Bertahan

1274 Words
Aku hanya perlu bersabar untuk beberapa waktu, 'kan? *** Dinda menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah ayunya ia poles senatural mungkin. Malam ini adalah kali pertama lelaki itu mengajaknya kencan setelah satu bulan mereka menjalani hubungan diam-diam. Penampilannya tidak berlebihan, Dinda hanya mengenakan celana jeans serta kaos lengan panjang berwarna peach kesukaannya. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai, menambah kesan manis. Mengetahui kekasihnya sudah di depan rumah, Dinda mengambil sling bag berwarna senada, segera beranjak karena tak ingin membuat Nathan menunggu. "Ceria banget tuh wajah." Dinda tersenyum simpul pada sang adik yang tengah memeluk setoples kripik di depan televisi. "Kakak berangkat dulu, ya? Kamu hati-hati di rumah." Maura mengangguk malas, terlebih mengetahui dengan siapa sang kakak akan pergi. "Jangan pulang terlalu malem, nanti aku aduin papa kalau lewat jam sepuluh Kak Dinda belum pulang." Ancaman adiknya membuat Dinda terkekeh, sebegitu tak sukanya Maura atas hubungannya dengan Nathan, padahal dulu saja adiknya mengejar-ngejar lelaki itu. "Kamu tenang aja, Kakak cuma sebentar perginya." Terdengar dengkusan dari bibir mungil Maura. "Ya udah sana! Katanya mau pergi. Aku gak mau ya nanti pulang-pulang liat wajah Kak Dinda muram." "Iya, kamu gak usah khawatir." Dinda beranjak setelah melihat anggukkan sang adik. Senyumnya bertambah lebar mendapati lelaki pujaannya sudah duduk di atas motor. Tanpa diminta, Nathan menyodorkan helm serta jaket yang sengaja disiapkan karena Dinda paling malas membawa jaket, padahal angin malam tidak baik untuk kesehatan. Nathan melajukan motornya dengan kecepatan normal, melewati jalanan yang cukup ramai di malam minggu. Kebanyakan muda mudi menikmati waktunya di luar rumah. Nathan menghentikan kendaraannya di sebuah mall besar. Mereka berencana untuk menonton di bioskop. *** "Filmnya seru banget, nanti aku nonton lagi deh ajak Via atau kalau enggak ajak Reno. Dia suka banget nonton film-film kayak tadi." Dinda terlihat begitu antusias sekeluarnya dari bioskop. Nathan yang mendengarnya tersenyum tipis. Melihat wajah ceria Dinda membuat dadanya berdesir hangat. "Kamu, kan udah nonton tadi, masa nonton lagi?" "Abis filmnya seru." Dinda memeluk lengan lelaki di sampingnya yang kini terkekeh sambil mengacak rambutnya gemas. "Kamu gemesin banget sih!" "Iya dong, pacarnya siapa coba?" Nathan berpura-pura berpikir keras. "Pacar siapa emang?" "Nathan, ish!" Dinda memukul lengannya dengan wajah bete. "Iya deh, pacarnya ak-" "Nathan?" Mendengar namanya dipanggil, Nathan membalikkan badan diikuti Dinda. Mata keduanya membola mengetahui siapa yang berdiri di depannya. "Kalian ngapain berduaan di sini?" Tatapannya mengarah pada tangan mereka yang saling bertaut. "Ser, mm ini gue bisa jelasin," ucap Nathan pada teman dekat Naina. "Kita-" "Naina tau?" potong gadis itu, Sera. Sepasang kekasih itu sempat saling melempar pandangan, sebelum kemudian Nathan menggeleng, berbeda dengan Dinda yang memilih memalingkan wajah, menghindari tatapan mematikan yang ditujukan padanya. "Ser, gue bakal kasih tau dia." Nathan mencoba memberi pengertian. "Kapan?" "Nanti kalau waktunya udah tepat," ucap lelaki itu yang dibalas anggukkan oleh Sera. "Oke, buat sementara gue gak bakal ngomong." Gadis itu sempat melirik Dinda sebelum kemudian pamit. "Gue pergi dulu. Cuma sebelumnya gue mau ngasih saran, sebaiknya kalian cepet jujur. Gak enak juga, kan kalau dia tau dari orang lain? Ya ... lo tau sendiri gimana dia. Masalah bakal tambah rumit nanti." Setelah kepergian gadis itu. Nathan melirik Dinda yang mengeratkan genggamannya. Ia cukup mengerti bagaimana kegusaran kekasihnya, tapi membiarkan Naina tahu juga bukanlah hal yang mudah untuk mereka ke depannya. "Gak usah dipikirin." Dinda mencoba memamerkan senyumnya. Ia tak ingin momen kebersamaan mereka hancur. "Enggak kok. Sera emang bener, mungkin kita harus mulai mikirin gimana cara ngasih tau Naina." "Kita ... pikirin nanti. Sebaiknya kita cari makan dulu, kamu laper, 'kan?" Gadis itu mengembuskan nafasnya lalu mengangguk. Nathan selalu saja menunda-nunda. *** "Gue rasa, kita jodoh ya?" Dinda yang tengah menatap laptop di depannya mengalihkan tatapan. Ia memutar bola mata mendapati Naina dengan gaya angkuhnya sudah menatap sinis. Dengan luasnya area kampus dan banyaknya mahasiswa, kenapa mereka harus dipertemukan di perpustakaan? Takdir, Dinda. Dan mungkin sebentar lagi dia akan mengetahui kebenaran yang lain. Batinnya meringis. Dinda melirik gadis di samping Naina yang hanya mengangkat bahu tak acuh. Sepertinya Sera belum mengatakan mengenai hubungannya dengan Nathan. "Oh ya, katanya beberapa minggu lagi UKM lo bakal ngadain pementasan ya? Waktunya barengan sama UKM gue, semoga lancar deh. Kan elo ketua pelaksananya." Naina memang serba tahu dengan hal yang berhubungan dengannya. Entah Dinda harus merasa senang atau sedih atas perhatian Naina. "Iya, thanks support-nya." "Sama-sama. Sebagai orang yang pernah jadi sahabat lo, gue harus dukung, 'kan?" Dinda dapat melihat Sera mengernyitkan dahi. Mungkin gadis itu bingung mendengar ucapan Naina. Dinda hanya mengangguk malas, berusaha kembali memfokuskan pandangan pada laptop di depannya. "Udah yuk, Ser. Nathan udah nungguin di depan nih," ucapan Naina membuat Dinda termangu. Perasaan tak rela menyeruak begitu saja. Tak seharusnya ia merasakan hal tersebut. Mereka sudah bersama sejak kecil dan Dinda hanya orang baru, tapi saat ini Nathan adalah kekasihnya. Dinda menghembuskan nafas kasar. Mood-nya turun drastis. Dengan lesu ia memasukkan barang-barangnya, berjalan keluar perpustakaan. Langkahnya terhenti mendapati kedua orang tengah berdiri tak jauh darinya. Ternyata hujan deras dan Dinda tak menyadari itu. Mungkin karena perpustakaan yang kedap suara. Pasti mereka menunggu hujan reda, pikirnya. Tanpa sengaja tatapan mereka bersinggungan. Ada raut kaget di sana, Dinda hanya tersenyum kemudian mengalihkan tatapan. Seharusnya ia bisa menghampiri lelaki itu, tapi apalah daya. Getaran di ponselnya membuat Dinda melirik Nathan yang memberikan isyarat di antara percakapannya dengan Naina yang membelakanginya. Nath❤: Kenapa gak bilang lagi di perpus? Dinda membalas dengan cepat Dinda: Dan ketahuan sama Naina? Bukannya kamu sendiri yg gak mau dia tau? Nathan menatap dengan perasaan bersalah. Lelaki itu terlihat mengatakan sesuatu pada Naina yang entah apa. Sesekali melirik ke arahnya. Nath❤: Maaf. Kamu pulang sendiri? Gadis itu mendengkus, Nathan berpura-pura tak tahu atau bagaimana? Dinda: Enggak, sama satpam kampus Dinda: Aku bawa motor. Dinda memasukan ponselnya ke dalam tas, tanpa menunggu balasan dari Nathan. Ia menerobos hujan yang tak memperlihatkan akan berhenti dalam waktu dekat. Dirinya tak tahan melihat Nathan dan Naina berduaan. Dinda berlari kecil menutupi kepalanya dengan tas, mengabaikan Nathan yang menatapnya khawatir. Lelaki itu bahkan hampir berlari mengejarnya kalau saja tidak ingat siapa sosok yang berdiri di sampingnya. Dinda sampai rumah dengan keadaan basah kuyup karena tidak membawa jas hujan. Ia  hanya bisa berharap besok masih bisa menginjakan dirinya di kampus. "Kak!" Dinda yang tengah menyisir rambutnya menoleh. Maura melengokkan kepalanya di antara celah pintu kamar. "Ada Kak Nathan." Gadis itu terdiam sejenak. "Suruh tunggu sebentar ya?" Maura berlalu tanpa menutup pintu. Dinda sendiri memutuskan untuk beranjak. Dilihatnya Nathan sendirian. Adiknya pasti sengaja meninggalkan lelaki itu tanpa memberikan minuman atau makanan apa pun. "Hei!" Mendengar suara halus Dinda, lelaki itu segera menghampirinya diiringi tatapan khawatir. "Kamu gak papa? Kenapa telepon aku gak diangkat?" Dinda tersenyum melepaskan tangan Nathan dari bahunya. Mengisyaratkan untuk duduk. "Aku belum pegang ponsel dari sore. Maaf, udah buat kamu khawatir." "Lagian kenapa sih harus ujan-ujanan? Kamu bisa nunggu reda atau tungguin aku nganterin Naina dulu." "Lalu aku harus diem di sana liat kalian ketawa gak jelas? Aku juga bawa motor, Nath." Aku juga gak sanggup nungguin kamu terlalu lama cuma buat anterin Naina. Tambahnya dalam hati. Ucapan Dinda membuat lelaki itu terdiam. Sebenarnya dirinya takan berada dalam posisi yang sulit kalau saja Nathan mau mencoba jujur pada Naina sehingga mereka tak perlu menutupinya dan Dinda tak terluka terlalu lama. "Harusnya kamu bilang lagi di perpustakaan." "Ya udahlah, lagian itu udah kebiasaan kalian dari dulu, 'kan?" Nathan mengangguk. Teringat sesuatu, Dinda melanjutkan perkataannya. "Tapi ... apa pacar Naina gak marah?" Nathan tertegun. Pertanyaan Dinda membuat perasaannya sesak. "Nath?" Lelaki itu mengerjapkan matanya. Dinda malah menatapnya aneh. "Naina lagi ada masalah sama pacarnya. Makanya dia sering minta jemput sama aku." Dan sampai kapan aku harus nunggu kamu buat bisa jemput aku, Nath?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD