Dua Belas

1151 Words
%%% Nasya tersentak ketika sebuah benda menempel di keningnya, lalu bergerak pelan menyusuri hampir seluruh wajahnya. Nasya berusaha menepis benda yang berasal dari tangan Bara itu. Namun Bara menahannya. "Kamu keringetan begini. Yakin tidak ada yang sakit?" Tanya Bara khawatir. Pria itu mengambil posisi duduk di samping Nasya. Membuat gadis itu refleks segera bergeser dan memberi jarak antara dirinya dengan Bara. "Kamu kenapa?" Tanya Bara yang mulai menangkap kejanggalan pada sikap Nasya. Nasya menggeleng. Sialnya Bara tau jika Nasya sedang berbohong kali ini. "Apa yang kamu pikirkan, hmm?" Tanyanya lagi. "Eng.. enggak ada," jawab Nasya sambil menarik selimutnya lebih ke atas. Bara tersenyum tipis kemudian kembali mengusap keringat Nasya. "Kamu gerah? Mau aku turunin suhu AC nya?" Tawar Bara. "Tidak usah," Nasya. Bara seperti mulai dapat membaca apa yang terjadi dengan mantan kekasihnya itu. Namun ia memilih diam saja. Ia akan menjawab jika Nasya bertanya. Kalau Nasya tidak bertanya, ya sudah. 'Sudahlah, Sya! Pokoknya tidak mungkin!' 'Lagian dia kan kaya. Beli rumah sebesar ini aja bisa dalam sekali kedipan mata doang. Nggak mungkin kan, di rumah sebesar ini tidak ada pelayan perempuannya?' 'Nah pelayan itu yang gantiin baju kamu. Kayak di sinetron sama di n****+,' Bara menyerit bingung melihat ekspresi Nasta yang berubah-ubah dengan begitu cepat. Sebenarnya apa yang ada di otak kecil gadis itu? "Kamu ingin makan sekarang?" Tanya Bara. Nasya menoleh. Namun, belum sempat ia membuka mulut, Bara sudah kembali bersuara, "Sebaiknya kali ini kamu bilang 'Ya', kalau kamu tidak ingin aku menggendongmu ke rumah sakit," "Oke. Aku mau makan!" Jawab Nasya dengan nada kesal. Bara tersenyum. Lalu ia bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu. "Tunggu! Kamu mau ke mana?" Tanya Nasya. "Nyiapin makanan buat kamu lah. Hilman mungkin masih menebus obatmu sekarang," Bara. 'Bukannya di rumah ini ada pelayan ya? Pasti ada dong? Harus ada pokoknya,' 'Tok tok tok' Senyum lebar terbit di bibir Nasya. "Nah itu pasti pelayannya!" Girang Nasya. "Pelayan?" Ulang Bara. Nasya mengangguk cepat. Cklek Senyum Nasya luntur saat melihat Hilman lah yang ada di balik pintu. 'Ck, cuma kebetulan aja. Pasti ada. Mungkin mereka sedang menyiapkan sarapan untuk aku dan Bara,' Nasya masih berusaha berpikiran positif. "Ini obatnya. Apa perlu saya siapkan makanannya dan bawa ke sini?" Hilman. Bara tak langsung menjawab. Ia menoleh ke arah Nasya seakan mengingat-ingat sesuatu. "Ya. Tolong siapkan dan bawa ke sini!" Bara. "Ada lagi, Tuan?" Hilman. "Carikan dua atau tiga pelayan untuk membersihkan rumah ini, dan merawat Nasya. Sepertinya dia butuh-" "Tunggu!" Pekik Nasya. Bara dan Hilman segera mengalihkan pandangan mereka ke arah Nasya. "Jadi kamu- kamu- kamu-" Tidak mungkin kalau rumah ini belum memiliki pelayan kan? "Ada apa, Nasya?" Tanya Bara tidak sabaran. "Kam- kamu punya pelayan kan di rumah ini?" Tanya Nasya dengan nada lirih. Bara tersenyum. Tapi Nasya tidak akan merasa tenang hanya karena senyuman itu. Ia butuh jawaban. "Untuk saat ini belum. Tapi kamu tenang saja, Hilman akan segera mencarikannya," jawab Bara santai. Nasya mendelik. Jadi siapa yang sudah menggantikan pakaiannya? Hilman pamit undur diri untuk menyiapkan makanan. Bara kembali berjalan ke arah Nasya yang tampak sedang berpikir keras. "Kamu tidak ingat pesan dokter tadi?" Tanya Bara sedikit keras. "Bara, selain kita, di rumah ini ada siapa lagi?" Tanya Nasya penasaran. "Ada Hilman tentu saja. Tapi dia tidak tinggal di sini," Bara. "Bukan itu. Maksudku yang tinggal di sini. Mungkin saudari kamu, atau bibi kamu, atau-" "Ini rumah baruku, Nasya. Aku baru membelinya kemarin lusa. Hanya kita yang tinggal di rumah ini," Bara. Bluk Nasya melemparkan gulingnya ke arah Bara hingga pria itu terpaksa sedikit mundur karena tidak siap menerima serangan. "Lalu siapa yang mengganti bajuku?" Pekik Nasya. Bara berjalan mendekat dan mengembalikan guling yang Nasya gunakan untuk menimpuknya tadi ke tempat yang seharusnya. "Apakah itu perlu dipertanyakan setelah kamu tau dengan siapa kita tinggal di rumah ini?" Bara. Nasya tak langsung paham dengan ucapan Bara. Ia perlu sedikit waktu untuk mencernanya. Setelah beberapa saat, ia mulai mengerti dan semakin emosi pada pria di hadapannya itu. "Dasar m***m!" Teriaknya. Nasya kembali meraih guling dan bangkit untuk menghujani Bara dengan pukulan-pukulan mautnya. Bara mengangkat tangannya untuk menghalau serangan Nasya yang sebenarnya tidak menyakitkan sama sekali. "Aaa..." Mungkin karena efek pusing, Nasya kembali kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Lagi-lagi, Bara berhasil menangkapnya. Keduanya terjatuh di lantai dengan sebelah tangan Bara di bawah kepala Nasya, dan mereka saling berhadapan. DEGGG DEGGG DEGGG Detak jantung Nasya tak beraturan. Belum lagi detaknya yang jauh lebih keras dari biasanya. Tatapan mereka bertemu. Namun Nasya mati gaya dan tubuhnya serasa kaku sehingga ia tidak bisa segera bangkit. Pikirannya kosong. Fokusnya hanya satu, wajah Bara yang begitu dekat dengannya. Bara tersenyum, membuat Nasya tanpa sadar juga tersenyum. Waktu seolah berhenti seakan memberi jeda keduanya untuk flashback ke masa SMA mereka dulu. Nasya yang mencintai Bara. Dan Bara yang mencintai Nasya. Masa SMA yang manis, mirip dengan n****+-n****+ percintaan remaja yang sering Nasya baca. "Permis-" "Maaf kalau saya mengganggu. Silahkan dilanjutkan!" Nasya dan Bara sama-sama tersadar dari lamunan mereka. Nasya yang lebih dulu bangkit, disusul oleh Bara. Keduanya menatap canggung ke arah pintu kamar yang terbuka dan menampilkan sosok Hilman di sana. "Masuk!" Suruh Bara dengan nada santai, berusaha menutupi kecanggungannya. Hilman masuk sembari menahan tawa. Ia meletakkan nampan berisi sarapan unruk Nasya dan Bara di atas nakas. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan? Nona?" Tanya Hilman sopan. "Tidak. Segera carikan saja pelayannya! Kalau bisa, hari ini mereka mulai bekerja," Bara. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya pamit undur diri," Dan lagi. Nasya kembali terkurung hanya dengan Bara di ruangan itu. Nasya berusaha berdiri dan pindah ke atas tempat tidur. Tak tinggal diam, Bara pun membantunya. "Perlu aku suapin?" Tawar Bara. Nasya menggeleng kaku. "Aku bisa sendiri kok," jawabnya. Bara mengangguk. Ia pun menyodorkan seporsi nasi dan ayam krispi pada Nasya. Setelah itu, ia juga mengambil porsi makanannya sendiri. Keduanya makan dalam diam. Meskipun hanya mulut yang diam. Pasalnya, jantung keduanya masih terus berdetak kencang hingga saat ini. 'Kok bisa aku mikirin masa-masa itu lagi sih? Harusnya aku lupain! Jangan kebanyakan mengkhayal, Sya! Setelah ini kamu harus pulang. Dan itu artinya kamu dan Bara akan terpisah lagi,' Seakan waktu tidak berpihak pada keduanya. Selalu saja mereka dipertemukan hanya dalam sekejap mata. Waktu seolah memberi Nasya harapan. Namun akhirnya ia menjatuhkan Nasya kembali. Seperti dulu saat dengan teganya takdir memisahkan mereka. Saat itu, Bara yang dipaksa untuk meninggalkan Nasya. Kini, giliran Nasya yang harus meninggalkan Bara. Seperti mereka memang tidak pernah ditakdirkan untuk benar-benar bersama. %%% Bersambung .... Satu dua patah kata untuh chapter ini .... Tulis di kolom komentar, ya! Aku pernah bilang mau update dua hari sekali. Nyatanya, sejauh ini aku update tiap hari. Kenapa? Karena kemarin aku sempat ngestock sampai chapter belasan. Jadi sekalian saja aku post tiap hari. Tapi nanti kalau tiba-tiba jadi dua hari sekali, jangan kaget ya.. Itu tandanya aku udah kehabisan stock dan harus ngetik lagi. Aku ngetik tergantung mood sebenarnya. Karena kalau lagi nggak mood itu benar-benar susah. Tapi aku usahakan paling lambat dua hari sekali bisa update kok ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD