Berbagai medan dilalui dengan susah payah oleh Yooshin. Salah satu kakinya cedera selepas terjatuh. Ia pun sempat tak sadarkan diri, beruntung tak ada binatang buas yang melahapnya di sana. Entah ada di mana Nara sekarang. Entah gadis itu masih hidup dan berada di suatu tempat, atau justru sekarang ia tengah melihatnya dari atas surga. Apapun yang terjadi, Yooshin berharap Nara akan baik-baik saja, meskipun pada kenyataannya ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu.
Langkah Yooshin terhenti saat kepalanya berdenyut. Entah sudah hari ke berapa ia mencari keberadaan Nara, namun tak kunjung menemukannya. Bahkan ia tak menemukan adanya jejak sedikitpun dari kejadian beberapa waktu lalu, termasuk serpihan-serpihan kayu dari peti yang lenyap entah ke mana, mungkin sudah ditelan lautan.
"Aku tidak menyangka dia akan melakukan hal senekat itu." Yooshin bergumam. Nara benar-benar melewati batas dan mengorbankan diri. Bagaimana bisa dia tak menyadari kalau norigae yang dipakai Nara selama beberapa tahun terakhir adalah norigae tiruan dan bukan milik Kiara? Pantas saja Moa selalu bisa dengan mudah mendekati mangsanya.
Dengan sebuah kayu yang ia gunakan sebagai tongkat, Yooshin berjalan melewati sebuah anak sungai dan memasuki hutan lain. Hari masih siang dan ia harus bergegas. Bagaimana pun caranya, ia harus menemukan Nara dan membawanya pulang.
"Jangan sampai Moa mendapatkan Nara lebih dulu, itu akan sangat gawat."
***
"Ada yang mendekat." Moa menoleh ke arah lain. Ia menatap ke sekelilingnya lalu berdiri. "Ini ... bau manusia," lirihnya.
"Ada apa?" Nara yang menyadari perubahan raut wajah Moa pun ikut berdiri.
"Kembalilah ke dalam dan jangan keluar sebelum aku kembali."
"Apa?"
Moa menatap Nara tajam. Dengan sedikit gerakan kasar ia menarik Nara agar masuk ke dalam istananya. "Tetaplah berada di sini," ujarnya. Akar-akar pohon di sekitar secara ajaib bergerak dan menghalangi pintu masuk, diikuti oleh dedaunan yang menutupinya.
"Siapapun itu, tolong jangan membunuhnya," pinta Nara begitu Moa melangkah. Makhluk itu sempat berhenti dan meliriknya, lantas tersenyum miring dan dalam hitungan detik tubuhnya sudah menghilang.
Nara menatap kepergian Moa dengan khawatir. Apakah kakeknya datang mencarinya? Atau itu hanyalah binatang buas? Atau ... manusia yang tersesat? Apapun itu, Nara tak ingin melihatnya jika nanti Moa kembali dengan membawa pedangnya yang sudah bersimbah darah.
"Aku tidak bisa keluar dari sini." Nara memegang akar-akar yang menghalanginya. Sekuat apapun ia mencoba menariknya, benda itu tak menunjukkan adanya pergerakan sama sekali. Mendadak perasaannya tak tenang, entah karena apa. "Kuharap itu hanya binatang buas."
Sementara itu, Moa pergi menuju bau yang diciumnya dengan gerakan cepat.
"Aku juga mencium bau darah." Ia tersenyum miring, lalu pergi menuju salah satu loncat menuju salah satu dahan pohon besar di bawah sana. Tanpa ketahuan, ia menatap seseorang yang berjalan terseok-seok melewati sungai. Kedua mata Moa menyipit, mengingat-ingat sosok yang terlihat tak asing itu.
"Sedang apa dia di sini?" Moa masih memperhatikan, sebelum akhirnya ia menyadari kalau langkah Yooshin menuju ke arah istana bawah tanahnya. Ia dengan cepat turun, mencegah pria itu semakin mendekat. Tentu saja, jawabannya sudah sangat jelas. Yooshin mencari Nara, namun bagaimana dia bisa tahu Nara ada di sana?
"Sedang apa kau di sini?"
Langkah Yooshin berhenti begitu melihat Moa di sana. Keningnya sempat mengerut. "Ini ... Hutan Moa?"
Tawa kecil terdengar dari bibir Moa. "Menurutmu? Ini wilayahku. Manusia sepertimu, tak akan pernah aku izinkan untuk menginjakkan kakinya ke sini."
"Aku tidak ada urusannya denganmu. Aku ke sini untuk mencari Nara. Kecuali jika kau menyembunyikan Nara, maka kau juga akan berurusan denganku."
Moa tertawa. Kuku-kuku tangannya perlahan tumbuh dalam hitungan detik. "Aku tidak suka dengan keberadaan manusia di sini, jadi pergilah." Dengan kedipan saja tubuh Moa sudah beralih ke hadapan Yooshin dan ia mencekik leher pria itu hingga Yooshin menjatuhkan tongkat kayu di tangannya.
"Wah, kau terluka cukup parah. kenapa harus repot-repot memaksakan dirimu? Apa yang kau cari, tidak ada di sini jadi pergilah!"
Bugh!
Tubuh Yooshin tersungkur ke atas permukaan tanah tepat ketika ia hendak mengeluarkan pedangnya. Dengan semua luka di tubuhnya dan kondisinya yang semakin menurun, ia tidak akan mampu melawan kekuatan Moa.
***
Tubuh Nara tersentak saat akar-akar pohon itu bergerak menyingkir, berikut dengan dedaunannya. Ia lalu berdiri dan menatap penampilan Moa. Ia sama sekali tak melihat adanya bercak darah, bahkan bau amisnya pun tidak.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Moa dengan nada tak suka.
"Siapa yang datang?"
"Ah, soal itu. Dia pria yang selalu membawa pedang, yang selalu bersamamu," ujar Moa santai.
Nara tertegun, lalu kedua pupil matanya melebar. "Hwang Yooshin?!"
"Kurasa dia mencarimu, Nona Pendeta." Moa tertawa pelan. "Kasihan sekali. Dia terluka cukup parah dan langsung tak sadarkan diri saat aku memukulnya."
"Kau tidak melakukan hal lain, kan?" tanya Nara begitu cemas.
"Kau beruntung karena pria itu sedang dalam keadaan lemah dan mood-ku sedang cukup bagus hari ini."
"Ya Tuhan. Yooshin -" Napas Nara tercekat. Ia yang hampir berlari dari sana seketika terdiam dengan kedua tangan yang meremas pinggiran hanbok yang dia pakai. Moa mencengkeram lehernya cukup kuat, bahkan Nara bisa merasakan kalau ujung-ujung kuku jemari milik makhluk itu mulai tenggelam di permukaan kulit lehernya,menimbulkan sensasi panas dan perih.
"Jangan pernah berpikir untuk kabur dari sini. Ingat, kau sudah berjanji padaku." Moa menguatkan cengkeraman tangannya, membuat Nara berontak pelan karena mulai kehabisan napas. "Selama kau menepati perkataanmu, maka aku akan melakukan hal yang sama." Ia lalu menghempaskan tubuh Nara hingga gadis itu tersungkur sembari memegangi lehernya yang nyeri. Bercak kemerahan mulai mengaliri permukaan lehernya, sebelum akhirnya m*****i hanbok yang ia pakai.
Keringat Nara mulai keluar. Rasa nyeri di lehernya benar-benar tak bisa ia tahan hingga rasanya ia tak bisa bersuara. Kedua matanya mulai memerah dan berair. Rasa sesak itu seolah terus menghinggapinya hingga ia benar-benar kesulitan bernapas. Ia beberapa kali terbatuk.
"Kau tidak akan mati. Itu hanya bekas kuku milikku." Moa duduk di tempatnya dan menatap Nara dari sana. Gadis itu terlihat kesakitan. "Melihatmu yang seperti ini, sekarang aku paham kenapa orang-orang itu ingin menyingkirkanmu. Kau benar-benar terlihat lemah dan tidak berguna. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, tanpa panah dan pedang milik ayahmu itu, kau bukanlah apa-apa. Ah, iya. Juga norigae yang diwariskan ibumu."
Nara mencoba mengatur napasnya yang terputus-putus. Rasa sakit di lehernya perlahan berkurang, namun darah masih keluar dari sana.
"Kenapa kau tidak langsung membunuhku saja?!"
Moa tersenyum miring.