Chapter 34

1116 Words
Nara dan Yooshin berpamitan begitu hari menjelang sore. Namun begitu Yooshin hendak menaiki kudanya, pria tua yang bertugas menjaga kuil itu menahannya. "Ada apa?" Yooshin menatap pria tua itu. "Tolong jaga Nona Pendeta dan pastikan kalau beliau tidak menemui Moa lagi." Kedua alis milik Yooshin saling bertaut. "Kenapa Anda berkata seperti itu?" katanya. Helaan napas terdengar. "Saya merasa sangat khawatir. Perasaan saya tidak tenang." Yooshin terdiam selama beberapa saat. Pria itu menatap Nara yang sudah terlebih dahulu menaiki kuda, lalu ia menganggukkan kepalanya pelan. "Akan memastikan mereka berdua tak akan bertemu lagi," ujarnya. Ia lalu berpamitan dan segera menaiki kudanya. Si pria menatap kepergian kedua anak muda itu. Sepanjang peralanan, tak ada satu pun pembicaraan yang keluar dari mulut Yooshin. Ia hanya menatap Nara yang berada di depannya. Gadis itu pun hanya menatap pemandangan di sekitar yang tidak banyak berubah sejak terakhir kali dia ke sana. "Ternyata apa yang aku khawatirkan memang dirasakan oleh penjaga kuil. Dia juga merasakan hal yang sama," lirihnya. Mulai saat ini dan seterusnya, Yooshin akan mempertahankan Nara agar selalu berada di sebelahnya, apapun yang terjadi. Selama Moa masih hidup, lelaki itu akan berada di garda paling depan dan menjauhkan Moa dari Nara. "Hwang Yooshin, ayo beli sesuatu." Nara menghentikan laju kudanya dan menoleh ke belakang. Yooshin berkedip dua kali dan ia tersadar dari lamunannya. "Hm? Kau lapar?" "Hm, perutku mulai berbunyi meminta jatah makan malam." Nara tertawa pelan. Yooshin menaikkan kedua sudut bibirnya. "Baiklah, ayo pergi membeli sesuatu sebelum pulang ke rumah," ujarnya. *** Kedua mata Moa terbuka. Warna biru safir itu mengkilap, bersamaan dengan pedangnya yang bergetar. Moa mendudukkan tubuhnya dan ia dengan cepat melesat keluar dari istana bawah tanahnya. Hari semakin gelap, membuat ia semakin cepat bergerak. Purnama telah berakhir dan mahluk itu kini kelaparan. Purnama membuatnya tersiksa hingga tak bisa menyantap apa-apa. Dalam hitungan menit Moa sudah melesat melewati perbatasan hutan dan dia menuju pemukiman. Dia berjalan layaknya manusia, menurunkan sedikit topinya dan menyembunyikan pedangnya di balik jubah hitamnya. Ia menatap satu per satu manusia yang ia lewati. Ia menelan ludah bersamaan dengan rasa laparnya yang kian menjadi. Mahluk itu hampir tak bisa menahan dirinya dan hampir saja menumbuhkan kuku-kuku jemarinya namun ia urungkan tatkala melihat dua manusia yang berjalan ke arahnya. Moa menurunkan topinya hingga sebagian wajahnya tak terlihat. Ia tak terpikir kalau dirinya akan bertemu dengan Nara di sana. Dari mana gadis itu, bersama dengan Yooshin? Keduanya tampak mengobrol dan sesekali tertawa. Langkah mereka semakin dekat, sampai akhirnya benar-benar kembali menjauh. 'ceroboh. Kau masih belum memakai norigae itu,' batin Nara. Bersamaan dengan itu, langkah Nara tiba-tiba berhenti. Gadis itu membalikkan tubuhnya ke belakang dan menatap ke sekitar. "Ada apa?" tanya Yooshin. Ia mengikuti pandangan Nara namun tak menemukan apa-apa di sana. "Tidak ada," ujar Nara pelan. Ia dan Yooshin kembali melanjutkan langkahnya dan pergi ke salah satu kedai makanan. "Apa Tuan Seungmo tak akan marah jika tahu kalau kau belum pulang? Apalagi kau pergi ke sini tanpa sepengetahuannya" ujar Yooshin. Salah satu sudut bibir Nara naik. "Tak masalah. Kakek tidak akan menyuruh semua anak buahnya hanya untuk mencariku," jawab gadis itu. "Kenapa kau berbicara begitu? Dia kan kakekmu. Dia pasti khawatir," ujar Yooshin. Nara tersenyum tipis. Ia mengambil salah satu gyoza yang ia pesan bersama Yooshin dan memasukkannya ke dalam mulut. "Wah, ini enak sekali." "Benarkah?" "Hm. Kau harus mencobanya." Yooshin memasukkan salah satu gyoza itu ke dalam mulut lalu kedua matanya tampak berbinar. Nara meminum tehnya dan ia melihat seorang anak kecil yang berlarian bersama dengan saudaranya. Tanpa sadar gadis itu tersenyum, lalu pandangannya teralih pada seseorang yang berjalan tidak jauh di belakang mereka. Orang berpakaian serba hitam itu tampak berjalan lurus mengikuti dua anak tadi. "Besok aku mau pergi ke Gunung Seongju. Kau mau ikut?" ujar Yooshin. Nara mengalihkan pandangannya dan menatap pria itu. "Gunung Seongju? Untuk apa?" "Pergi ke kuil." "Kuil? Di sana ada kuil?" Yooshin mengangguk. "Hm. Ibuku rutin pergi ke sana dengan ditemani seorang pelayan. Dulu kakekadalah penjaga di kuil itu, namun karena ibuku menikah dengan ayah,ibu jadi tak bisa sepenuhnya menjaga kuil. Akhirnya adik dari kakekku yang merawat kuil itu. Aku sudah lama tidak ke sana, kau mau ikut?" Nara langsung mengangguk. "Aku ikut, tentu saja. Aku belum pernah ke Seongju. Kudengar di sana pemandangannya bagus sekali, aku jadi penasaran. Kau juga selama ini tak pernah mengajakku ke sana. kan?" ujar Nara seraya memasukkan gyoza ke dalam mulut. Bersamaan dengan itu, ia kembali melihat orang berpakaian serba hitam tadi. Namun kali ini Nara tak melihat kedua anak menggemaskan tadi, kemungkinan anak itu sudah bersama dengan ibunya sekarang. Selesai makan, Nara dan Yooshin membeli kue beras dan mereka memakannya seraya berjalan melihat-lihat keadaan sekitar. "Di sini terasa bergitu tenang, aku menyukainya," ujar Nara. Yooshin tersenyum. "Hm. Kau benar, kita bisa ke sini lagi jika ada waktu luang. Aku pasti akan menjadi pelanggan penjual gyoza tadi," ujarnya seraya terkikih pelan. Nara tersenyum geli mendengarnya. "Dan kurasa aku juga akan sama denganmu," balasnya. Di saat itulah Nara menatap adanya bekas aneh di di permukaan tanah yang ia lewati. Noda kemeraha itu memang berukuran tak terlalu besar, namun terlihat cukup jelas untuknya. 'Bukankah ini ... darah?' Nara membatin. Kedua kakinya berhenti melangkah dan ia menatap ke mana arah noda itu. Tepat seperti dugaannya, kalau noda itu sama persis seperti arah kedua anak kecil tadi pergi. Tidak mungkin. Kedua mata Nara mengerjap. Ia tiba-tiba melangkah mendahului Yooshin, membuat pria itu terkejut. "Ada apa? Nara? Kau melihat sesuatu?" tanya Yooshin, namun Nara sama sekali tak menjawab pertanyaannya. Gadis itu terus melangkah, membuatnya ikut mempercepat langkah karena tak ingin tertinggal. Jika melihat dari gerak-gerik Nara, Yooshin yakin ada yang tidak beres yang gadis itu temukan. Lalu di sat yang bersamaan, Yooshin menyadari adanya noda merah sepanjang jalan yang mereka lewati, membuatnya rasa curiganya kian membesar. Lelaki itu dengan segera mencabut pedangnya saat mereka sudah menjauhi keramaian. Atmosfir di sana terasa aneh. Nara dan Yooshin menatap ke sekitar dengan waspada. Nara yang hanya membawa pedang pun ikut mencabut pedangnya untuk berjaga-jaga jika ada pergerakan mendadak yang di luar dugaannya. "Kuharap firasatku salah," lirih gadis itu. Langkahnya dan Yooshin terhenti saat bercak darah itu menghilang. Mereka memutar tubuh dan menatap ke sekeliling yang sepi, tak ada siapapun di sana. Di detik berikutnya Nara merasakan sesuatu menetes ke permukaan wajahnya. Gadis itu mengusapnya dan ia terkejut saat tahu kalau itu adalah darah. Perlahan ia menengadahkan kepalanya ke atas, dan menemukan sesuatu tepat berada di atasnya. "Moa ... " lirihnya tanpa melepaskan pandangannya dari objek yang tengah melayang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD