Chapter 33

1091 Words
Tengah malam, di saat semua orang sibuk bergulat dengan mimpi mereka, seorang gadis yang tinggal di salah satu rumah di desa dengan nekat keluar dengan mengendap-ngendap. Ia berjalan melewati halaman rumahnya dan dengan sedikit berlari, gadis itu pergi ke perbatasan hutan. Tanpa berpikir panjang dan membuang-buang waktu, ia langsung menerobos ke sana, hanya ditemani oleh sebuah obor dan cahaya bulan. "Aku harus kembali sebelum pagi," ujar Nara seraya mempercepat langkahnya. "Kuhara dia baik-baik saja. Apa Yooshin berhasil mengalahkannya? Apa bulan purnama benar-benar bisa melumpuhkan kekuatannya?" Nara menengadahkan kepalanya ke atas dan menatap bulan yang tengah bersinar dengan terang. Setelah melalui perjalanan yang cukup menguras waktu dan tenaganya, Nara tiba di depan pintu masuk istana bawah tanah milik Moa. Gadis itu mengedarkan pandangannya namun tak juga menemukan keberadaan Moa di sana. Bahkan pintu masuk ke dalam terlihat tidak ditutup, membuat Nara menaruh perasaan curiga. Apa terjadi sesuatu? Nara masuk ke dalam dan menatap ke sekitarnya. "Sedang apa kau di sini?" Nara langsung memutar tubuhnya dan menatap Moa yang tengah duduk di singgasana miliknya. "Kau--" "Pergilah,"ujar Moa. "Tapi kau terluka." Nara bergerak mendekat namun Moa langsung melayangkan ujung pedangnya ke arah Nara hingga gadis itu tak bisa mendekatinya. "Kubilang, pergi dari sini. Sebelum aku melenyapkanmu," ujar pria itu. "Aku tidak akan pergi sebelum lukamu kuobati," tegas Nara. Ia kembali maju satu langkah, dan Moa semakin memajukan pedangnya. "Kau tidak perlu kembali lagi ke sini. Pergilah. Bukankah kau sendiri yang ingin kembali ke desa tercintamu itu? Kau bisa tinggal di sana seumur hidupmu, jika kau mampu bertahan dari seranganku, tentu saja." "Tapi--" "KUBILANG PERGI!!" Moa menancapkan pedangnya hingga membuat Nara tersentak. Pedang itu tampak bergetar. Kedua kaki Nara perlahan mundur, gadis itu lalu berlari keluar dari sana. Helaan napas kasar terdengar saat Nara pergi. Moa menatap pedangnya yang masih menancap. Sementara itu, Nara berlari menjauh dan kembali ke perbatasan. Ia bahkan meninggalkan obor yang ia bawa dan langsung berlari. Kedua matanya berkaca-kaca. *** Nara berjalan mendekati salah satu pohon ek besar yang ada di sebelah kuil. "Aku pun terkejut melihat ukurannya yang sekarang. Aku jarang kemari," ujar Yooshin yang berada di belakangnya. Nara mengusap permukaan pohon itu dan ia menengadahkan kepalanya ke atas. "Pohon ini bahkan sudah sangat tua, lebih tua dari usia ibu dan ayahku," ujar Nara. "Aku bersyukur pohon ini masih bisa bertahan hidup hingga detik ini, saat aku sudah menjadi penerus ibuku." "Semua orang di kuil merawatnya dengan baik. Mereka juga sering memberi makan burung-burung yang ada di sini. Mereka percaya kalau burung-burung itu akan turut membantu saat adanya masalah yang menimpa kita semua. Dengan kata lain, jika kau ingin diperlakukan dengan baik, maka kau juga harus berperilaku baik terhadap sekitarmu," ujar Yooshin. "Nona Pendeta?" Seseorang memanggil, membuat Nara dan Yooshin menoleh ke belakang dan melihat seorang pria tua. Dua remaja itu langsung membungkukkan badan mereka dan memberi salam. "Kudengar beberapa waktu ke belakang, Anda mengalami musibah kurang menyenangkan sehingga Anda terjebak di Hutan Moa selama beberapa bulan dan tidak bisa keluar. Kakek Anda datang kemari beberapa kali dan berkata kalau Anda tidak bisa memimpin upacara purnama karena adanya masalah yang menimpa Anda. Aku turut berduka mendengarnya, namun kini Anda sudah kembali dan itu adalah sebuah keajaiban yang luar biasa," ujar pria itu. Nara tersenyum tipis. Ia dan Yooshin meminum teh yang disediakan oleh pria tua itu. Mereka bertiga duduk menghadap langsung pemandangan Yangdong. "Suatu kehormatan karena Anda berkenan kemari lagi, Nona." Nara tersenyum. "Aku merindukan suasana di sini." "Apa saja yang terjadi selama Anda di hutan? Sangat berbahaya mengingat Anda bersama Moa, makhluk mengerikan yang pernah membantai banyak orang termasuk kedua orang tua Anda." "Tidak banyak yang terjadi. Aku di sana hidup seperti biasa, namun tak bisa keluar dari hutan karena Moa akan langsung menyadarinya. Dia akan dengan mudah menemukanku ke mana pun aku pergi, dan di mana pun aku bersembunyi. Tingkat kepekaan dia sangatlah luar biasa.Jadi tidak heran jika ayah dan ibuku kesulitan melawannya." "Tapi sekuat apapun Moa, dia pasti memiliki kelemahan. Kemarin aku berhasil menyerangnya karena kekuatannya yang menipis oleh purnama. Namun selain purnama, pasti Moa memilik kelemahan lain," timpal Yooshin. "Moa lemah terhadap cinta," ucap si pria tua. Nara dan Yooshin seketika menatapnya. "Cinta?" Yooshin membeo. "Hm. Kelemahan Moa adalah cinta. Dan cinta yang akan membunuhnya, adalah saat mereka jatuh cinta kepada manusia. Moa tak akan bisa membunuh manusia yang dia cintai, namun bersamaan dengan itu ia semakin lemah karena perasaan itu terus menggerogotinya secara perlahan, hingga di saat itulah kita bisa membunuhnya dan dia bisa dikalahkan dengan mudah." Yooshin terdiam setelah mendengar itu. Cinta? Lelaki itu tiba-tiba melirik Nara yang duduk di sebelahnya. Namun ia buru-buru menyingkirkan pikiran aneh itu. Tapi kejadian yang menimpa Nara terbilang cukup aneh, di mana gadis itu berada di dalam hutan namun Moa seperti tak pernah berniat membunuhnya dan justru melakukan hal yang sebaliknya. Yooshin ingat saat Moa beberapa kali menolong Nara, lalu Nara yang sampai melukai dirinya demi melindungi Moa dan Yooshin sampai mendengar kalau Moa dan Nara pergi ke suatu tempat bersama. Mungkinkah? Yooshin menatap Nara dari samping. 'Mungkinkah Moa dan Nara saling jatuh cinta?' batin Yooshin. Ia seketika menahan napasnya dan kedua matanya tak lepas dari Nara barang sedetik pun. "Kenapa kau menatapku begitu?" Nara menoleh saat merasa ada yang tidak beres. Ia mendapati Yooshin yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lelaki itu seperti tengah memikirkan sesuatu. "Yooshin?" Nara melambaikan tangannya di depan Yooshin hingga lelaki itu mengerjap pelan dan tersadar dari lamunannya. "Eh? Ya?" "Apa yang sedang kau pikirkan? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Nara seraya menatap Yooshin. "A-ah, tidak ada." Yooshin tersenyum tipis dan kembali meminum tehnya. "Kurasa Tuan Hwang tak bisa tidur selama Nona Pendeta berada di hutan. Tuan Hwang pasti sangat bersyukur sampai tak percaya kalau Anda sudah kembali ke sini," ujar si pria tua itu. Nara tertawa pelan. "Benarkah? Ya ampun, aku terharu sekali mendengarnya," ujarnya. Yooshin mencoba menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan ikut tertawa. "Dari dulu kau memang selalu pintar membuatku merasa mau mati karena cemas. Kau ahli sekali dalam hal itu," ujarnya kemudian. Dua orang yang dudul bersamanya pun tertawa. Senyuman Yooshin luntur begitu ia melihat kembali senyuman Nara yang sudah lama ia tak lihat, sekaligus senyuman yang begitu ia rindukan selama gadis itu tak ada. 'Nara, semoga apa yang aku pikirkan sekarang ini tidaklah benar,' batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD