Delapan

1191 Words
% Bagiku hal sekecil apapun menjadi sangat berarti jika itu menyangkut kamu % %%% Nasya asyik menyumpit hidangan di depannya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Sesekali ia menoleh ke arah Bara dan melemparkan senyum pada laki-laki itu. Ia sama sekali tak ambil pusing dengan Bara yang belum juga menyantap makanannya dan malah memperhatikannya dari tadi. Terdengar tarikan napas panjang yang berasal dari pria itu, namun Nasya masih tak acuh. Ia terlalu menikmati kemenangannya atas tiga orang pegawai Bara tadi. "Sebenarnya apa yang mereka lakukan padamu?" Tanya Bara sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya. Nasya berhenti mengunyah dan segera menatap Bara. Namun tiga detik berikutnya ia hanya tersenyum dan kembali mengunyah. "Mereka gangguin kamu ya?" Bara. Nasya kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya lalu menampakkan wajah seperti tengah berpikir. "Nggak ganggu sih, cuma agak julid aja," jawab Nasya lalu kembali fokus pada makanannya. "Julid gimana? Jelasin dulu, Sya! Mereka nyakitin kamu nggak?" Bara. Nasya mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda jika sedang tidak ingin diganggu. Bara menghela napas berat lalu merebut sumpit di tangan Nasya hingga gadis itu kaget lalu dan merengut kesal. "Jelasin dulu, Nasya!" Ulang Bara sembari menatap Nasya intens. "Mereka nggak nyakitin aku, Bara. Lihat nih, badan aku nggak ada yang luka. Mana sini sumpitnya! Aku masih lapar," Nasya. Gadis itu sedikit memajukan tutuhnya untuk mengambil kembali sumpitnya yang berada di tangan Bara. Tapi, Bara kembali menjauhkannya. "Bara, sumpit!" Pinta Nasya. "Jelasin yang detail! Mereka julid gimana? Ngatain kamu?" Desak Bara. Nasya menghentakkan kakinya kesal. Ia paling tidak suka saat aktivitas makannya diganggu. "Iya, mereka ngatain aku. Katanya nggak mungkin aku punya teman di lantai tujuh, nggak sekelas katanya." Terang Nasya to the point dengan ekspresi jengkel. "Kamu tau siapa nama mereka?" Bara. "Veni, Eka, hmmm... yang satu aku lupa namanya," jawab Nasya seadanya. Bara menyodorkan kembali sumpit Nasya. Membuat gadis itu bersorak senang dan segera merebutnya. Ia pun langsung melanjutkan aktivitas makan siangnya dengan penuh semangat. "Halo," Nasya menoleh sebentar, ia melihat Bara yang tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Tapi Nasya tak mau ambil pusing dan memilih fokus makan. "Kamu tau pegawai bernama Veni, Eka, dan satu temannya yang sering makan bareng dua orang itu?" Nasya masih asyik mengunyah. "..." "Pecat mereka!" "Uhukkk..." Nasya tersedak seketika. Bara pun menatapnya dengan khawatir. "Pelan-pelan, Sya!" Ujar Bara sembari menyodorkan minuman. Nasya menerimanya dan mulai meminumnya. "Ya, saya yakin. Mereka terlalu banyak bicara," jawab Bara pada lawan bicaranya. "Bar," panggil Nasya sedikit berbisik. Bara melirik ke arah Nasya. "Kamu kenapa pecat mereka? Bukan karena aku kan?" Tanya Nasya masih dengan berbisik. "Hmm. Tidak perlu menulis surat pengunduran diri. Langsung saja berikan mereka pesangonnya," ujar Bara tanpa menjawab pertanyaan Nasya. Nasya membolatkan matanya. Ia melambai-lambaikan tangannya, berharap Bara memperhatikannya. Tak berselang lama, Bara mematikan sambungan teleponnya lalu sepenuhnya fokus pada Nasya. "Kamu beneran pecat mereka?" Nasya. "Hmm.. mereka terlalu banyak bicara," Bara. Nasya menggigit bibir bawahnya. Ada perasaan sedikit menyesal karena telah mengatakan kesalahan tiga perempuan itu pada Bara. "Kenapa berhenti makan? Ada menu lain yang ingin kamu pesan?" Tanya Bara. Ia mulai bersiap makan sekarang. Ekspresinya benar-benar santai seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. "Enggak, udah ini aja," jawab Nasya. Bara mengangkat kedua bahunya tak acuh, lalu mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Bar, memang harus banget ya mereka dipecat? Memangnya semudah itu? Kan kesalahan mereka nggak ada hubungannya sama kerjaan, cuma masalah pribadi kecil sama aku," Nasya. Bukannya menjawab, Bara malah mengambil sepotong daging dan meletakkannya di atas piring Nasya. "Bar, aku lagi ngomong loh, masak dikacangin?" Protes Nasya. "Bukan kacang, itu daging, Nasya," jawab Bara setengah bercanda. Nasya berdecak kesal. Ini bukan saatnya bercanda. Ada karir tiga orang gadis yang dipertaruhkan karenanya. "Bar, aku serius," geram Nasya. Bara masih tampak tak acuh. "Bar, mereka nggak salah apa-apa sama perusahaan. Mereka cuma ada sedikit salah paham sama ak-" "Aku pemilik perusahaannya. Jadi aku berhak menilai seberapa besar kesalahan pegawaiku dan memecatnya jika itu perlu," potong Bara santai. "Tapi untuk kali ini tidak perlu," Nasya. Bara tertawa kecil lalu menatap Nasya yang saat ini melemparkan tatapan memelas padanya. "Please, jangan pecat mereka cuma gara-gara aku!" Pinta Nasya. "Cuma?" Ulang Bara. Ia tampak tidak terima dengan satu kata yang keluar dari mulut Nasya itu. Memang dimana letak kesalahannya? Nasya hanya mengangguk ragu. Ia tau ada yang salah, tapi ia tidak tau dimana letak kesalahannya. "Sudahlah, fokus dulu sama makanan kamu, Sya! Aku masih ada beberapa pekerjaan di kantor," Bara. "Tapi, Bar-" "Sya, kita bicarain ini nanti lagi ya! Sekarang kita makan!" Bara. Nasya menghela napas panjang lalu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Selesai makan, keduanya pun segera kembali ke kantor. Tak banyak pembicaraan yang terjadi selama di perjalanan. Bara fokus menyetir, dan Nasya asyik memainkan handphone nya. "Bar," panggil Nasya setelah terdiam cukup lama. "Hm?" "Ibu mau kirim uang, boleh minta nomor rekening kamu?" Nasya. Bara menoleh sebentar lalu kembali fokus menyetir. "Bilang sama ibu kamu, tidak usah kirim uang. Biar aku saja yang menanggung kebutuhan kamu di sini," Bara. Ada rasa senang saat Bara mengatakannya. Seakan laki-laki itu baru saja mengikrarkan jika Nasya adalah tanggung jawabnya. "Tapi Ibu yang pengen, Bar. Nggak enak katanya merepotkan orang lain," Nasya. Bara tak menjawab. Nasya pun semakin bingung dibuatnya, apalagi ketika Sang Ibu mulai menelpon. "Halo, Bu," "..." "Iya ini Nasya lagi bicara sama teman Nasya buat minta nomor rekeningnya," "..." "Iya, Bu iya," "..." "Iya nanti Nasya sampaikan," Nasya kembali fokus pada Bara setelah memutus sambungan telepon. "Bar," "Sya, aku malah yang jadi nggak enak kalau terkesan sepamrih itu. Udah, kalian tidak usah memikirkan biaya hidup kamu di sini! Udah ya?" Bara berusaha memberi pengertian. Nasya menghela napas panjang. Ia mulai menunduk. Ia ragu untuk mengatakan apa yang ibunya inginkan selain soal biaya hidup Nasya selama di Jogja. "Soalnya Ibu mau kirim uang buat aku pulang juga, Bar," lirih Nasya. Citttt Bara mengerem mobilnya mendadak. Membuat Nasya kaget dan tubuhnya terayun ke depan. "Pulang?" Ulang Bara. Nasya mengangguk lesu. "Kemarin Ibu tanya kondisi kaki aku bagaimana, terus aku bilang kalau aku udah sembuh. Dan Ibu minta aku pulang secepatnya biar nggak terlalu lama ngerepotin kamu," terang Nasya. Sunyi Bara tak menanggapi ucapan Nasya. Ia sibuk memperhatikan kepala gadis itu yang tertunduk lesu. Ia bisa melihat raut kesedihan di sana. Sepertinya gadis itu kurang menyetujui permintaan ibunya. "Kamu bisa membujuk ibu kamu agar membiarkanmu lebih lama di sini. Setidaknya sampai kaki kamu benar-benar pulih," Bara. "Sudah, tapi Ibu tidak mau tau. Ibu tidak enak membiarkan aku menumpang terlalu lama sama orang yang bukan kerabat kami. Lagi pula, aku ke Jogja itu buat kabur dari perjodohan. Dengan aku kabur aja Ibu sudah marah besar, apalagi sekarang aku menumpang di tempat kamu?" Nasya. "Tunggu! Kamu bilang apa? Perjodohan?" Bara. Nasya menutup mulutnya dengan tangan. Kenapa ia dengan mudahnya mengatakan hal itu pada Bara? Selama ini yang Bara ketahui Nasya ke Jogja untuk liburan. Lalu bagaimana kalau Bara akan langsung menutup hatinya untuk Nasya setelah ia tau jika Nasya akan dijodohkan? "Kamu dijodohkan? Coba jelaskan, Nasya!" Desak Bara yang kini sudah sepenuhnya menghadap ke arah Nasya dan menatap gadis itu intens. %%% Bersambung .... Aku nggak bisa update setiap hari. Kemungkinan dua hari sekali. Lumayan kan? Tapi, yuk ramaikan juga kolom komentarnya, agar aku lebih semangat lagi ngetiknya 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD