kepada mantan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Nasya menunduk dalam. Ada rasa sakit yang menjalar setelah menyadari bahwa keberadaannya sama sekali tak berarti untuk Bara. Sepertinya kembali memanglah pilihan yang terbaik. Tak ada lagi yang bisa ia harapkan di Jogja. Yang ada, semakin lama ia di sini, semakin sakit pula perasaannya kelak saat Bara kembali meninggalkannya. "Ak.. aku.. aku.." "Kalau begitu aku pamit ya, Bar. Aku mau beres-beres sekarang," ujar Nasya kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja Bara. "Biar aku antar. Tunggu sebentar!" Bara. Nasya membalikkan badannya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Kamu bilang, kamu masih banyak pekerjaan kan? Lagi pula, jarak apartemen dengan kantor ini tidak terlalu jauh," Nasya. Bara tak lagi menanggapi. Ia membiarkan Nasya pergi. Matanya seakan tak berkedip saat mengantar sosok gadis yang bahkan kakinya masih pincang itu menghilang ke balik pintu. Dan setelah kepergian Nasya, ia hanya bisa mengerang frustasi sembari memukul sofa di sampingnya. Lalu, Bara meremas rambutnya sendiri. Rasanya ia benar-benar hampir gila. Apa keputusannya untuk membiarkan Nasya pulang adalah pilihan yang terbaik? Apa ia tidak akan menyesalinya kelak? "Kemarin Ibu tanya kondisi kaki aku bagaimana, terus aku bilang kalau aku udah sembuh. Dan Ibu minta aku pulang secepatnya biar nggak terlalu lama ngerepotin kamu," "Ibu tidak enak membiarkan aku menumpang terlalu lama sama orang yang bukan kerabat kami. Lagi pula, aku ke Jogja itu buat kabur dari perjodohan. Dengan aku kabur aja Ibu sudah marah besar, apalagi sekarang aku menumpang di tempat kamu?" Nasya akan dijodohkan. Dan jika Bara melepaskannya kali ini, itu artinya Bara juga harus siap kalau kemungkinan besar ia tidak akan bisa bersama Nasya lagi. Itu artinya, setelah ini Nasya akan menjadi milik orang lain. Dan tak akan ada lagi kesempatan kedua untuk ia kembali bersama dengan Nasya. %%% Bersambung .... Nggak kalah gumush dari Devania 2, kan? Cuma bedanya ini before marriage udah ada roman-romannya. Unsur komedinya tidak kurang, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD