Nara diam-diam melirik Moa yang berada tidak jauh di dekatnya. Gadis itu memainkan sebuah ranting pohon di atas bebatuan di sekitarnya dan sesekali melempar batu-batu kecil ke arah sungai.
"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Moa tanpa membuka kedua matanya.
Nara tersentak pelan. "Tidak, hanya saja-" Ia menahan napas sejenak, sebeum kembali melanjutkan, "kau bisa mengubah wujudmu menjadi seperti ibu atau bahkan ayahku. Tidakkah kau ... mau melakukannya lagi kali ini?" Nada bicara Nara terdengar memelan.
Kedua mata Moa terbuka dan langsung menatap gadis itu.
"Apa kau bisa melakukannya? Sekali saja. Hanya sebentar."
"Kenapa kau ingin aku melakukannya?"
"Aku hanya merasa sedang merindukan ibuku." Nara tersenyum samar dan menghapus sesuatu yang jatuh dari sudut matanya dengan punggung tangan.
Moa terdiam. Ia bisa melihat dengan jelas kalau Nara tengah menahan isakannya agar tidak terdengar.
"Aku tahu kau yang membunuh orang tuaku dan tidak lama setelah ini kau juga akan membunuhku. Tapi bisakah kau membiarkanku bertemu dengan ibuku? Aku takut kalau aku bahkan tak bisa bertemu dengannya setelah aku mati." Nara kembali menghapus sudut matanya. "Ah, tapi aku tak akan memaksa jika kau tidak ma-"
"Nara."
Gerakan tangan Nara terhenti. Ia dengan perlahan mendongakan kepalanya dan menatap ke arah sumber suara. Air matanya seketika luruh.
"I-Ibu ... " Nara menjatuhkan ranting yang ia pegang dan langsung menghambur ke dekapan hangat Kiara.
Sementara itu di dalam tubuh Kiara, Moa tertegun saat Nara tiba-tiba mendekapnya erat dengan isakan yang kian kencang. Kedua tangannya perlahan terangkat dan beralih ke punggung Nara, berusaha menenangkan gadis itu.
"Harusnya aku tidak menuruti permintaannya," batin Moa.
Nara kian menumpahkan air matanya di sana, sementara Moa masih tak bereaksi. Ia membiarkan gadis itu melepaskan segala kerinduannya untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya tubuh Nara didorong pelan dan sosok ibunya tadi kembali berubah menjadi Moa. Nara segera menghapus air matanya dan bergerak menjauh.
"Terima kasih." Ia terisak pelan.
Moa bangkit dari posisinya dan pergi dari sana.
***
Tuan Hwang berlari memasuki kamar Yooshin saat salah satu pelayannya berkata kalau putranya. Pemuda itu tampak sudah membuka matanya saat ia sampai di sana.
"Yooshin!" Tuan Hwang dengan segera memeluk erat putranya."Maafkan Ayah."
"Bagaimana aku bisa di sini?" Yooshin menatap ayahnya.
"Orang-orang menemukanmu di perbatasan hutan. Lukamu cukup parah dan kau harus di sini untuk beberapa hari. Kakimu cedera, Yooshin."
"Aku tidak seharusnya ada di sini. Aku harus segera menemukan Nara, Ayah."
"Tidak, Yooshin." Tuang Hwang dengan segera menahan kedua bahu Yooshin saat putranya hendak bangkit. "Kau harus tetap istirahat. Ayah sudah menyuruh beberapa orang untuk mencari keberadaan Nara. Ayah bahkan sudah menyuruh mereka mencari ke Hutan Moa."
"Aku sempat bertemu dengan Moa," ujar Yooshin.
"Benarkah? Di mana kau bertemu dengannya?"
"Aku jatuh dari tebing dan sadar di sebuah tempat. Kurasa hutan yang berada di dekat tebing tempat Nara dijatuhkan itu masih terhubung dengan hutan Moa. Ayah akan menemukan sebuah sungai di sana. Dan tepat di seberang sungai itu adalah Hutan Moa. Tapi setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Aku berpikir kalau dia akan membunuhku tapi rupanya dugaanku salah karena dia masih membiarkanku hidup."
"Jadi Hutan itu masih terhubung ke sana? Berarti ada kemungkinan Moa membawa Nara."
"Ayah berpikir begitu? Dia tak mengetahui apa-apa soal Nara saat aku menanyakannya."
"Dan kau percaya makhluk seperti dia? Degar, Yooshin. Perbatasan hutan dibakar habis dan itu artinya sama saja membiarkan Moa membantai penduduk desa. Namun setelah insiden itu, Moa tidak menampakkan diri lagi di sini dan tidak ada korban yang berjatuhan. Tidakkah kau berpikir kalau Nara ada padanya? Karena jika Nara tak bersamanya, sudah dipastikan Moa akan mengamuk saat tahu kalau penduduk menyingkirkan sendiri mangsanya."
Yooshin kehilangan kata-katanya. Jika Nara benar-benar ada pada Moa, bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Mustahil rasanya jika ia baik-baik saja mengingat Moa adalah musuhnya dan mengincarnya sejak lama.
"Dan kau tahu apalagi? Jika Nara tidak bersama Moa, kemungkinan kau sudah dibunuh oleh makhluk itu."
Tepat sekali.
Seketika Yooshin menyesal mengapa ia harus terluka parah dan jatuh pingsan. Ia mungkin sudah menemukan Nara di sana jika dia tidak terluka.
"Aku harus kembali ke sana!" Yooshin berusaha bangkit namun sang ayah menahannya dengan kuat.
"Ayah tidak akan membiarkanmu ke sana! Nara akan segera ditemukan! Dia baik-baik saja, Yooshin!"
Napas Yooshin terengah. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Nara terjebak bersama Moa. Makhluk itu tak akan dengan mudah membiarkan Nara pergi, apapun yang terjadi.
***
"Ada yang datang." Moa dengan berbalik dan berlari kembali ke sungai, namun Nara sudah tidak ada di sana. "Ke mana gadis itu pergi?"
Suara langkah itu semakin mendekat. Moa harus segera menemukan Nara sebelum gadis itu ditemukan oleh manusia.
"Lihatlah, aku menemukan ini di sana."
Moa memutar kembali tubuhnya dan dengan cepat menarik Nara dari sana. Gadis itu terkejut hingga sebuah batu berwarna biru safir yang ia temukan kembali jatuh ke permukaan tanah. Moa membawa Nara kembali ke istananya dan mengurungnya di sana.
Akar-akar dengan cepat menutup jalan masuk begitu Moa pergi. Nara menatap Moa lewat salah satu celah kecil.
Moa pergi ke salah satu dahan pohon yang tinggi dan mengamati beberapa manusia yang mendekat.
"Mereka semakin seenaknya ke sini. Jangan sampai mereka menemukan gadis itu." Hanya dalam kedipan mata, Moa sudah berpindah ke dahan pohon lain, bahkan tanpa diketahui oleh orang-orang suruhan Tuan Hwang.
Moa pergi melewati perbatasan dan ia semakin mendekat ke pemukiman. Dengan cepat ia mencabut pedangnya lalu ditancapkannya ke tanah. Makhluk itu menggeram pelan, lalu menyeringai saat sebuah api berwarna merah darah merambat ke setiap permukaan tanah dan terdengar suara ledakan setelahnya. Orang-orang berlari berusaha menyelamatkan diri, namun mereka tak akan selamat dari api milik Moa.
"Aku lapar." Moa menjilat bibirnya. Sesuatu yang berwarna kehitaman perlahan mendekat padanya. benda yang menyerupai asap itu seakan terhisap masuk ke dalam pedangnya, membuat aura mengerikan menguar dari sana. Moa mencari mangsa, ia dengan cepat berlari menemui satu per satu manusia sekarat di sana dan menghisap habis jiwa-jiwa mereka.
Suara beberapa ledakan terdengar hingga ke kejauhan. Tuan Hwang yang mendengar itu langsung berlari keluar dari kediamannya. Orang-orang yang berada di dalam hutan pun berlarian kembali ke desa saat melihat adanya kepulan asap hitam di berterbangan ke langit.
"Moa." Tangan Seungmo mengepal. Langit di sana terlihat begitu mengerikan bersamaan dengan teriakan orang-orang. Ia pun pergi mengambil pedang milik Daehyun. "Tak akan ada ampun bagimu." Seungmo mengeratkan genggamannya pada pedang itu. Ia tiba bersamaan dengan Tuan Hwang.
Seseorang tampak berdiri tepat di depan kobaran api. Ia menguap, lalu mencabut pedangnya dari permukaan tanah dan api besar yang tengah berkobar itu seketika lenyap, membuat orang-orang yang ada di sana terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh mereka.
"Aku kenyang sekali. Terima kasih atas makan siangnya." Moa menyeringai.
"Kurang ajar." Seungmo menyeret pedang Daehyun dan berlari dengan langkah lebar ke arah Moa. Dengan cepat Moa menangkis pedang itu dan mendorong tubuh Seungmo menjauh. Di saat yang bersamaan, orang-orang di belakangnya secara serentak menyerangnya.
"Aku tidak akan pernah mengampunimu jika sesuatu terjadi pada Nara!!" Seungmo semakin mendorong pedangnya.
Moa tertawa lantang. Ia melompati Seungmo dan mengibaskan pedangnya hingga angin besar muncul di sekitarnya. Orang-orang tumbang dengan cepat saat angin itu menggores permukaan kulit mereka dengan membabi buta.
"Aku tidak salah dengar? Apa kau lupa siapa yang membuang cucu kesayanganmu itu? Itu kau sendiri, Pak Tua. Jika sesuatu terjadi pada cucumu, harusnya yang kau salahkan adalah kau sendiri!" Moa tersenyum miring dan dalam kedipan mata kuku-kuku tajamnya berhasil masuk ke dalam permukaan perut Seungmo. Darah keluar dari mulu Seungmo, membuat ia melepaskan pedang di tangannya.
"Tuan!" Kedua mata Tuan Hwang membulat. Rasa sakit di sekujur tubuhnya kian menjadi saat ia berusaha bangkit.
"Matilah kau, Tua Bangka!!" Moa semakin mendorong tangannya hingga darah yang keluar dari mulut Seungmo semakin banyak.
Bless!
Napas Moa tercekat. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Tuan Hwang yang menusukkan sebuah pedang tepat ke punggungnya.
"Tidak akan pernah aku biarkan kau merenggut nyawa Tuan Kim!!" Tuan Hwang semakin mendorong pedangnya hingga Moa terbatuk pelan dan mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya.
"Berani sekali kau!!" Moa dengan cepat mencabut kukunya dari Seungmo dan beralih menyerang Tuan Hwang. Ia mengambil alih pedang itu dan menusuk Tuan Hwang tepat di perutnya.
Tangan milik Tuan Hwang mencengkeram kuat lengan Moa, sebelum akhirnya ia kehilangan kesadarannya dan semuanya berubah menjadi gelap.