Kita Tanpa Dia

1384 Words
Cukup kita. Jangan libatkan dia, boleh? *** Dinda memasuki rumah dengan lesu. Setelah menyimpan tas secara sembarang ia langsung mendudukkan badannya. Televisi yang menyala menunjukkan bahwa sang adik sudah pulang terlebih dahulu dari kampusnya. Kebetulan mereka kuliah di kampus yang berbeda. Mamanya sudah meninggal semenjak mereka kecil, sedangkan papanya sibuk bekerja dan kerap pergi ke luar kota. Dulu, mereka memiliki Art, namanya Mbak Lena, tetapi wanita itu mengundurkan diri setelah menikah. "Lesu banget sih?" Dinda menoleh pada Maura yang berjalan menghampirinya. Di tangannya terdapat segelas s**u cokelat yang masih mengepul, sedangkan tangan satunya memegangi sebuah n****+. Adiknya berubah menjadi sosok melow semenjak ditinggalkan teman di masa putih abunya. "Capek," lirih Dinda merebut minuman sang adik. Maura sempat berdecak. Meskipun begitu, ia tetap membiarkan sang kakak meneguknya sampai tersisa setengah. "Capek masalah kampus apa masalah lain?" Dinda mengernyitkan dahinya menatap Maura yang sok tahu. "Masalah hati misalnya?" tambah gadis itu lalu mendudukkan diri di sofa. "Sok tahu banget!" elaknya. Dinda mengambil tas di atas meja hendak beranjak, tapi ucapan Maura membuatnya membeku. "Bukannya udah aku bilang? Mencintai Kak Nathan itu gak bakal mudah dan Kakak masih tetep maksa." Tiba-tiba perasaan sesak melandanya. Tak bisa Dinda sangkal kalau apa yang dikatakan adiknya memang benar. Memutuskan memperjuangkan Nathan sama dengan mendekatkan diri pada luka. Tanpa sadar Dinda mendesah pelan lalu melirik Maura yang menatap penuh prihatin. "Mou, Kakak baik-baik aja. Lebih baik kamu juga pikirin perasaan kamu." Dinda tahu ucapannya menyinggung sang adik hingga wajah Maura berubah mendung. Ia merasa bersalah, tapi suasana hatinya yang sedang kacau membuat Dinda memilih berbalik, berjalan menuju kamarnya. Mungkin ia akan minta maaf pada Maura ketika perasaannya sudah membaik. Menidurkan tubuhnya yang terasa lelah, Dinda menatap langit-langit kamar, menerawang jauh. Menerima Nathan bukanlah keputusan yang salah meski sisi lain hatinya selalu merasa ketakutan. Bagaimana jika nanti Naina mengetahui hubungan mereka? Dering ponsel membuyarkan lamunan Dinda. Ia membuka resleting tasnya, mengambil benda pipih tersebut dan menekan tombol berwarna hijau. "Ya, hallo?" "Kamu udah sampe?" tanya seseorang di seberang sana. Dinda hanya menjawab dengan deheman. "Nda?" panggil Nathan yang tak mendengar ucapannya. "Iya, udah." Tatapan Dinda terarah pada figura di atas nakas. Sepasang anak manusia tersenyum lebar ke kamera. Dinda ingat, saat itu dirinya dan Nathan tengah menjadi panitia dalam kegiatan Ospek tahun lalu. Terbukti dengan jas almamater dan kartu kepanitiaan yang menggantungg di leher keduanya.  "Sukur deh kalau gitu. Aku sempet khawatir soalnya chat aku gak kamu bales." Menjauhkan dari telinga, Dinda melihat layar ponselnya. Ada beberapa chat yang belum sempat ia buka. "Maaf, aku belum sempet buka ponsel," ringisnya merasa bersalah. "Gak papa, aku cuma khawatir aja tadi," ucap Nathan pelan, "kalau gitu aku tutup ya? Takut ketahuan sama dosen. Ini juga curi-curi kesempatan." Dinda terenyuh seketika. Ia sempat mengabaikan lelaki itu hanya karena terlihat masih menyukai Naina, tapi Nathan malah menghawatirkannya sampai menelepon saat perkuliahan tengah berlangsung. "Iya," lirih Dinda, "maaf udah cuekin kamu tadi." Terdengar helaan nafas seseorang di seberang sana. "Gak papa. Aku juga salah. Maaf ya belum bisa bahagiain kamu." "Nath, jangan bilang kayak gitu. Aku bahagia kok." Dinda tidak suka mendengar perkataan lelaki itu meski faktanya ia kerap merasa terluka. "Aku tutup dulu ya. Nanti aku kabarin kalau udah pulang." "Iya," jawabnya. Setelah itu, panggilan terputus. Dinda menatap benda pipih di tangannya, sebuah senyuman terbit di bibirnya. Nathan selalu berhasil membuat perasaannya berubah-ubah. *** Gadis itu melangkah cepat menaiki tangga. Sesekali ia melirik jam di pergelangan tangannya. Rapat UKM Teater sedang berlangsung. Dinda datang terlambat karena baru selesai perkuliahan, ditambah lagi Pak Danang sempat meminta bantuan untuk membawakan setumpuk makalah ke ruangannya. "Ups, sorry!" Dinda hampir terjengkang saat tak sengaja bertubrukan dengan seseorang. Matanya membola mengetahui sosok yang menabraknya. "Gak papa," lirihnya kaku. Dinda hendak lanjut melangkah, tapi suara Naina berhasil menahannya. "Gue denger ... lo deket sama Nathan?" Seketika jantung Dinda berdetak cepat. Sudah ia duga, serapat apa pun hubungan yang mereka sembunyikan, perlahan orang-orang akan mengetahuinya. Dengan ragu, Dinda menatap gadis di depannya. "Kata siapa?" "Eksistensi gue sejak dulu gak pernah berubah. Tetap jadi cewek hits yang punya banyak kenalan di mana-mana. Jadi gak sulit buat gue dapet informasi apa pun." Dinda ingin sekali melempar wajah sengak itu dengan buku tebal di pelukannya, tapi ia masih cukup sadar di mana dirinya berada. Akhirnya yang ia lakukan hanya menghela nafas berat. "Lalu apa masalahnya kalau gue deket sama Nathan?" "Gue gak suka!" tegas dan tajam. Dinda memutar bola matanya jengah. Naina tak pernah berubah, padahal gadis itu sudah memiliki kekasih dan sejak dulu statusnya dan Nathan hanya sahabat. "Lo gak berhak larang-larang Nathan buat deket sama siapapun, termasuk gue, Nai. Nathan juga punya kehidupan sendiri." "Dan gue sebagai sahabatnya wajib tau dengan siapa aja dia deket." Naina bersedekap d**a, memberikan Dinda tatapan menilai. "Gue ... cuma mau mastiin bahwa ucapan gue beberapa tahun lalu gak bener." Dinda mengeratkan pelukan pada bukunya. "Ma-maksudnya?" "Penghianat." Wajah Dinda pias seketika. Ingatannya kembali pada beberapa tahun lalu saat dirinya membela adiknya yang terkena masalah karena terus mengejar Nathan. Naina yang tidak rela melihat Nathan dekat dengan adiknya terus menjelek-jelekan Maura hingga membuat Dinda jengah, berakhir dengan perdebatan tak terelakan. Hal paling tidak masuk akal adalah ketika Naina menuduhnya memiliki perasaan pada lelaki itu, padahal dulu Dinda tidak pernah tertarik sedikitpun pada Nathan.  Dengan tubuh gemetar Dinda berusaha agar tetap terlihat tenang. "Lo udah buang-buang waktu gue," ucap Dinda membenarkan letak tasnya. "Sorry, gue udah ditungguin." "Gue tau lo lagi ngehindar!" Dinda memilih berpura-pura tak mendengar teriakkan gadis di belakangnya. Lebih baik ia memikirkan serangan pertanyaan yang akan dilontarkan rekannya karena datang  terlambat. "Darimana aja sih? Katanya telat sedikit, tapi lama pake banget." Benar saja, Dinda yang baru sampe pintu ruangan sudah diserang. Meringis, ia mengatupkan kedua tangan di depan d**a lalu mengambil tempat duduk yang tersisa. "Tumben telat?" Dinda mengambil tisu yang disodorkan lelaki di sampingnya, menghapus keringat di dahinya. "Makasih, Sat." Satya Pradana hanya mengangguk dan kembali fokus pada penjelasan rekannya. *** "Lo pulang sendiri, Kak?" Dinda menatap sosok yang kini berjalan di sebelahnya. Lelaki itu terlihat keren dengan setelan celana jeans serta kardigan hitam yang melekat di tubuhnya. Dinda akui adik tingkatnya itu terlihat tampan meski tak cukup menarik perhatiannya. "Dijemput pacar?" tanyanya lagi. Dinda hanya tersenyum. Nathan sedang rapat di ruangan sebelah, lagi pula dirinya tidak mungkin terang-terangan pulang bersama lelaki itu. "Eh, emang Kak Dinda punya pacar?" Satya dengan raut polos menggaruk tengkuknya. "Tsk, kepo banget sih bocah." "Gue bukan bocah, Kak. Umur gue udah 20 tahun." Satya tak terima dengan panggilan yang ia berikan. Dinda tertawa melihat bagaimana lelaki itu menyugar rambutnya, bertingkah sok keren. "Iya deh yang udah dewasa." "Gue anterin Kak Dinda pulang ya?" tawaran tersebut ia balas dengan gelengan. "Gak usah, Satya. Rumah kita beda arah." "Tapi kasian kalau pulang sendiri. Mana udah mau gelap lagi," ucap lelaki yang lebih muda setahun darinya itu. Melihat Satya membuatnya teringat pada Maura. Ia tidak tahu apakah adiknya sudah pulang atau belum. Sedari kemarin mereka belum sempat saling berbicara lagi. Dinda bahkan belum meminta maaf pada adiknya. "Ya ampun, perhatian banget sih, jadi terharu." "Kan gue fans setianya Kak Dinda." Mendengar perkataan Satya, tawanya kembali terurai. Entah dirinya harus merasa bahagia atau tidak memiliki seorang yang mengaku ngefans padanya. "Ya udah biar lo gak khawatir, kita jalan bareng sampe depan," putus Dinda. Sedang Satya hanya mengangguk dan berjalan di sampingnya sambil sesekali melemparkan pertanyaan absurd yang membuat Dinda tak bisa untuk tak tertawa. Merasakan ponsel di sakunya bergetar, Dinda mengambil benda pipih miliknya. Ternyata Nathan mengiriminya chat. Nath❤: Aku gak suka liat kamu ketawa-ketawa sama cowok lain Dinda segera mengarahkan tatapan. Pintu ruang UKM Fotografi tertutup, tetapi bagaimana bisa Nathan mengatahui dirinya sedang bersama Satya? Terkekeh, Dinda menyimpan ponselnya tanpa berniat membalas pesan tersebut. Biar saja Nathan menyelesaikan rapatnya terlebih dahulu. "Kenapa sih senyum-senyum gitu?" tanya adik tingkatnya penasaran. Dinda tergagap, sedangkan Satya malah tersenyum jahil. "Pasti dari cowok yang lo suka ya, Kak?" "Apaan sih? Udah cepet jalan! Lelet banget kayak siput." Gadis itu mendorong bahu Satya hingga lelaki itu bersungut. Lagi-lagi sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nath❤: Gak usah pake dorong-dorong tuh bocah tengil, bisa? Dinda menahan tawanya. Entah di mana Nathan berada sampai bisa melihat apa yang ia lakukan. Sikap lelaki itu terkadang membuat Dinda gemas sendiri. Gak salah, kan Nath, kalau aku mau kita kayak gini terus? Tentunya tanpa Naina di kehidupan kita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD