%%%
Nasya memijat pangkal hidungnya yang terasa ngilu. Sepertinya ia mulai merasakan apa yang dimaksud dengan karma. Pasalnya, baru saja ia kabur dari kencan buta sekaligus membohongi keluarganya demi melancarkan aksinya berlibur ke Jogja. Dan kini, tubuhnya terasa sangat tidak nyaman. Bahkan sesekali perempuan berusia dua puluh enam tahun itu meringis akibat perutnya yang terasa nyeri.
'Apa tadi siang aku salah makan ya? Perasaan makan sup biasa, buatan Ibu,' batin Nasya.
Penglihatannya juga mulai berkunan-kunang. Ia seperti orang yang baru saja keracunan makanan. Padahal ia merasa ia tidak habis mengkonsumsi sesuatu yang aneh.
Tak terasa, kini tibalah Nasya di Jogja. Ia menyeret kopernya dengan kepayahan ke arah pintu kedatangan.
"Ssshh.. mana belum sempat booking hotel dan pesan taksi online lagi," keluhnya.
Nasya menoleh kesana-kemari mencari bangku agar ia dapat beristirahat sejenak. Setelah menemukan apa yang ia cari, Nasya pun bergegas kesana. Namun, baru dua langkah ia beranjak, seseorang menabrak bahu kanannya sehingga ia terjatuh.
"Aww.." pekiknya.
Sebenarnya tabrakan itu tidak terlalu keras. Bisa dikatakan, hanya sebuah senggolan kecil. Namun, mengingat kondisinya yang sedang tidak fit, tak heran jika gadis ceroboh itu kini terkapar di lantai.
"Maaf, maaf saya tidak sengaja," Nasya masih terus meringis sembari mengusap kakinya yang terasa sangat sakit.
"Nasya?"
Mendengar namanya disebut, sontak Nasya pun segera mengalihkan pandangannya.
Dan mata gadis itu membulat sempurna saat melihat sosok sang mantan kekasih yang sudah lama tidak ia temui.
"Bara?" Kaget Nasya.
Sempat terjadi keheningan diantara dua manusia itu. Namun, lebih dulu Bara segera tersadar dan kembali teringat akan ringisan kesakitan Nasya akibat ulahnya.
"Em.. aku benar-benar tidak sengaja. Maaf," ujarnya.
Nasya mengejapkan matanya, lalu mengangguk singat.
Tanpa sepengetahuan Bara, Nasya mengepalkan tangannya. Ternyata ia tidak pernah menjadi apa yang selalu ia bangga-banggakan di depan semua orang. Ia tidak sekuat itu.
Nyatanya, hanya dengan berhadapan dengan sosok Bara pun hatinya sudah bergetar hebat. Padahal selama ini ia selalu menganggap remeh cinta, agar tampak kuat di depan orang-orang di sekelilingnya.
"Kaki kamu nggak papa?" Bara. Nasya menggeleng lemah. Sungguh, rasanya Nasya tidak kuat jika harus berlama-lama bertatap-tatapan dengan Bara. Tujuh tahun telah berlalu. Tapi nyatanya waktu tidak sanggup menghapus perasaannya.
"Aww..." Nasya kembali memekik saat merasakan kakinya ditekan sedikit kuat.
"Seperti ini yang kamu bilang tidak apa-apa?" tanya Bara dengan nada tajam.
"Ng.. nggak papa kok. Emm.. ya sudah aku- akh," nyatanya Nasya tidak sanggup berdiri karena sepertinya kakinya terkilir.
Boom!
Dan jantungnya seakan ingin meledak saat merasakan tubuhnya melayang dalam gendongan Bara.
Pria itu mengatupkan erat mulutnya, tak banyak bicara dan fokus berjalan keluar dari area bandara.
"Kit.. kita mau kemana?" tanya Nasya ragu.
'Jantungku.. enggak! Ini tidak boleh terjadi. Aku harus segera pergi,' pikir gadis itu.
"Hmm.. turunkan aku di kursi it- eh.. kok- kamu mau bawa aku kemana?" bingung Nasya saat Bara memasukkannya ke bangku belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam.
Tak berselang lama, Bara masuk dari pintu sebelah kanan dan mengambil posisi duduk di sebelahnya. Nasya sedikit bergeser untuk mengoptimalkan jarak antara dirinya dengan Bara.
"Kita mau langsung ke apartemen atau-"
"Rumah sakit," potong Bara sebelum sang supir menyelesaikan pertanyaannya.
Nasya tersentak. Ia ingat betul jika tas dan kopernya masih ada di tempat ia terjatuh tadi.
"Tapi tas sama koper aku masih di sana," ujarnya.
Tap
Tatapan mereka kembali bertemu saat Bara menoleh.
"Asistenku yang akan mengurusnya." jawab Bara singkat sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke depan.
Nasya memilih diam dan menyenderkan punggungnya. Kesehatannya sedang benar-benar terganggu, bahkan rasanya ia ingin muntah sekarang.
"Bbb..."
"Kamu kenapa?" tanya Bara khawatir saat melihat Nasya yang tiba-tiba menutup mulutnya seperti orang akan muntah.
Nasya menggeleng. Namun rasa mual dan lemasnya belum benar-benar hilang.
"Pak, jalan lebih cepat!" suruh Bara pada sang supir.
*
Kini, Bara tengah berhadapan dengan dokter yang baru saja memeriksa keadaan Nasya. Sementara Nasya, masih berbaring di atas tempat tidur. Matanya terpejam menahan nyeri di perutnya yang kian menjadi.
"Hanya stress, jadi asam lambungnya naik. Sepertinya pola makannya juga perlu diperbaiki," ujar dokter paruh baya di hadapan Bara.
Bara menoleh ke arah Nasya yang masih meremas perutnya, sebagai pelampiasan rasa sakit.
"Lalu kakinya?" tanya Bara.
"Hanya terkilir ringan. Akan sembuh satu atau dua hari jika pasien benar-benar istirahat dulu. Sebentar, saya akan berikan obat pengurang rasa sakit untuk lambungnya. Setelah itu, pasien bisa pulang." terang Dokter itu. Bara mengangguk patuh.
Beberapa menit kemudian, Bara mengangkat tubuh Nasya kembali dan meletakkannya di atas kursi roda. Lalu ia menyerahkan resep obat Nasya yang harus ditebus pada supirnya.
"Hmm.. Bar, koper aku dimana?" tanya Nasya setelah terdiam cukup lama.
"Di apartemenku mungkin? Kau tinggal di mana? Biar ku antar," tanya Bara.
"Bawa saja aku ke sebuah hotel yang sewanya tidak terlalu mahal!" balas Nasya.
Bara melebarkan pupil matanya. Sepertinya pria itu salah mengartikan ucapan Nasya. Dan Nasya menyadari hal itu.
"Mak.. maksud aku.. emm.. gini, aku.. aku belum check in hotel. Dan aku tidak begitu tau soal Jogja, jadi-" ralat Nasya cepat, lalu menjeda ucapannya.
"Kalau kamu keberatan, cukup pesankan taksi online untukku. Biar aku cari hotel sendiri," tambahnya. Bara tampak menggeleng frustasi.
'Apa yang salah?' Batin Nasya bertanya-tanya.
"Dompet dan barang-barang kamu masih bersama asistenku. Bagaimana kamu mau check in hotel?" tanya Bara.
Nasya meringis dan merutuki kepikunannya. Benar juga, ia tidak bisa sembarang check in tanpa kartu identitas dan uang.
"Ini, hubungi kerabatmu yang ada di Jogja!" ujar Bara sembari menyerahkan handphonenya. Kali ini giliran Nasya yang menggeleng.
"Nggak ada. Aku kesini cuma mau berlibur. Dan sepertinya aku kurang persiapan, hehe.."
Bara berdecak. Tanpa banyak bicara, pria itu kembali mendorong kursi roda Nasya hingga ke lobby. Nasya pun hanya bisa pasrah, dan terserah Bara mau membawanya kemana. Toh, keadaan tidak mendukungnya untuk menghindari pria itu sekarang.
Termasuk saat Bara kembali memasukkannya ke kursi belakang sedan hitam yang tadi mereka naiki. Mungkin saja Bara akan membawanya ke hotel seperti yang ia minta.
"Tas sama koper aku-"
"Tidak usah kamu pikirkan! Tidur saja agar rasa sakitnya berkurang!" Suruh Bara tegas.
Padahal Bara yang dulu Nasya kenal tidak seperti ini. Bara selalu lembut padanya. Ia selalu menatapnya dengan binar di matanya. Tapi kini? Sekali menatap, tatapan tajamlah yang ia lemparkan.
Sekitar lima belas menit keduanya saling terdiam. Untung saja, jalanan Kota Jogja tidak macet malam ini. Jadi mereka segera sampai di tempat tujuan.
Nasya melotot lebar saat melihat mobil yang ia tumpangi masuk ke halaman gedung apartemen megah. Ia baru ingat kalau Bara bukan orang sembarangan. Bisa jadi ini adalah tempat menginap yang menurut Bara memiliki harga sewa standar, seperti yang Nasya inginkan. Tapi masalahnya, Nasya berbeda.
Nasya mengingat-ingat kembali nominal di rekeningnya. Dan setelah itu ia menggeleng kuat.
"Pindah dong!!! Jangan yang ini dong!!! Uang aku mepet. Nggak sanggup aku bayar biaya sewa di sini," rengek Nasya.
Terlambat. Mobil yang ia tumpangi sudah parkir di depan lobby. Dan beberapa detik berikutnya, pintu sebelah kiri Nasya terbuka. Seorang wanita paruh baya menyodorkan tangannya untuk membantu Nasya turun. Sepertinya wanita itu tau kalau Nasya sedang tidak dalam kondisi baik.
"Bar, please! Uang aku-"
"Turun saja. Koper dan barangmu yang lain ada di apartemenku." potong Bara. Nasya ber-Oh ria. Ternyata ini apartemen yang akan Bara tempati?
'Jadi mau ngambil koper sama tas doang? Syukurlah.. kalau sampai nginep sini, auto diusir nanti. Uangku paling cuma bisa buat bayar 2-3 hari aja di sini,' batin Naysa.
%%%
Bersambung .....