Peristiwa Tak Terduga

1004 Words
Sepenting apa aku buat kamu? *** Katakan kalau Nathan lelaki b******k yang tega mempermainkan perasaan perempuan, tapi ia tidak pernah bermaksud seperti itu. Dinda adalah perempuan kedua yang membuatnya merasa nyaman. Mulanya Nathan mengira dengan mencoba mencintai Dinda, ia dapat mudah melupakan perasaannya terhadap Naina. Ternyata ia salah besar, terlebih ketika tahu hubungan Naina dan kekasihnya berakhir. Perasaan ingin memiliki itu kembali muncul. Jangan salahkan dirinya yang seperti ini, Nathan juga tak pernah mau menyakiti Dinda, tapi sisi lain hatinya ingin kembali memperjuangkan Naina. "Makasih, Nath. Aku cinta kamu." Nathan tertegun, menatap kekasihnya yang tersenyum hangat. Seketika dadanya terasa ditimpa benda berat. "Aku tahu." Nathan dapat melihat mata yang penuh pengharapan itu meredup. Maaf, Nda. Batinnya lirih. "Kalau gitu aku pulang ya? Mau jemput Maura." Dinda memaksakan senyumnya lalu mengambil ransel, hendak beranjak. Namun, Nathan segera menahan lengannya. "Mau aku anter?" Gadis itu menggeleng. "Gak usah, aku bawa motor." "Maura emang pulang ngampus jam berapa?" "Dia gak di kampus, tapi di Star Cafe. Biasa nyamperin kakak keduanya." Nathan tahu siapa yang dimaksud Dinda dengan kakak kedua dari adiknya itu. Gavin. "Oke, dari sana kamu langsung pulang, istirahat. Gak usah ganggu Gavin kerja. Bisa-bisa nanti dia dimarahin kalau terus-terusan kalian ajak ngobrol." Entah kenapa Nathan merasa berat membiarkan gadis itu pergi ke tempat sahabatnya. Mendengar nada tak suka dari lelaki di depannya, Dinda terkekeh. "Aku anggap kamu lagi cemburu. Kalau gitu aku pamit, bye Nath." Nathan kembali dibuat tertegun. Ia memandangi punggung kekasihnya lalu menunduk dengan dahi mengernyit dalam. Cemburu? Dirinya ... cemburu? *** "Kakak kenapa gak balikan sama Kak Gavin aja?" tanya sang adik ketika mereka baru sampai di rumah. Dinda melirik Maura yang menidurkan badan di sofa. "Kakak cintanya sama Nathan." "Bukannya dulu Kak Dinda sempet gak suka ya sama Kak Nathan karena udah manfaatin aku?" Dinda menghela nafasnya. Kejadian itu sudah lama berlalu. Adiknya memang sudah memaafkan Nathan, namun selalu menampakkan ke tidaksetujuan atas hubungannya dengan lelaki itu. Mungkin Maura takut dirinya dipermainkan seperti yang pernah dialaminya. "Mou." Ia mendudukkan badan di samping Maura. "Aku cuma takut Kak Dinda disakitin sama dia." "Kamu gak usah khawatir, buktinya sampai saat ini kita baik-baik aja." Dinda berusaha memberi pengertian. "Jangan terlalu mikirin Kakak, mendingan pikirin tuh perasaan kamu." Sang adik langsung terduduk tegak. "Apaan sih pake bawa-bawa perasaan aku?" Gadis itu hanya tersenyum, adiknya selalu sensitif semenjak kepergian lelaki yang disayanginya. "Mou ... kamu, kan deket sama Gavin. Kenapa gak nanyain ke dia? Mereka sepupuan, sudah pasti Gavin tahu kabarnya." "Kak Dinda ngomong apa sih?" Maura mengambil ranselnya. "Udah ah aku capek mau istirahat." Gadis mungil itu beranjak. Di pertengahan tangga, langkahnya terhenti, ia melirik Dinda yang mengangkat sebelah alisnya. "Besok aku mau muncak sama anak-anak. Udah izin sama papa kok." "Sampai kapan?" "Hari Minggu." "Bukan itu," sanggah Dinda, "sampai kapan kamu mau buat kita khawatir?" Maura memutar bola matanya. "Aku gak bakal kenapa-napa, ini udah yang kesekian. Lagian ada Bian juga kok yang jagain." "Terserah deh, kamu emang susah dibilangin." Dinda ikut beranjak, melewati sang adik yang kini tertegun dibuatnya.  "Aku bakal berhenti kalau Kak Dinda putus sama Kak Nathan." Dinda berbalik. "Kamu ngancem?" "Enggak, aku cuma buat penawaran." Maura tak mau kalah. "Mou, ini masalah perasaan. Sama yang kayak kamu alamin. Kamu pergi ke tempat-tempat berbahaya cuma buat hilangin kerinduan kamu ke dia. Begitu juga Kakak, cuma dengan mempertahankan Nathan Kakak merasa bahagia. Kamu harus bisa paham itu dan satu lagi, Azka gak bakal pernah kembali kalau kamu masih egois kayak gini." *** Sepuluh menit lagi pementasan teater akan dimulai. Kursi penonton sudah hampir penuh. Dinda tidak berpikir akan banyak yang datang mengingat UKM sebelah juga tengah mengadakan pagelaran Tari. Tepatnya yang diketuai oleh mantan sahabatnya, Naina. Gadis itu sesekali melirik pintu masuk meski ia tahu bahwa orang yang dinanti tak akan datang. "Kak?" Dinda terperanjat. Di sampinganya, Satya sudah tersenyum lebar. "Gue ganteng gak?" pertanyaan tersebut membuat gadis berambut sebahu itu melengos. Dia kira ada sesuatu yang penting. "Jawab dong, Kak. Biar gue percaya diri gitu." Sekali narsis tetap saja narsis. Dinda bersedekap d**a, memperhatikan penampilan adik tingkatnya. "Lumayan sih." "Cuma lumayan aja?" tanya Satya kecewa. "Hm," dehemnya membuat lelaki itu bertekuk. "Yah lo kok gitu sih, Kak? Gue jadi gak pede tampil kalau gak ganteng." Ingin sekali Dinda menjitak kepala adik tingkatnya, tapi ia menahan diri. "Lo bakal gue bilang ganteng kalau acaranya nanti sukses. Udah sana! Bentar lagi dimulai." Dinda mendorong bahu lelaki itu membuat si empunya meringis meski tetap manut. Melihat intruksi rekannya bahwa acara akan segera dimulai, Dinda mengangguk dan berdoa dalam hati agar diberi kelancaran. *** Nathan tak bisa mengalihkan tatapan dari sosok cantik di depannya. Naina yang baru keluar dari ruangan rias lengkap dengan pernak pernik tari membuatnya terpana. "Gimana Nath penampilan aku?" Lamunannya buyar, dengan tergagu Nathan mengangguk. Naina sendiri hanya tersenyum senang meski matanya sesekali melirik bangku penonton, mengharapkan kehadiran sosok yang seminggu lalu menaburkan luka di hatinya. "Nyari Lintang?" tanya Nathan menahan gejolak cemburu yang menyerbunya. Naina mengalihkan pandangan pada Nathan menatap kecewa. Gadis itu kemudian menggeleng, memberikan senyum manis. "Enggak kok, buat apa nyariin dia kalau udah ada kamu, Nath?" Naina hanya sedikit berbohong. Nyatanya kehadiran Nathan sudah membantu menghilangkan kesedihannya. "Mau foto dulu gak?" tawaran tersebut disambut anggukkan. Naina langsung berpose dengan Nathan yang memotretnya bak fotografer profesional. Tak lupa pula mereka mengabadikan gambar. Keduanya terlihat cocok. "Pokoknya jangan lupa nanti fotoin aku pas tampil juga, Nath." Nathan mengangkat jempolnya diiringi senyuman lebar. "Kalau gitu aku mau nyamperin temen-temen dulu. Dah, Nath!" Naina melambaikan tanganya disertai senyuman riang yang membuat dadanya menghangat.  Lelaki itu lagi-lagi tersenyum memperhatikan punggung sahabatnya yang hanya dengan melihatnya saja membuat jantungnya kembali berdetak. Getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan atensi, senyumnya hilang perlahan mendapati chat yang dikirimkan seseorang. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Nathan memasukkan kembali ponselnya, tak berniat membalas. "Nath, acara udah mau dimulai. Siap-siap sana!" ucap teman satu panitianya. Nathan mengangguk dan mendekat ke arah panggung untuk mengabadikan momen-momen selama kegiatan berlangsung. Ia berusaha melupakan hal yang mengganggu pikirannya dan fokus pada tugasnya. Dinda pasti akan mengerti seperti yang sudah-sudah.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD