Aku cukup pantas buat berdiri di samping kamu, 'kan?
***
"Katanya Nathan jadian sama anak teater itu, 'kan? Siapa namanya?"
Dinda yang berada di dalam bilik toilet menghentikan niat untuk menarik knop pintu.
"Dinda, Adinda Anastasya, anak Ekonomi." Terdengar suara lain, entah berapa orang perempuan yang tengah membicarakannya. Dinda yakin kalau mereka tengah bergosip sambil touch up di depan cermin.
"Katanya dia rebut Nathan dari Naina, ya?"
"Rebut dari mananya coba? Bukannya mereka berdua cuma sahabatan?"
"Ih lo gak liat apa mereka ke mana-mana barengan terus? Ya kata sahabat buat zaman sekarang banyaknya cuma topeng doang. Kasian si Naina, tadi aja pas di kelas keliatan murung gitu."
Sekarang Dinda tahu kalau mereka teman sekelas Naina. Jadi, wajar menggosipkannya sampai seperti itu.
"Ya, tapi gue gak setuju lo bilang Dinda rebut Nathan. Dia baik banget kok orangnya, gue pernah dibantuin pas ospek dulu."
"Itu dulu, kalau awal-awal kenal pastilah kita anggap semua orang baik."
"Terserah lo aja deh, Gin."
"Eh eh tapi menurut gue mending Naina ke mana-mana deh, udah cantik, aktif, hits lagi, pokoknya mereka cocok banget."
"Sama Dinda juga cocok sih menurut gue. Tuh anak juga gak kalah cantik, manis juga, cuma dia emang lebih kalem."
"Kok lo kayak belain dia terus sih? Temen sekelas kita itu Naina."
"Gue gak belain, cuma emang liat berdasarkan perspektif gue aja. Udah dari pada gosipin orang mending kita pergi, rapat udah mulai katanya."
Keadaan toilet menjadi hening, mereka sudah pergi menyisakan Dinda dengan segala pikirannya. Gadis itu keluar dari bilik toilet lalu berjalan ke arah cermin. Menghela nafas berat, Dinda menatap bayangan dirinya lewat pantulan cermin.
Mereka benar, tak ada yang spesial darinya. Berusaha menguatkan diri, Dinda meraih tasnya dan berjalan menuju ruang Teater. Berharap tak ada lagi mulut-mulut nyinyir yang membicarakannya.
"Hai Kakak cantik! Duh, yang punya pacar wajahnya ditekuk terus."
Dinda memutar bola matanya. Baru memasuki ruangan, Satya sudah membuatnya sebal.
"Apaan sih?" ketusnya, duduk dengan asal lalu menidurkan kepalanya.
"Kak?" Dinda menoleh dengan malas. "Gue sebagai fans merasa terluka loh. Lo gak bilang udah punya pacar, sekelas Kak Nathan lagi."
"Terus maksud lo, gue kelas bawah gitu?"
Mendengar nada sinis gadis itu, Satya meringis. "Bukan gitu. Gue cuma gak nyangka kalau Kak Dinda bisa jadian sama dia. Selama ini, kan dia ada pawangnya jadi cewek-cewek gak berani deketin."
"Pawang?" Dinda mengernyit.
Satya mengangguk lalu mendekat untuk membisikan sesuatu, "Kak Naina."
Mendengar itu Dinda tertawa seketika.
"Kok malah ketawa? Ini bukan kata gue ya tapi anak cewek di kelas gue."
"Mereka tau gue sama Nathan ..,"
Satya mengangguk. "Siap-siap aja bakal banyak yang stalking akun media sosial elo."
Dinda menghembuskan nafasnya. Ruangan yang tadinya lenggang kini sudah penuh hingga mereka menghentikan obrolan. Rapat untuk pementasan akan segera dimulai. Dinda sebagai ketua pelaksana sudah bersiap mengikuti jalannya kegiatan.
Dua jam terlewati begitu saja, Dinda membereskan bukunya untuk segera pulang. Langkahnya terhenti mendapati sosok yang keluar dari ruangan di depannya. Kebetulan ruangan UKM mereka berhadapan. Naina menatapnya sinis dan berlalu begitu saja. Dinda tidak tahu situasi macam apa yang ia hadapi.
"Yuk, Kak!"
Dengan lesu ia mengikuti langkah Satya, mendengar ocehan lelaki itu sepanjang koridor. Lebih baik dari pada ia memikirkan kegusarannya sendiri.
Dinda menatap langit yang masih terlihat cerah. Hari ini ia tidak membawa kendaraan, Nathan sedang ada keperluan sehingga tidak bisa menjemput, jadi ia terpaksa menunggu angkutan umum datang.
"Hai!"
Gadis itu tersentak, menatap bingung lelaki yang kini menampakkan senyum canggungnya. Ia tahu lelaki itu meski tak kenal dekat. "H-hai juga!"
"Dinda ya? Ceweknya Nathan?"
Ah, Cewek Nathan? Dengan ragu Dinda mengangguk.
"Gue Lintang, cowoknya Naina." Lelaki bernama Lintang itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. Dinda membalas dengan ragu.
"Mm ada apa ya?" tanyanya was-was. Takut ada Naina atau teman-temannya yang lain melihat. Ia tidak ingin menambah masalah.
'Tenang aja, Naina baru aja pulang kalau lo takut dia salah paham."
Dinda meringis, menatap tak enak pada lelaki di depannya.
"Sebenernya gue mau nyapa aja sih sama mastiin kalau Nathan emang udah punya pacar."
"Kenapa emang?" tanya Dinda bingung.
Lintang tersenyum kemudian menggelengkan kepala. "Mau gue anter?"
"Gak usah, itu angkotnya udah dateng kok," tunjuk Dinda penuh sukur. Jujur saja ia tak ingin terjebak terlalu lama dengan lelaki itu. "Gue duluan."
Dinda melambaikan tangan untuk menghentikan kendaraan beroda empat tersebut lalu naik ke dalamnya. Ia sempat melirik lelaki itu yang masih menatapnya dengan senyuman ramah. Tidak ada kilatan aneh di matanya, malah terlihat tulus, tapi tetap saja kedatangannya yang tiba-tiba membuat Dinda harus waspada.
***
Suasana perpustakaan begitu hening. Hanya terdengar lembaran kertas yang dibuka atau gesekan kursi yang beradu dengan lantai. Dinda tengah fokus membaca buku, mencari referensi untuk tugasnya.
"Din, gue duluan ya? Udah dijemput nih." Divia berdiri, merapikan beberapa buku lalu meliriknya yang masih fokus pada bacaan. "Lo gak apa-apa gue tinggal?"
"Gak apa-apa, Vi. Gue juga bentar lagi kok ini." Cewek itu berlalu setelah pamit padanya, sedangkan Dinda kembali melanjutkan aktivitasnya, menyelesaikan tugas dari sang dosen karena dua minggu ke depan ia akan disibukkan dengan kegiatan teater.
Merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya, ia hendak protes, "Loh, Nath? Kok kamu-"
"Hai, pacar!" sapa Nathan memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.
"Kamu ngapain di sini?" Bukan menjawab sapaannya, Dinda malah menanyai balik, berusaha menyembunyikan sesuatu dalam dadanya yang berdetak tanpa kompromi.
"Kamu pikir?" sebal lelaki itu yang kembali menyodorkan minuman padanya. "Ya nyamperin kamu lah!"
"Tau dari mana aku di sini?" Dinda melirik sesuatu yang masih berada di genggaman kekasihnya. "Kamu gimana bisa bawa minuman ke sini? Nanti ketahuan dimarahin loh!"
"Hati aku yang nuntun ke sini." Dinda terkekeh, aneh saja mendengar Nathan yang biasanya cuek berbicara seperti itu. "Lagian gak bakal kena marah kalau kamu gak comel."
"Kamu udah bisa gombal ya sekarang," sindirnya.
Nathan tak menanggapi lagi malah membukakan tutup botol dengan telaten dan menyerahkan padanya, hal sekecil itu bahkan membuat Dinda terharu. "Makasih, Nath."
Dinda yang memang menahan haus dari tadi segera meneguk minumannya, hampir saja tersendak karena terburu-buru. Nathan mengusap bahunya, menyuruh untuk berhati-hati.
"Kamu gak ada kelas lagi?" tanya Dinda setelah lanjut mengetik sesuatu di laptopnya. Nathan menggeleng kemudian memperhatikan gadis itu dalam diam. Dinda yang tengah serius terlihat cantik berkali lipat. Memang tak secantik sahabatnya, tapi wajah itu membuatnya betah untuk terus memandangi dalam waktu lama.
"Jangan liatin aku kayak gitu!" larang Dinda masih menggerakkan tangannya di atas keyboard. Nathan tahu kalau gadis itu tengah salah tingkah. Hal tersebut membuatnya tersenyum geli, terlebih mendapati wajah natural Dinda yang memerah.
"Nath!" Gadis itu memukul lengannya, wajahnya yang memberengut malah terlihat lucu.
"Kenapa sih? Aku gak ganggu kamu." Nathan berpura-pura tak mengerti. Dinda mengembungkan pipinya. "Gak usah pura-pura deh! Dari tadi kamu liatin aku terus. Aku kan ma- ah udahlah. Mending kamu pergi aja!"
"Ma apa? Malu?"
Dinda memalingkan muka meski dapat menyembunyikan rona di wajahnya. Melihat itu, d**a Nathan berdesir hangat.
"Tau ah. Mendingan kamu pulang aja sana!"
"Yakin kamu ngusir aku? Nanti nyesel loh!" Dinda mengangguk ragu. Nathan akhirnya berdiri, hendak beranjak sebelum sebuah tangan menahannya.
Menahan senyum, lelaki itu menatap kekasihnya yang sepertinya ingin melarang. "Apa?"
Dinda menggigit bibirnya. Malu untuk mengatakan bahwa dirinya tidak ingin Nathan pergi.
"Kalau gak ada yang mau dibicarain aku pergi. Tadi, kan udah diusir."
"Nath!" panggil Dinda hingga Nathan menaikan sebelah alisnya. Gadis itu mengusap lengannya gusar. "Mm ... jangan pergi!"
Gemas, Nathan mengacak rambut Dinda. "Nah, bilang gitu aja susahnya minta ampun. Pacar aku gengsian banget."
Dinda merapihkan rambutnya yang berantakan. "Kamu sih! Aku kan ud-"
"Nath!"
Kedua sejoli itu mengalihkan pandangan. Naina berjalan cepat ke arah Nathan dengan beberapa buku di pelukannya. "Nath, kamu ngapain di sini?"
Dinda berdecak dalam hati.
"Aku ... aku nemenin pacar aku, kenapa?"
Dinda merasakan sesuatu membuncah dalam dadanya. Perkataan Nathan membuat ia merasa sangat diakui.
"Oh." Barulah Naina meliriknya, itu pun dengan enggan. Dinda sendiri hanya menaikkan sebelah alis kemudian kembali menekuni buku-bukunya.
"Kamu sendirian?"
"Iya, Nath. Kan kamu gak bisa dihubungin dari tadi. Eh ternyata lagi di sini."
Dinda tahu gadis itu tengah menyindirnya. Namun, ia memilih tak acuh meski diam-diam menguping percakapan mereka.
"Iya, maaf ya? Ponselnya aku silent tadi."
Naina mengangguk malas. "Nath, anterin aku pulang yuk! Udah gak ada kelas lagi, 'kan?"
Ingin sekali Dinda memukul mulut gadis itu dengan buku tebal di tangannya. Ia yakin pasti Naina sengaja memanas-manasinya.
"Maaf ya, Nai. Aku mau nganterin Dinda pulang."
Terdengar dengkusan setelahnya. Entah untuk keberapa kalinya Dinda merasa terharu. Nathan mengatakan akan mengantarnya padahal ia belum meminta. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Naina melengos setelah menghentakkan kakinya.
"Biarin aja," ujar Nathan yang mungkin takut dirinya merasa terganggu dengan kemarahan gadis itu.
Dinda mengangguk lalu menatap benda pipih di tangannya yang bergetar. Ia mengernyit melihat sederet nomor asing yang masuk ke ponselnya.
0821xxxxxx: Hai, Din. Gue Lintang. Bisa kita ketemu?
Gadis itu segera memasukkan ponsel tersebut ke tas tanpa membalasnya, sedangkan Nathan yang melihat perubahan di wajahnya malah menaikan sebelah alis. "Siapa?"
"Enggak, bukan siapa-siapa." Dinda mengalihkan tatapan pada laptop di depannnya.