Chapter 13

1222 Words
Orang-orang beramai-ramai pergi ke perbatasan hutan begitu mendengar kabar ada mayat di sana. Begitu mereka sampai, mereka terkejut karena mayat yang ada di sana ternyata putra Tuan Hwang. Salah satu dari mereka pun memberanikan diri mendekat untuk melihatnya dengan lebih jelas. "Astaga, ini benar-benar Tuan Yooshin!" Ia langsung mengecek denyut nadi pemuda itu. "Bagaimana? Apa dia masih hidup?" tanya salah seseorang di belakangnya. "Dia masih hidup. Kudengar Tuan Yooshin tidak kembali ke rumah selama beberapa hari terakhir untuk mencari Nona Nara." Dengan menyesal pria itu menatap wajah Yooshin yang pucat. "Kurasa ini juga perbuatan Moa." "Tapi kenapa Moa masih membiarkannya hidup?" tanya yang lain. Si pria menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa alasannya namun kita harus segera membawanya ke kediaman Tuan Hwang dan mengobati lukanya. Cepat bantu aku." Beberapa orang mendekat dan membantu mengangkat tubuh Yooshin dan pria tadi menggendongnya di punggung. Mereka dengan beramai-ramai pergi ke kediaman Hwang, namun sayang sekali karena Tuan Hwang sedang tidak ada di rumah. Para pelayan terkejut melihat Yooshin kembali dengan kondisi terluka. Salah seorang dari mereka lantas mengatakan kalau Tuan Hwang sedang pergi bersama dengan Tuan Seungmo untuk mencari Yooshin. "Mereka berangkat beberapa saat yang lalu," ujar sang pelayan. "Mereka mungkin akan segera kembali. Sekarang lebih baik memanggil tabib karena luka milik Tuan Yooshin harus segera diobati." Mereka segera membawa Yooshin ke kamar dan memanggil seorang tabib ke sana. Lalu tidak lama setelahnya Tuan Hwang dan juga Seungmo kembali. Mereka terkejut melihat keadaan Yooshin. Putranya terlihat begitu pucat dan terluka di beberapa bagian. "Kami menemukannya di perbatasan Hutan Moa, Tuan." "Perbatasan? Tidak mungkin. Yooshin pasti mencari Nara ke tebing, bukan ke Hutan Moa. "Apa mungkin Moa menemukan Yooshin dan membawanya ke perbatasan?" ujar Seungmo. "Tapi untuk apa? Lagi pula aneh rasanya jika ia masih membiarkan Yooshin hidup." *** Nara secara diam-diam berjalan melewati singgasana milik Moa yang tampak kosong. Selagi makhluk itu pergi, ia harus keluar dari sana. Kedua matanya sama sekali tak bisa dipejamkan begitu ia teringat dengan Yooshin. Bagaimana keadaan pria itu sekarang? Apa Moa benar-benar berbelaskasih pada Yooshin dan membiarkannya hidup? "Aku harus cepat pergi dari sini." Gadis itu mempercepat langkahnya dan begitu hampir melewati pintu keluar, tubuhnya secara refleks mundur kembali saat sesuatu yan tajam hampir menembus lehernya. "Kau tidak percaya padaku?" Nara meremas bagian pinggir hanbok miliknya. "Sudah kubilang kalau aku akan menurut, jika kau juga melakukan hal yang sama. Jika kau memang bersikeras untuk pergi dari sini, silakan. Tapi jangan salahkan aku jika kau tidak menemukan siapa-siapa lagi saat sampai di desa." Moa kembali berujar. Ia semakin maju, membuat Nara melakukan hal sebaliknya. Bekas kuku milik makhluk itu masih membekas di lehernya dania tidak ingin membuat luka yang lebih parah karena pedang itu. Sebelumnya wajahnya pernah terluka karena kuku milik Moa dan tak bisa disembuhkan, namun sepertinya kali ini ia tak menggunakan kekuatannya, yang berarti kalau perasaan makhluk itu sedang cukup baik. Akar-akar pohon langsung menutupi jalan keluar. Moa menjauhkan pedangnya dan kembali menyarungkannya. Tubuh Nara langsung teruduk di permukaan tanah karena kakinya yang lemas. Moa benar, ia masih terlalu lemah bahkan untuk menatap matanya saja ia tidak sanggup. Ia selalu teringat kejadian beberapa waktu lalu dan setiap kali menatap mata itu, Nara selalu teringat kematian ibu dan ayahnya. "Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku. Aku bisa saja menebas kepalamu sekarang dan menyeretnya ke hadapan kakekmu." Nara refleks memegang lehernya. Rasa nyeri masih terasa di sana dan ia perlahan bergerak mundur. "Pergilah tidur jika kau tidak ingin merusak mood-ku." Dengan perlahan Nara bangkit dan berjalan ke ruangannya. Bagaimana caranya ia membunuh Moa jika sekarang ia sudah seperti b***k dari makhluk itu? Menyedihkan sekali. Ia benar-benar masih bergantung pada peralatan memanah itu. Nara terdiam melihat beberapa tangkai canola berada di atas tempat tidurnya. Ia mengambil bunga itu, bertanya-tanya siapa yang menaruhnya. Namun sayang sekali karena tak ada satu pun orang lain di sana kecuali ... Moa. Nara dengan segera mengambilnya dan pergi menemui Moa namun rupanya makhluk itu sudah tidak ada di sana. Ia sudah pergi. Ditatapnya canola yang berada di tangannya. Kapan makhluk itu membawanya ke sana dan dari mana dia mendapatkannya? *** Menjelang siang, Moa tak menemukan keberadaan Nara di tempat tidurnya. Ia pun berjalan keluar dan menemukan Nara yang sedang di sungai yang ada di bawah sana. Dengan pakaian yang sudah basah kuyup, gadis itu tampak mencoba menangkap ikan dengan menggunakan sebuah tongkat dari kayu. Moa duduk di bawah pohon dan memutuskan untuk mengamatinya dari atas. "Astaga, aku yakin melihat banyak ikan di sini." Nara mendengkus pelan dan melihat ke sekitar bebatuan di dekatnya. Di saat yang bersamaan ia melihat seekor ikan yang berukuran cukup besar berada di antara batu, lalu dengan penuh konsentrasi dia mendekat dengan perlahan dan- splash! Nara tak mendapatkannya. Kedua bahunya merosot. Perutnya sudah berbunyi sejak pagi dan ia tak mendapatkan apa-apa. Ia terlalu takut untuk menyusuri hutan dan mencari buah. Seekor babi hutan berukuran besar atau mungkin lebih dari itu akan mengejarnya sampai ia kehabisan napas. "Aku harus mendapat makanan atau aku akan mati kelaparan." Nara kembali menegakkan tubuhnya dan mencari keberadaan ikan lain. "Ah, itu dia- aaaaaa!!" Byuurrr Di atas sana, Moa menyeringai tipis menyaksikan betapa payahnya anak manusia yang satu itu. Nara terpeleset bebatuan yang berlumut dan terjatuh ke permukaan air hingga pakaian yang ia kenakan basah sepenuhnya. Tidak tahan lagi, Moa berinisiatif untuk menghampiri Nara. Setelah loncat ke salah satu dahan pohon yang ada di bawah, ia langsung menginjakkan kakinya ke sungai dan menenggelamkan salah satu tangannya ke dalam air. Nara yang masih belum bangkit dari posisinya pun berteriak begitu Moa mengangkat tangannya. Seekor ikan berhasil ia tangkap hanya menggunakan tangan. Kukunya yang tajam berhasil merobek kulit ikan itu dan menancap dengan sempurna, membuat darah mengalir ke pergelangan tangannya. Dibanding senang, Nara justru ketakutan karena itu terlalu menyeramkan. Moa bahkan menangkap seekor ikan dengan cara yang terbilang kejam. Padahal Nara sejak tadi bersusah payah menangkap dengan kayu. "Payah." Moa melemparkan ikan yang berhasil ia tangkap ke salah satu bebatuan. "Cepat bersihkan," ujarnya. Ia berjalan ke tepi sungai terlebih dahulu. Nara bisa melihat bekas kuku milik Moa yang menancap di perut ikan itu. Ia bergidik, namun perutnya kembali berbunyi di saat yang bersamaan. Apa boleh buat, urusan perutnya lebih penting. Usai membersihkan ikan, Nara melihat Moa yang sudah membuatkannya api di tepian. Ikan yang sudah ditusuk dengan kayu itu lalu ia bakar di sana hingga aromanya menyeruak dan memenuhi indra penciumannya. Di saat yang bersamaan, tubuh Nara bergetar pelan. Ia sudah cukup lama berada di air hingga kedinginan. "Ah, aku lapar sekali." Gadis itu dengan cepat mengambil ikan yang sudah makan itu dan hendak menggigitnya, namun ia berhenti saat menyadari kalau Moa tengah menatapnya. "I-ini ... untukmu saja. Aku akan menangkap yang lain," ujarnya. Ia menyodorkan ikan itu pada Moa. "Tidak usah. Kau makan saja. Aku tidak mau." Nara menatap kembali ikan di tangannya dan menelan ludah. "Tapi kau-" "Aku tidak lapar." Kedua sudut bibir Nara naik dan langsung menggigit ikan itu dengan lahap, sesekali membuka mulutnya karena ikan yang masih panas. Salah satu sudut bibir Moa naik. Nara makan dengan begitu lahap hingga tak menyadari kalau ikan yang dia makan itu membuat noda berwarna kehitaman di sekitar mulutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD