Tiga

1112 Words
%%% Bara baru saja kembali dengan membawa sebuah nampan besar berisi dua mangkuk makanan dan dua minuman hangat. Ia meletakkannya di atas nakas, lalu menyerahkan segelas teh hangat pada Nasya. "Makasih," ujar Nasya kaku. Bara tidak menanggapinya. Ia menunggu Nasya minum dengan sabar, lalu meraihnya kembali setelah Nasya tampak sudah selesai minum. Lalu, ia menyerahkan semangkuk sup hangat pada Nasya. "Hilman yang membelinya tadi. Dan sudah aku panaskan lagi. Perut kamu sudah baikan?" tanya Bara. Nasya mengangguk. Nasya mulai menyuapkan sup itu ke mulutnya. Melihat Nasya sudah mulai makan, Bara pun meraih mangkuk sup miliknya dan mulai menyantapnya. Selang beberapa menit, Nasya meletakkan makanannya di atas nakas. Padahal ia baru makan beberapa suap. "Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Bara. "Sudah kenyang," bohong Nasya. Bara tahu jika Nasya berbohong padanya. "Kenapa? Tidak suka sama makanannya? Mau makan apa?" tanya Bara. "Aku sudah kenyang, Bara," jawab Nasya. Sebenarnya Nasya menghentikan aktivitas makannya karena perutnya kembali terasa tidak nyaman. Padahal ia sudah diberi obat tadi saat di rumah sakit. Ia sedikit merintih, lalu meremas perutnya. Bara dapat melihatnya dengan jelas. Ia pun meletakkan mangkuknya ke atas nakas. "Kenapa? Perutnya sakit lagi?" tanya Bara khawatir. "Bbbb... mau muntah," ujar Nasya sembari menutup mulutnya. Dengan segera, Bara mengangkat tubuh Nasya dan membawanya ke kamar mandi. Ia menurunkan Nasya secara perlahan di depan wastafle hingga gadis itu bisa berpegangan pada wastafle. "Kamu keluar dulu seben- bbbb..." Bukannya keluar, Bara malah mengusap punggung Nasya dan menunggu gadis itu dengan sabar. Nasya mulai memuntahkan sup yang sudah ia makan. Sudah tubuhnya terasa tidak enak, dan sekarang keberadaan Bara membuatnya semakin tidak nyaman. Ini kali pertama ia muntah di depan pria, parahnya, dia adalah mantan kekasihnya. "Kamu keluar dulu!" suruh Nasya. Bara masih tak bergeming. Ia masih terus mengusap punggung Nasya. Lalu, tangannya semakin naik untuk memijat tengkuk Nasya. Namun Nasya segera menepisnya. "Bar-" "Lanjutkan saja! Aku akan tetap di sini," ujar Bara begitu keras kepala. "Tapi aku-" "Tidak mungkin aku meninggalkan kamu sendirian saat kondisi kamu seperti itu, Sya. Bagaimana kalau kamu jatuh nanti?" potong Bara. Nasya memejamkan matanya mendengar nada bicara Bara yang terdengar seperti bentakan untuknya. Setelah merasa puas memuntahkan isi perutnya, Nasya mencuci mulutnya lalu berbalik ke arah Bara. "Sudah?" tanya Bara. Nasya mengangguk. Bara bersiap untuk menggendong tubuh Nasya lagi, tapi Nasya mendorongnya pelan. "Aku akan coba berjalan sendiri," ujar Nasya. "Keras kepala. Sudah aku bilang-" "Apa? Katanya aku berat? Ya sudah tidak usah gendong-gendong!" kesal Nasya yang tampaknya masih menyimpan dendam akibat ucapan Bara beberapa waktu yang lalu. Suara gadis itu terdengar lemah di telinga Bara. Membuat Bara malah tersenyum tipis melihat kemarahan gadis itu. Perlahan, Nasya mulai melangkah. Ia berpegangan pada barang apapun yang ada di sekitarnya. Sementara itu, Bara mengikutinya di belakang. Namun lama-kelamaan, Bara gemas sendiri melihat Nasya yang berjalan sangat pelan, ditambah lagi kaki gadis itu yang tampak bergetar. "Ck, lama," keluh Bara dan langsung mengangkat kembali tubuh Nasya dengan mudahnya dan merebahkannya kembali di atas tempat tidur. "Kamu tidur dulu saja! Aku akan pesankan bubur. Kalau sudah datang aku akan membangunkanmu," ujar Bara. "Aku nggak mau makan," tolak Nasya. "Jangan ngeyel! Kamu itu sakit karena pola makan kamu yang buruk. Selama di sini, kamu harus menuruti semua perkataanku!" putus Bara. Bara memperhatikan Nasya yang mulai mengerutkan bibirnya. Sangat menggemaskan. "Ini demi kebaikan kamu, Nasya! Jadi menurut saja!" Imbuhnya. Nasya berdecak kesal lalu memutar tubuhnya menyamping, membelakangi mantan kekasihnya yang sangat menjengkelkan itu. Namun, tiba-tiba ia ingat sesuatu. Ia kembali menoleh ke arah Bara yang ternyata kini sudah duduk di atas sofa panjang yang ada di dekat pintu. "Bar," panggil Nasya. Bara menoleh sambil menyeritkan alisnya, menunggu Nasya melanjutkan perkataannya. "Kalau boleh, aku mau tidur di sofa ruang tam-" "Tidak boleh," jawab Bara tegas kemudian kembali sibuk dengan handphone nya. "Tapi kan aku bel-" "Tadi kamu minta izin dariku buat tidur di ruang tamu, kan? Aku bilang TIDAK," tegas Bara tanpa menoleh. Nasya hanya bisa pasrah. Bagaimanapun Bara adalah pemilik apartemen ini. Dia berhak atas semua hal. Termasuk melarang Nasya tidur di ruang tamu. Tapi kenapa harus di kamar ini juga?? Kenapa harus tidur satu ruangan dengannya??? Nasya menarik selimutnya hingga batas leher, lalu mulai kembali membelakangi Bara. Belum sembuh perut dan kakinya, kini Bara semakin menambah penderitaannya. Hingga tanpa sadar, gadis itu memejamkan matanya. Mungkin efek kelelahan sekaligus lemas yang ia rasakan. * "Sya," Nasya merasa terusik karena panggilan seseorang yang berada di sampingnya. Perlahan, ia pun membuka matanya. "Buburnya sudah datang. Sini aku bantu duduk," kata Bara. Nasya melirik jam dinding sekilas. Sudah pukul setengah dua dini hari. "Kamu nggak tidur, Bar?" tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Bara tak menjawab dan memilih fokus membantu Nasya duduk. "Ini dimakan!" suruhnya lagi. Dengan pasrah, Nasya pun mulai memakannya. Beruntung, kali ini ia tak lagi merasa akan memuntahkan makanannya. Nasya memakannya hingga bubur itu hanya tersisa sedikit, dan menyerahkannya pada Bara. "Masih tidak ada kabar dari Pak Hilman soal tasku?" tanya Nasya. "Dia tidak menemukannya. Sudah, jangan pikirkan. Minum ini dan cepatlah tidur lagi!" ujar Bara malas. Sepertinya pria itu mulai kelelahan. "Tapi bagaimana bisa aku menyewa penginapan tanpa tasku? Semua yang aku butuhkan ada di sana," rengek Nasya. "Sudah aku katakan kamu bisa tinggal di sini untuk sementara waktu. Sekarang tidurlah! Aku ada meeting besok pagi," ujar Bara. 'Jadi Bara ada meeting besok pagi? Tapi kenapa dia malah nggak istirahat dari semalam? Cuma demi ngerawat aku?' batin Nasya. Nasya hanya pasrah saat Bara menuntunnya untuk kembali berbaring. "Tidur, Nasya!" suruh Bara lagi. Nasya berdecak. Pria itu suka sekali memerintahnya. Tapi akhirnya ia menurut juga. Ia memejamkan matanya. Lalu ia merasakan pria itu mulai menjauh. Selang beberapa menit, Nasya membuka matanya. Ia memiringkan tubuhnya, dan melihat Bara yang sudah terlelap di atas sofa. Pria itu tampak tidak nyaman dengan posisinya. Kakinya terlalu panjang, lebih panjang dari sofa yang ia tempati. Belum lagi, ia tidak memakai bantal. Padahal satu bantal di samping Nasya pun menganggur. Ada gurat kelelahan di wajah berahang tegas itu. Dan Nasya merasa bersalah untuk itu. 'Dia kayak gitu karena aku. Karena kamu, Nasya,' batin Nasya menyalahkan dirinya sendiri. Rasanya Nasya ingin menangis. Kenapa Bara berkorban sejauh ini untuknya? Padahal mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan, sebenarnya, jika diizinkan, Nasya tidak ingin bertemu dengan Bara lagi. Ia merasa lemah. Bara adalah satu-satunya orang yang bisa melemahkannya hanya dengan tatapan matanya. 'Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa pergi? Aku tidak kuat kalau harus berlama-lama tinggal dengannya seperti ini. Aku takut akan jatuh lagi, lalu berakhir dengan kecewa lagi,' Pikiran Nasya mulai melayang jauh. Ia membayangkan, bagaimana jika ternyata Bara sudah berkeluarga? Bukankah sekarang pria itu sudah berusia 27 tahun? Nasya takut, ia akan kembali terpesona, lalu jatuh cinta pada mantan kekasihnya itu. %%% Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD