Hal yang Membuat Bahagia

1002 Words
Lihat kamu di depan aku aja udah cukup buat aku bahagia *** Seminggu berlalu sejak tereksposenya hubungan Dinda dan Nathan. Hari ini Nathan berjanji akan menemani ke gramedia untuk mencari bahan referensi tugas kuliahnya. Lelaki itu bilang sedang ada rapat dan memintanya menunggu barang sejenak, padahal Dinda sudah mengatakan bisa pergi sendiri. Satu jam sudah terlewati. Dinda mencoba menghubungi Nathan dan tak kunjung mendapat jawaban. "Nath, kamu di mana sih?" gumamnya lirih. Dinda menyesal tidak menunggu lelaki itu di depan ruangan UKM-nya. Keadaan taman kampus mulai sepi karena hari sudah sore. Dinda hendak menyusul ke ruangannya ketika sebuah chat masuk. Nath ❤ : Nda, maaf aku gak jadi anterin kamu ada masalah penting. Nanti malem aku hub lagi. Dinda mendudukkan badannya lesu. Kenapa Nathan baru menghubunginya? Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba akan keluar. Dinda merasa sangat kecewa. Tak bisakah lelaki itu menemuinya terlebih dahulu? Bukan membiarkannya menunggu seperti ini. Dinda benar-benar merasa tidak berarti.  Melangkah dengan lesu, Dinda mengembuskan nafas lewat mulut, berharap apa yang ia lakukan berhasil menenangkan perasaannya yang kacau. Seharusnya Dinda tidak merasa sekecewa ini. Toh, Nathan sudah biasa mengabaikannya demi gadis yang merupakan sahabat kecilnya itu. Bagaimanapun, kebersamaan sang kekasih dengan Naina tak bisa mengalahkan statusnya sebagai pacar Nathan. Terkadang, Dinda merasa bahwa status mereka hanyalah pajangan. Kenyataannya ia selalu terlewatkan oleh Nathan.  "Sabar Dinda, sabar," lirih gadis itu mengusap dadanya yang terasa sesak. "Wajar Nathan lebih mentingin Naina." Perkataan bodoh yang Dinda ucapkan sebagai kalimat penghibur untuk hatinya yang patah, padahal jelas ia tahu kalau apa yang Nathan lakukan terhadapnya sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Sebucin itu Dinda hingga menutup mata atas fakta yang sebenarnya. Ia terlalu takut menerima semuanya. "Kamu cuma perlu membuat Nathan berpaling sepenuhnya. Yah, kamu hanya harus melakukan itu." *** Nathan merasa bersalah telah mengingkari janjinya pada Dinda, tapi saat ini keadaan sahabatnya lebih penting, bahkan Nathan tidak mengikuti rapat sampai selesai karena Naina menghubunginya sambil menangis. Lelaki itu menatap sahabatnya yang masih terisak. Penyebabnya adalah Lintang yang memutuskan hubungan mereka. Nathan hampir saja mencari lelaki yang telah menyakiti Naina. "Udah, Nai. Cowok kayak gitu gak pantes kamu tangisin." Nathan menepuk pundak gadis itu. Naina sendiri hanya menggeleng. "Ke-kenapa sih dia tega putusin aku kayak gini, Nath? Kurang apa aku buat dia?" "Udahlah, nanti dia juga nyesel udah lakuin itu sama kamu." "Nath, apa mungkin Lintang punya cewek lain?" tanya Naina di sela isakkannya. Nathan terdiam, tak tahu alasan sahabatnya diputuskan begitu saja. Meski sedari dulu selalu ada masalah dengan hubungan mereka. "Nath, andai aja yang jadi pacar aku itu kamu. Pasti aku gak bakal patah hati kayak gini." Lelaki itu tercengang. Perkataan Naina membuatnya ikut berandai. Kalau saja kenyataanya seperti itu, Nathan takan menyia-nyiakan gadis kesayangannya. Ah, andai. "Kita gak mungkin pacaran kalau kamunya aja gak cinta sama aku, Nai." Naina mengusap air dari sudut matanya. "Dan karena kamu udah punya Dinda, 'kan?" Tertegun, Nathan akhirnya mengangguk kaku. "Nath, kamu mau janji, kan sama aku? Akan selalu ada di saat aku butuh." Nathan tersenyum, mengusap lembut kepala sahabatnya. "Tanpa diminta, aku bakal ngelakuin itu." Gadis itu ikut tersenyum. Ia berjanji takan membiarkan Nathan berpaling. Semua perhatian lelaki itu hanya untuk dirinya. Bukan untuk Dinda sekali pun. *** "Kemarin Naina baru aja diputusin, dia nangis-nangis nelpon aku." Pergerakan Dinda terhenti, ia menyimpan kembali minumannya. Tenggorokannya terasa tercekat. Nampak sekali kekhawatiran lelaki itu ketika menceritakan sahabatnya, bahkan Nathan tak memikirkan bagaimana dirinya kemarin yang menunggu lama. "Kenapa ... mereka bisa putus?" Nathan menggeleng. Entah kenapa Dinda menjadi khawatir mengetahui fakta tersebut. Ia takut Nathan kembali mengejar cinta sahabatnya. Ia jadi teringat Lintang yang beberapa hari kemarin mengajak bertemu. Apa semua itu berhubungan dengan putusnya mereka? Merasakan sebuah tangan menggenggamnya, Dinda mendongak. Senyuman lelaki itu malah membuatnya merasa sesak. "Maaf ya, kamu pasti kecewa banget." Kamu terlalu banyak minta maaf, Nath. Dan yang Dinda lakukan hanya mengangguk diiringi senyum palsunya. "Kamu kemarin jadinya pergi sendiri?" tanya lelaki itu. "Iya, tapi di sana ketemu Gavin. Jadi deh kita pergi bareng." "Sama Gavin?" Nathan memicingkan mata, sedangkan Dinda mengangguk ringan. Perubahan di raut wajah kekasihnya, mungkinkah karena cemburu? "Abis itu langsung pulang?" "Enggak, aku nemenin dia nyari kado ulang tahun buat mamanya." "Kamu repot-repot banget sih?" komentar Nathan dengan nada sewot. Hal tersebut membuat Dinda mengernyitkan dahi. "Kenapa sih? Aku cuma bantu dia, bukannya kamu juga pernah temenin Naina beli kado buat mamanya? Lagian Gavin sahabat kamu." "Dan dia juga mantan kamu kalau lupa." Dinda menghela nafas berat. Nathan tak pernah berkaca. "Nath, jangan lupa juga kalau Naina itu mantan gebetan kamu," balas Dinda tak mau disalahkan. Nyatanya ia dan Gavin sekarangan murni hanya berteman. Keduanya sudah memiliki pujaan hati masing-masing. "Sekarang dia cuma sahabat aku, Nda," tegas Nathan. Gadis itu berdecak. "Terus di mana letak kesalahannya? Aku dan Gavin, kamu dan Naina. Kita cuma sahabat. Jadi gak perlu ada yang diperdebatkan lagi, Nath." Terdengar dengkusan dari lelaki di depannya. "Oke, terserah deh kalau kamu mau jalan sama dia, lagian aku percaya kalau Gavin gak bakal nikung sahabatnya sendiri, sekali pun dia masih punya perasaan sama kamu." "Kamu ... cemburu?" Jawab iya, Nath. "Aku pacar kamu kalau lupa." Dinda melengos. Bukan itu yang ingin ia dengar. Salah gak sih Nath kalau aku berharap kamu bilang, iya aku cemburu atau lain kali aku yang bakal nganterin kamu. "Oh iya, minggu depan UKM aku ngadain pagelaran teater. Kamu bisa dateng?" Nathan terdiam. "Hari minggu ya? Jam berapa?" "Mulainya jam 9 pagi." "Hm aku kayaknya gak bisa. Aku ditarik jadi panitia juga di pagelaran Tari." "Kok bisa?" Dinda tahu pasti Naina yang mengajaknya. "Iya kebetulan mereka kekurangan panitia terus aku ditarik ke divisi dokumentasi." "Oh." Dinda mendesah pelan. "Kamu ikut tampil?" "Enggak sih. Aku, kan ketua pelaksana." Tapi Dinda berharap Nathan akan datang. Akhir-akhir ini semangatnya selalu menurun. Aktivitasnya yang padat membuat Dinda mudah lelah. "Ya udah nanti aku usahain kunjungin kamu, ya?" Dinda menatap lelaki itu tulus. "Makasih, Nath. Aku cinta kamu." Nathan sempat terdiam sebelum kemudian tersenyum, mengusap rambutnya pelan dan berkata, "Aku tahu." Lagi. Dinda tersenyum miris. Bukan itu yang ingin ia dengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD