Karena aku bukan Tuhan yang bisa mengendalikan hati seseorang
***
Suasana kantin fakultas Ekonomi begitu ramai, terlebih di jam menjelang siang bertepatan dengan mahasiswa yang baru keluar dari kelasnya. Ada yang tengah mengantre untuk memesan makanan, berlomba-lomba mendapatkan tempat duduk, ada juga yang berjalan sambil bergurau. Semua terlihat lengkap mengisi keramaian.
Di antara banyaknya manusia, seorang gadis tengah duduk santai, memfokuskan pandangan pada buku tebal di atas meja. Sesekali matanya melirik ke arah pintu kantin, menunjukan bahwa dirinya tengah menanti kedatangan seseorang.
Getaran ponsel membuatnya mengalihkan atensi. Gadis itu membuka chat yang masuk disusul dengan seuntai senyum yang terbit di bibirnya.
Nathan: Aku bentar lagi nyampe.
Jantungnya tiba-tiba saja berulah setelah mengetahui sosok yang ditunggunya akan segera tiba. Ia menyentuh dadanya, menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan.
Sungguh aneh, padahal hubungan mereka sudah berjalan selama hampir satu bulan. Selain itu, dirinya telah mengenal Nathan sejak duduk di sekolah menengah atas.
Mengingat masa lalu membuatnya tak menyangka. Dulu, semasa SMA, ia hanya mengenal lelaki itu sebatas sahabat kecil dari teman dekatnya, Naina. Mereka juga disatukan dalam kelas yang sama. Namun, ada hal yang lebih tidak disangka lagi. Maura, adiknya pernah menyukai Nathan.
"Hai! Udah nunggu lama?"
Suara merdu itu ... ia mendongak. Didapatinya sosok Nathan tengah tersenyum lebar. Semakin hari lelaki itu kian bersinar di matanya. Dinda memberikan pujian tersebut bukan karena mereka sepasang kekasih. Apa yang ia katakan memang benar adanya. Nathan tidak hanya memiliki postur tubuh tinggi, wajahnya begitu bersih dengan warna kulitnya yang putih, bahkan sahabatnya sering memanggil lelaki itu dengan sebutan albino. Dinda bahkan kerap merasa insecure saat mereka jalan bersama.
"Nda? Hei, Dinda!"
Adinda Anastasya, gadis itu mengerjap karena sedari tadi malah melamun. Berusaha menormalkan raut terkejutnya, ia membalas sapaan Nathan.
"Belum pesen makanan?" tanya lelaki itu ketika hanya mendapati segelas jus apel di atas meja. Dinda menggelengkan kepala, menatap lelaki itu dari balik bulu matanya yang lentik. "Aku nungguin kamu."
Nathan berdecak, tak suka dengan alasan yang diberikan kekasihnya. "Kan udah aku bilang, makan duluan aja. Kalau maag kamu kambuh gimana?"
"Maaf, Nath." Dinda menunduk dalam dengan tangan saling bertaut.
Sebenarnya Nathan masih ingin mengeluarkan unek-uneknya, tapi mengingat kondisi lambung sang kekasih, ia akhirnya menyerah. "Aku maafin," ucap lelaki itu akhirnya. "Mau makan apa? Biar aku pesenin sekalian."
Dinda menggelengkan kepala. "Biar aku aja."
"Gak papa, selesain aja bacaan kamu." Nathan berdiri dari posisi duduknya, menatapnya sekali lagi. "Jadi, mau makan apa siang ini?"
"Bakso aja."
"Oke, tunggu sebentar ya Tuan Putri," ucap Nathan membuatnya terkekeh.
Seperginya lelaki itu, Dinda tak melanjutkan bacaannya, melainkan memandangi kekasihnya yang tengah memesankan makanan.
Tak pernah terlintas sedikit pun hubungan mereka akan seperti sekarang. Awalnya mereka hanya dekat sebagai teman SMA yang kembali dipertemukan dalam satu kampus dengan jurusan yang berbeda. Dinda mengambil jurusan Manajemen, sedangkan Nathan memilih jurusan Teknik Informatika.
Keduanya yang aktif dalam organisasi kampus kerap terlibat dalam kepanitiaan yang sama. Mereka menjadi semakin dekat, bahkan Nathan beberapa kali mengajaknya hunting foto. Kebetulan selain anggota BEM, lelaki itu mengikuti UKM Potograpi.
Akhirnya, satu bulan lalu Nathan meminta Dinda untuk menjadi kekasihnya. Tak ada candle light dinner atau setangkai mawar merah. Ia masih ingat, Nathan menembaknya di malam Pemilihan Putra Putri Kampus. Lelaki itu bahkan hanya mengatakan, bahwa dirinya merasa nyaman dan ingin hubungan mereka berlanjut ke jenjang lebih tinggi. Huh, tidak ada romantisnya sama sekali.
"Ngelamun lagi?"
Gadis itu terperanjat, tak sadar dengan kehadiran Nathan yang sudah duduk di kursinya, tak lupa dengan dua mangkuk bakso yang tersaji di depannya.
"Masih ada kelas abis ini?"
"Enggak," jawab Dinda setelah mengunyah habis makanan di mulutnya. "Kamu sendiri?"
Nathan mengangguk. "Aku hari ini full sampe sore, jadi gak bisa anterin kamu pulang. Gak papa? Motor kamu masih di bengkel?"
"Gak papa. Iya masih di bengkel." Dinda menjawab dengan tenang. "Tadi Reno bilang dia gak ada kelas dan sempet nawarin buat pulang bareng."
"Perasaan kamu sering banget pulang sama dia?" Nada bicara Nathan terdengar ketus. Dinda sendiri hanya terkekeh. "Kenapa sih? Reno itu sahabat kamu. Jadi gak usah cemburu, oke?"
Nathan mendengkus, tapi tak bisa berbuat apa-apa. "Ya udah, tapi jangan keseringan juga, nanti Reno lama-lama baper sama kamu."
Dinda tak bisa untuk menahan tawanya, Nathan terlihat lucu ketika cemburu dan itu membuat dadanya menghangat. "Reno gak suka sama aku. Kita itu udah kayak sodara."
"Iya aku ta-" Nathan menghentikan ucapannya mendengar ponsel di sakunya berbunyi. Mengetahui siapa yang meneleponnya, seketika ia menatap Dinda yang membelalakkan mata sebelum akhirnya mengangguk.
Ragu, Nathan menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga. "Iya, Nai?"
Dinda memandangi kekasihnya yang terlihat gusar.
"Em a-aku lagi di kantin," jawab Nathan melirik ke arahnya. "O-oh, kamu ke kantin fakultas aku? Tadi aku abis ke kamar mandi dulu, mungkin karena itu kita gak ketemu."
Berbohong lagi.
Dinda tidak suka dengan apa yang dilakukan lelaki itu meski itu untuk kebaikannya.
"Naina pasti nyariin kamu," ucapnya setelah Nathan mengakhiri panggilan.
Suasana di antara keduanya berubah tak mengenakkan setiap membahas perihal gadis itu. Namun, kian hari Dinda merasa tidak tenang.
"Dia udah pulang." Nathan menjawab diiringi tatapan teduhnya. Ia tidak tahu, apakah lelaki itu benar atau hanya berniat menenangkannya.
"Apa ... kita kasih tau aja gimana hubungan kita?" tanya Dinda ragu.
Backstreet hanya akan membuat keadaan semakin memburuk. Sudah cukup hubungannya dan Naina tidak baik. Kalau sampai gadis itu mengetahui apa yang mereka sembunyikan, pasti Naina akan sangat murka.
"Nda, bukannya kita udah sepakat untuk gak ngasih tau dulu?"
"Tapi, aku gak bisa terus-terusan kayak gini, Nath." Dinda lelah, sungguh. "Kita udah kayak buronan, mau ketemu aja harus sembunyi-sembunyi. Aku juga ngerasa kalau ucapan Naina dulu itu bener. Aku ... penghianat."
"Kamu bukan penghianat!" tegas Nathan dengan tatapan yang berubah tajam.
Mengusap wajahnya kasar, Dinda menghembuskan nafas berat. "Makanya kita kasih tau dia, Nath."
"Enggak sekarang!" balas Nathan sedikit membentak. Hal tersebut terang saja membuatnya terkejut. "Kenapa?"
Nathan bungkam.
Tiba-tiba saja sebuah pikiran melintas di benaknya. "Apa karena kamu masih ada perasaan sama dia? Kamu gak tega liat dia kecewa?"
Laki-laki itu terperangah. Beberapa detik kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nathan tampak kebingungan, berbeda dengannya yang hanya bisa tersenyum miris.