Sebelas

1333 Words
%%% Nasya duduk termenung sembari memeluk erat lututnya. Kalimat-kalimat bodoh yang telah ia lontarkan beberapa menit yang lalu terus mengusik pikirannya. Di belakang gadis itu, Bara masih bersantai dan menyandarkan punggungnya. Tunggu! Ada yang berbeda di sini. Ini bukan apartemen yang beberapa hari terakhir Nasya tempati. "Kamu tidak ingin sarapan sekarang?" Pertanyaan itu sudah tiga kali Bara lontarkan. Perutnya pun sudah terasa perih minta diisi. Padahal selama ini ia bukan tipe orang yang gila makan seperti Nasya. Tapi kenapa pagi ini Nasya tampak tidak begitu berselera? "Sya, kamu merasa sakit? Pusing? Perlu kita ke rumah sak-" "Kita di mana?" Potong Nasya sambil mengangkat kepalanya dan menyisiri setiap sudut ruangan tempatnya berada dengan matanya. Bara mengerti. Ia menegakkan tubuhnya dan sedikit bergeser mendekati Nasya hingga gadis itu menoleh setelah merasakan adanya pergerakan di sampingnya. "Rumah kita." Jawab Bara kelewat santai. Nasya menyerit bingung. Apa ia salah dengar? "Rumah siapa?" Tanya Nasya, agar Bara memperjelas ucapannya sehingga Nasya tidak salah tangkap. "Rumah kita," ulang Bara. Nasya melongo tak percaya. Sejak kapan ia bisa membeli rumah semewah ini? Dan.. apa maksud Bara dengan "kita"? "Aku pikir apartemen itu terlalu sempit untuk dihuni kita berdua," Bara. Nasya mengangguk setuju. Sebenarnya bukan sempit. Hanya saja apartemen itu cuma memiliki satu kamar sehingga ia harus berbagi ruang dengan Bara. Sedikit tidak nyaman walau ada rasa suka, di balik rasa tidak nyaman itu. "Hmm.. kan aku sudah bilang. Aku akan kembali ke Jakarta secep-" "Tidak!" Kali ini giliran Bara yang memotong ucapan Nasya. "Maksud kamu?" Bingung Nasya. "Aku tidak mengizinkan kamu pergi." Ujar Bara begitu tegas. Nasya menyipitkan matanya. Mempertajam penglihatannya untuk menelisik sorot mata pria di depannya. "Bar, Ibu nyuruh aku pulang," ujar Nasya. Siapa tau Bara lupa dengan ucapannya kemarin. "Dan aku tidak mengizinkannya," Bara. "Tapi kemarin kamu bilang-" "Itu kemarin, Nasya. Dan sekarang aku sudah berubah pikiran," potong Bara. Oke. Nasya mulai geram dengan sikap bossy Bara dan cerocos pria itu yang terus saja memotong ucapannya. "Terserah apa kata kamu. Yang penting aku akan pulang ke Jakarta secepatnya," tegas Nasya. Nasya berusaha bangkit dari posisinya. Namun, belum sempat ia berdiri, tubuhnya sudah limbrung lebih dulu. Untung saja ada Bara yang menariknya sehingga Nasya jatuh di atas kasur, bukannya di lantai. Kepalanya terasa pening. Mungkin efek terlalu lama tertidur dan stress karena ucapan Bara yang terkesan seenaknya. "Kamu masih pusing?" Tanya Bara. Bara memaksa Nasya untuk kembali berbaring. Lalu pria itu mengambil handphone di atas nakas untuk menghubungi seseorang. "Panggil seorang dokter ke rumahku!" Nasya mendelik dan menyorot Bara dengan tatapan tidak terima. "Bar, aku nggak apa-apa," lirih Nasya. Bara hanya melirik sekilas kemudian kembali fokus pada lawan bicaranya di seberang telepon. Nasya yakin, lawan bicara pria itu adalah Hilman. "Hmm.. secepatnya. Tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Dan tolong, cari yang benar-benar berkompeten!" "..." "Tidak. Dia hanya merasa pusing dan masih keras kepala tidak ingin makan," Nasya memutar bola matanya malas mendengar ucapan Bara yang pastinya membahas tentangnya. "Kamu mau makan apa?" Tanya Bara pada Nasya. "Aku bisa makan apa saja," jawab Nasya asal. Dia terlalu kesal, bahkan untuk sekadar menanggapi ucapan pria di sampingnya itu. "Oke. Ayam panggang atau ayam krispi. Belikan juga sayur dan buah! Apapun, terserah kamu," Bara. Nasya semakin menajamkan tatapannya. Ia merasa tidak mengucapkan satu jenis makananpun saat Bara bertanya. Tapi kenapa pria itu bisa begitu lancar menyebutkan makanan-makanan kesukaannya? Nasya mengalihkan pandangannya saat menyadari jika Bara sudah mengakhiri teleponnya. "Sebentar lagi dokter dan makanan kamu akan sampai. Aku ke dapur sebentar untuk mengambil air," Bara. Nasya mengangguk malas. "Kamu mau sekalian?" Tawar Bara. "Nanti aku ambil sendiri saja," Nasya. Bara segera bangkit dan meninggalkan Nasya sendirian di dalam kamar. Secepat kilat, Nasya menarik tubuhnya untuk duduk. Ia kembali menyisir setiap sudut ruangan mewah yang ia tempati saat ini. Bahkan ukurannya masih lebih besar dari kamar di apartemen Bara kemarin. "Tapi bagaimana bisa aku sampai di sini? Perasaan kemarin-" Nasya menjeda ucapannya. Nasya berusaha mengingat kejadian apa saja yang menimpanya kemarin. Makan siang, Berdebat dengan Bara, Berniat pulang, Dan saat di lift.... Yaps. Nasya ingat. Terakhir kali ia dalam posisi sadar adalah ketika ia ada di dalam lift yang bermasalah. Nasya ingat betul jika saat itu ia terkurung sendirian hingga kehabisan oksigen. "Jadi benar, saat itu Bara datang buat menyelamatkan aku?" Nasya memijat pangkal hidungnya yang kembali terasa pening. Sepertinya ia belum siap memaksakan pikirannya bekerja terlalu keras. Mungkin efek kurangnya oksigen yang ia hirup kemarin. Namun, matanya yang sempat menyipit kini kembali terbuka lebar. Bahkan ia sempat terlonjak dan hampir jatuh dari atas tempat tidur. Baju tidur? Bukankah terakhir kali ia memakai pakaian casual saat ke kantor Bara? "Tidak! Tidak mungkin Bara-" 'Nggak, Nasya! Jangan berpikir aneh-aneh!' Tidak mungkin kan kalau Bara yang menggantikan pakaiannya? Cklek Nasya kembali terpenjat. Namun selanjutnya ia sedikit merasa tenang ketika melihat Bara dan seorang pria paruh baya berpakaian rapi masuk ke dalam kamar. "Masih pusing?" Tanya Bara sembari menghampiri Nasya. Nasya mengangguk kecil sebagai jawaban. "Kenapa dipaksakan untuk duduk kalau masih pusing?" Tanya pria itu lagi. "Bar aku-" Nasya rasanya tak dapat membendung rasa ingin taunya tentang bajunya yang sudah berubah pagi ini. "Nanti saja bicaranya. Dokter ini akan memeriksa kamu. Silahkan, Dok!" Nasya kembali berbaring. Namun pikirannya masih belum tenang. 'Tidak mungkin Bara kan?' 'Ck, pasti bukan Bara,' 'Tapi siapa kalau bukan dia?' "Anda masih merasa sesak napas?" Nasya menatap dokter yang mengajaknya bicara itu, lalu menjawab pertanyaannya dengan gelengan. "Hanya sedikit pusing, Dok," balasnya. "Hmm.. sepertinya efek dari pingsan kemarin. Lebih baik Anda tidak melakukan atau memikirkan hal berat dulu untuk satu atau dua hari ini!" Ujar dokter itu. Nasya mengangguk patuh. Memang apa lagi yang bisa dia katakan? "Apalagi Anda juga sedikit demam. Nanti akan saya beri obat penurun demam. Dan untuk hari ini sebaiknya perbanyak istirahat dan jangan sampai stress dulu," Nasya kembali mengangguk. Sialnya, tatapannya beradu dengan Bara saat ia mencoba memperhatikan penjelasan dokter itu. Dengan segera, Nasya mengalihkan tatapannya ke arah lain. 'Baju aku.. siapa yang ganti?' 'Serius bukan Bara kan?' Nasya benar-benar dihantui oleh pikiran yang tidak-tidak itu. Bahkan tanpa sadar ia meremas kuat ujung selimutnya. "Sya, kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Bara membuyarkan lamunan Nasya. "Hah?" Kaget Nasya. "Ada yang sakit?" Ulang Bara dengan begitu sabar. "Eng.. enggak kok," jawab Nasya gugup. Rasanya sangat canggung saat ia harus bertatapan dengan Bara. Di mana rasa percaya dirinya selama ini? Di mana sifat periangnya selama ini? Kenapa kini hilang begitu saja hanya gara-gara sang mantan kekasihnya itu? "Sampaikan saja kalau ada yang sakit! Mumpung dokternya masih di sini," Bara. "Aku nggak apa-apa kok, Bar," balas Nasya. "Ingat pesan saya, jangan stress!" Sambung dokter yang masih ada di antara mereka. Nasya mengangguk patuh. "Akan saya coba," ujarnya. "Apa ada masalah serius dengan kondisinya, Dok?" Bara. "Sejauh ini tidak. Hanya saja ia kemarin cukup lama kekurangan oksigen dan itu memberikan pengaruh terhadap otaknya," terang dokter. Tidak peduli. Nasya tampaknya enggan mendengarkan penjelasan dokter itu. Yang ada di pikirannya saat ini hanya, 'Siapa sekiranya yang sudah menggantikan pakaiannya?' "Apa perlu dibawa ke rumah sakit?" Nasya mendelik mendengarnya. "Tidak!" Tolaknya keras. "Sejauh ini tidak. Tapi coba lebih dijaga lagi emosi dan pikirannya! Jangan sampai stress dulu," dokter. Baik Nasya ataupun Bara, keduanya hanya membalasnya dengan anggukan. "Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, ya?" Pamit dokter itu. "Sebentar, biar saya antar," ujar Bara. "Tidak usah. Sebaiknya Anda temani saja kekasih Anda ini. Sedikit tenangkan dia agar tidak terlalu stress. Karena sepertinya ada beberapa masalah yang sedang ia pikirkan," Bara melirik Nasya tepat sebelum gadis itu mengalihkan pandangannya. "Baiklah. Terima kasih. Hilman akan mengurus biaya dan yang lainnya. Sekalian berikan saja resep obatnya pada Hilman!" Keringat dingin membanjiri kening Nasya setelah dokter itu keluar dari kamarnya. Apakah ia harus bertanya langsung pada Bara tentang pakaiannya yang tiba-tiba sudah berganti? 'Tenang, Nasya! Di sinetron dan n****+ banyak yang seperti ini. Dan biasanya ada pelayan yang menggantikan pakaian si mbaknya,' 'Ya. Kali ini pasti juga begitu,' %%% Bersambung .... Ayok siapa yang gantiin pakaian Nasya hayoo?? Tebak di kolom komentar, ya!! Kalau kalian suka cerita ini, silakan rekomendasikan juga ke teman-teman kalian. Biar bisa ghibahin Nasya-Bara bareng-bareng ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD