%%%
Nasya terkejut saat Bara membuka pintu di sampingnya dan langsung menyelipkan tanganya di belakang lututnya.
"Em.. tunggu! Sepertinya aku bisa jalan sendiri," ujar Nasya gelagapan.
Ia tidak ingin terlalu merepotkan Bara. Apalagi status mantan yang membuat mereka sama-sama canggung.
"Hh.. kamu lupa kata dokter tadi? Kaki kamu harus diistirahatkan dua sampai tiga hari," balas Bara dengan nada datar dan kembali melanjutkan niatnya untuk menggendong Nasya.
Detak jantung Nasya kembali tak beraturan. Ia sangat gugup berada dalam rengkuhan pria yang pernah menguasai hatinya itu. Atau mungkin, memang masih sampai sekarang?
Sesekali Nasya mencuri-curi pandang ke arah Bara. Ia merasa sayang apabila wajah setampan itu harus ia anggurkan begitu saja.
Ting
Pintu lift terbuka. Bara membawanya masuk, lalu supirnya memencetkan tombol lantai dimana unit Bara berada.
Nasya masih mencuri-curi pandang. Hingga tiba-tiba tatapan mereka bertemu. Bara menatap gadis dalam gendongannya dengan tatapan datar. Membuat Nasya bergeming dan segera mengalihkan perhatiannya.
Nasya menatap monitor pada lift yang menunjukkan angka semakin banyak. Namun ia dapat merasakan, jika Bara masih menatapnya hingga kini. Membuatnya merasa seperti dikuliti, tapi ia tidak bisa menghindarinya.
'Aku harus segera pergi setelah mendapatkan tas dan koperku. Tapi, kaki aku kuat nggak, ya?' batin Nasya. Gadis itu meringis tiba-tiba. Merutuki kesialannya hari ini.
"Apa ada yang terasa sakit lagi?" tanya Bara yang berhasil mengembalikan kesadaran Nasya. Nasya tersentak dan refleks kembali menoleh ke atas, ke arah Bara. Dia menggeleng kaku.
"Eng.. enggak kok," jawabnya gagap.
Jantung Nasya berdetak semakin kencang saat manik hitam di depannya masih terus menyorot ke arahnya. Ia memejamkan matanya sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Berusaha membunuh kegugupannya.
Ting
Akhirnya, sampailah mereka di lantai dimana unit Bara berada. Bara mulai berjalan santai, hingga mereka bertemu dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengan mereka, memberi salam pada Bara. Mungkinkah dia asisten yang Bara maksud?
"Selamat malam, Pak. Barang-barang Anda sudah saya letakkan di dalam,"ujar pria itu.
"Hmm.. terima kasih," balas Bara.
Pria sepantaran mereka itu membukakan pintu apartemen untuk Bara, lalu mengawalnya masuk.
'Itu dia!' pekik Nasya dalam hati saat melihat koper abu-abunya di sudut ruang tamu.
Nasya sedikit menggeliat, tak sabar rasanya untuk turun dari gendongan Bara dan segera pergi.
"Diamlah! Kamu berat," ujar Bara yang membuat Nasya mendengus. Mana ada perempuan yang tidak kesal saat dibilang 'Berat?'
"Eh.. kita mau ke- loh.. kok ke sini?" Suara gadis itu melengking meneriakkan protesan karena Bara membawanya ke sebuah kamar.
Bara tak langsung menanggapinya. Membuat jiwa liar Nasya semakin aktif dan memberontak untuk minta diturunkan dari gendongan Bara.
"Diam dulu!" suruh Bara.
"Nggak! Turunkan aku! Aku cuma mau koper sama tasku," gertak Nasya.
Bara meletakkan Nasya di atas tempat tidur miliknya. Merasa bebas, Nasya pun segera bangkit dan hendak beranjak sebelum Bara kembali mendorong dan memaksa gadis itu untuk rebahan.
"Aku mau tas dan koperku," rengek Nasya seperti anak kecil.
"Hh.. Hilman, ambilkan barang-barangnya!" suruh Bara pada asistennya. Hilman pun mengangguk dan segera pergi. Meninggalkan Nasya bersama dengan Bara hanya berdua.
Keadaan menjadi semakin canggung. Nasya tahu, berduaan dengan seorang pria dewasa di dalam kamar bukanlah sesuatu yang baik. Meskipun Bara tampak cuek dan tidak tertarik padanya, tapi tetap saja dia adalah pria. Apalagi mengingat status "mantan kekasih" yang melekat pada pria di hadapannya kini.
"Ini, Pak," ujar Hilman. Akhirnya Hilman datang dan menyerahkan koper Nasya.
Nasya pun segera bangkit. Ia duduk di tepi ranjang Bara lalu memeriksa kopernya. Dan.. memang benar. Itu adalah kopernya.
"Tasnya dimana?" tanya Nasya.
"Tas?" bingung Hilman. Nasya melirik Hilman yang menyerit kebingungan.
"Saya tidak menemukan tas Anda. Saya hanya melihat koper itu dan langsung membawakannya," balas Hilman.
"Hah?" kaget Nasya dan langsung melongo tak percaya.
Bagaimana bisa? Dompet, handphone, uang, kartu identitas, semua ada di tas itu.
Sepertinya ini benar-benar yang dinamakan karma. Lengkap sudah penderitaan Nasya dipelarian kali ini.
"Tapi harusnya ada kok.. Lalu gimana, semua barang penting ada di situ. Saya tidak bisa apa-apa tanpa tas itu," rengek Nasya. Rasanya ingin menangis jika saja ia tidak gengsi karena keberadaan Bara di sampingnya.
"Tapi memang tidak ada, Nona," jawab Hilman.
"Pergilah ke bandara lagi, dan cari baik-baik tasnya. Cepat sebutkan ciri-ciri tasmu!" sambung Bara.
"Tidak usah. Biar aku mencarinya sendiri. Aku rasa aku sudah merepotkan terlalu banyak hari ini," tolak Nasya.
Ia bersiap untuk berdiri. Namun tubuhnya lembali limbrung sebelum ia sempat berdiri tegak. Untung saja ada Bara yang dengan sigap menangkapnya. Jika tidak, mungkin kesialannya akan bertambah lagi hari ini.
"Kamu akan di sini sampai tasmu ditemukan. Hilman yang akan mencarikannya," putus Bara.
"Tapi kan-"
"Kamu tidak keberatan kan, Hilman?" tanya Bara pada Hilman, memotong ucapan Nasya.
"Tidak, Pak. Kalau begitu saya akan mencarinya lagi. Selamat beristirahat, permisi," pamit Hilman. Sesaat setelah itu, Hilman pergi.
Dan tinggalah Nasya dan Bara di dalam apartemen ini.
WHAT??? BERDUA???
Nasya dilanda kepanikan seketika. Ia bertekad untuk pergi, apapun risikonya.
Ia mencoba untuk berdiri, namun kembali gagal dan pantatnya jatuh menimpa tempat tidur.
"Kamu kenapa sih?" bingung Bara melihat tingkah Nasya yang seperti cacing kepanasan.
"Sudah ku bilang aku mau pergi," jawab Nasya.
"Jangan keras kepala! Kamu mau kemana? Kartu nama dan uang saja kamu tidak punya. Kamu juga tidak punya kenalan di sini selain aku," ujar Bara.
Nasya menyeritkan alisnya. Ia mulai menangkap maksud ucapan Bara yang sesungguhnya. Juga niatan pria itu.
"Mak.. maksudnya?" tanya Nasya memastikan kebenaran dari praduga yang ada di otaknya.
"Kamu akan tinggal di sini sampai tas kamu ditemukan, dan keadaanmu membaik," putus Bara.
Glerrrrr
Tinggal berdua dengan mantan?
Nasya menggeleng kuat. Jelas, ia menolak keras keputusan sepihak Bara itu.
"Aku tetap akan pergi. Aku akan menyewa motel kecil atau apapun yang tidak memerlukan kartu identitas. Mmm.. ak.. aku.. aku.."
"Boleh tidak aku pinjam sedikit uang?" lanjut Nasya ragu.
Bara menyunggingkan senyum tipis. Tidak, lebih tepatnya senyum licik. Membuat Nasya kembali merasa ngeri.
"Tidak." jawabnya singkat, padat, jelas, dan bangs*t.
Nasya membolatkan matanya. Ia ingin marah dan meneriaki pria itu. Tapi, sayangnya ia sedang membutuhkan bantuan pria itu. Jadi ia harus menekan egonya lebih dalam lagi.
"Please. Aku janji akan segera menggantinya setelah tasku ketemu. Hmm.. cuma lima ratus ribu kok," ujar Nasya memohon.
"Aku bilang tidak ya tidak." tegas Bara mutlak.
Nasya memutar otaknya lebih keras. Mencari cara agar ia tetap dapat menyingkir dari hadapan pria menjengkelkan itu.
"Kamu nggak kasihan apa, lihat kondisiku yang seperti ini? Aku cuma pengen pinjam sedikit uang buat nyewa motel, setidaknya buat malam ini saja, aku capek dan butuh istirahat, Bar!" kesal Nasya.
"Justru karena itu. Lebih baik kamu menginap di sini untuk beberapa hari ke depan," balas Bara.
"Aku tidak mau," jawab Nasya.
"Aku tidak peduli. Tapi aku tidak akan membantumu keluar, ataupun meminjamkan uang padamu," ungkap Bara santai.
Nasya tidak mengerti lagi apa yang harus ia katakan pada Bara.
"Di sini hanya ada satu kamar. Aku akan tidur di sofa itu, dan kamu boleh tidur di sini sampai kakimu sembuh," imbuh Bara.
Apa-apaan ini? Masalahnya sofa yang ditunjuk Bara juga terletak di kamar yang sama. Mana mungkin Nasya bisa tidur satu ruangan dengan pria yang telah berstatus sebagai mantan terindahnya itu?
"Tidak! Aku nggak bisa tidur sekamar sama orang sembarangan," tolak Nasya.
"Apa? Kamu bilang orang sembarangan?" tanya Bara tidak terima.
Oke. Nasya melupakan kenyataan bahwa Bara adalah anak dari konglomerat, donatur terbesar sekolahnya dulu.
"Maksud aku-"
"Sudah cukup berdebatnya, Nasya! Aku lelah dan lapar. Sebentar, aku ambilkan makanan untuk kita," ujar Bara kemudian keluar dari kamar. Membuat Nasya dapat bernapas lega walau hanya beberapa saat.
Ia harus memikirkan cara agar bisa kabur dari apartemen sialan ini.
%%%
Bersambung ...