Chapter 26

1230 Words
"Terlihat cocok untukmu." Moa menatap panampilan baru Nara dengan pakaian berwarna putih, lengkap dengan jubah berwarna senada. Bagian pundak yang dihiasi bulu-bulu halus menambah poin plus penampilan gadis itu. "Ini keren!" Nara memutarkan tubuhnya dan terlihat senang. "Kau mendapat ini dari mana?" "Hanya iseng, aku melihatnya di salah satu desa yang aku kunjungi," jawab Moa. "Kunjunganmu itu bermakna mengerikan. Beruntung pakaian ini tidak ada bercak merahnya," cibir Nara. "Ngomong-ngomong kenapa kau sampai membawakan ini untukku?" "Udara mulai dingin kan, sebentar lagi musim dingin datang jadi aku memutuskan membawakan itu untukmu. Manusia lemah sepertimu pasti akan membuatku kerepotan di tengah udara dingin." "Astaga, kau menyebalkan sekali." Nara menggelengkan kepalanya. "Tapi penampilan kita terlihat seerti Yin dan Yang, hitam dan putih. Aku suka, meskipun kau pasti mencurinya." Salah satu sudut bibir Nara naik. Moa berdeham, lalu beranjak dari tempatnya. "Aku akan masuk ke dalam untuk beristirahat. Jangan pergi terlalu jauh, banyak binatang buas yang berkeliaran mencari makan untuk stok musim dingin." Nara menatap Moa yang berjalan menjauhinya. Gadis itu bergumam pelan sebagai jawaban. "Dia terlihat seperti ayah yang sedang mengasuk anaknya," cibir gadis itu. Ia kembali menatap penampilannya dan dia puas. "Kenapa juga dia harus repot-repot mencari ini semalaman?" Nara berjalan mencari beberapa buah liar untuk mengisi perutnya yang berbunyi sejak tadi. Gadis itu menemukan beberapa pohon mulberi yang tengah berbuah. Entah sejak kapan ia menyukai buah itu. Hidup di hutan tidaklah seburuk yang dia pikir. Ah, mungkin ini karena ia bersama Moa, karena andai tidak ada makhluk itu, dirinya pasti sudah meregang nyawa sejak pertama kali sampai di sana karena jadi santapan binatang. "Andaikan aku tidak melakukan perjanjian ini, Moa pasti masih mengacaukan desa dan mengobrak-abrik semuanya. Lagi pula tidak bisa menyentuhku dengan tangannya karena aku memiliki norigae itu. Hanya saja sekarang benda itu aku simpan dan aku tinggalkan. Ah, maafkan aku, Ibu, Ayah. Kalian pasti sangat kecewa." Nara bergumam. Ia memetik satu per satu mulberi yang ada di sana dan memasukkannya pada sebuah wadah berukuran sedang yang ia bawa. "Aku penasaran dengan perutnya. Bisa-bisanya dia bertahan hidup hanya dengan menghisap jiwa manusia." Nara berdecak. Setelah cukup, gadis itu segera kembali. Ia tidak ingin pergi terlalu jauh dan mengambil risiko persis seperti yang dikatakan oleh Moa. "Bukankah kau bilang kalau kau mau istirahat? Kenapa keluar?" "Aku bosan." Nara mendudukkan tubuhnya di sebuah batu dan mulai memakan mulberi yang dia dapatkan. "Kalau begitu pergi saja," ujarnya. Hening selama beberapa saat, sebelum Moa berkata, "kau mau ikut?" Ia tiba-tiba menawarkan. Nara mengangkat wajahnya dan menatap Moa. "Kau mengajakku? Kenapa?" "Hanya ingin. Siapa tahu juga kau ingin pergi. Mungkin aku bisa mengajakmu ke beberapa tempat." Kedua mata Nara berkedip dua kali. "Benarkah? Ah, akhirnya. Kalau begitu aku ikut." Ia berujar dengan semangat. Salah satu sudut bibir Moa naik. Ia lalu berjongkok dan memunggungi Nara. "Naiklah," ujarnya. "Apa aku harus naik?" Nara menatap Moa polos. "Cepat naik!" Nara tersentak pelan dan ia segera naik ke punggung Moa dan melingkarkan kedua tangannya di leher. "Pastikan kakimu itu tidak menyentuh pedangku." Nara mengerjap dan ia melirik ke samping tubuh Moa. Hanya pakaiannya yang menyentuh benda itu. "Iya, iya. Aku tahu itu." Begitu Moa bergerak. Nara secara refleks mengeratkan kedua tangannya ke leher Moa saat pria itu berlari dengan begitu kencang. Gadis itu sesekali berteriak saat Moa meloncati sungai dan juga bebatuan. Di depan, Moa menyeringai tipis. Ia puas mendapati reaksi ketakutan Nara. Gadis itu bahkan memejamkan kedua matanya rapat. "Bukalah matamu, kau akan baik-baik saja," ujar Moa. "Benarkah?" "Hm. Buka saja, pemandangannya indah sekali." Moa tersenyum miring. Perlahan, Nara membuka kedua matanya. Namun gadis itu langsung membulatkan mata dan berteriak saat menyadari kalau mereka kini tengah melesat menuruni sebuah tebing lalu mendarat di sebuah batu berukuran besar. Tidak sampai di situ, karena Moa masih melanjutkan perjalanannya. Dengan kedua tangan Nara yang erat mengalung di lehernya, ia tertawa. Sementara gadis yang berada didalam gendongannya terlihat semakin pucat karena ketakutan. *** "Kau pasti sudah tidak waras." Nara memukul punggung Moa saat pria itu menurunkannya. "Aku memang seperti itu sejak dulu, kau saja yang penakut," cibir Moa. Nara mendengkus lalu menatap ke sekitarnya. Mereka tiba di sebuah desa yang tidak pernah Nara kunjungi sebelumnya. Dari kejauhan, ia melihat orang-orang yang tengah berlalu lalang dan juga anak-anak yang tengah bermain. "Bukankah identitasmu akan ketahuan?" Nara menghentikan langkahnya dan menoleh pada Moa yang berada di belakangnya. "Aku sudah lama tidak ke sini karena terlalu sibuk dengan desamu. Lagi pula aku jarang menampakkan diri ke banyak orang, hanya menarik satu per satu manusia yang lengah dan menyantapnya secara diam-diam." Nara menelan ludah. Ia tiba-tiba merinding, jawaban Moa benar-benar di luar dugaannya. Tidak heran, mahluk itu bergerak dengan begitu cepat, pasti jarang orang yang menyadarinya. "Katakan saja aku pengawalmu atau semacamnya jika ada yang bertanya." Moa menurunkan topinya sehingga wajahnya sedikit tertutup. Pakaiannya yang hitam dan berbanding terbalik dengan pakaian Nara yang berwarna putih, membuat mereka terlihat cukup mencolok, apalagi penampilan Nara yang abru membuat gadis itu terlihat lebih cantik dan menarik perhatian beberapa pasang mata yang ada di sana. "Nona, Anda cantik sekali. Apakah Anda dari Qing?" Seorang pria menatapnya kagum. Kedua mata Nara berkedip dua kali. "A-aku--" "Belilah sepatu-sepatu cantik ini, kakimu pasti cocok memakainya." "Ti-tidak, terima kasih." Nara mencoba menolak tawaran pria paruh baya itu dan mempercepat langkahnya. Ia melihat-lihat barang dagangan lain dan terkagum-kagum melihat beberapa aksesoris yang dipajang. "Wah, bagus sekali," ujarnya. "Nona, ini adalah aksesoris yang sangat cantik. Mereka akan sangat cocok dengan Anda. Ayo, pilihlah." Si penjual tampak menyodorkan sepasang tusuk rambut padanya. Nara meraihnya dan ia terlihat senang. "Ini cantik sekali. Iya, kan?" Nara menatap Moa dan pria itu hanya bergumam pelan seraya mengangguk. "Aku menyukainya, tapi maaf, Nyonya. Aku sedang tidak membawa uang jadi aku tidak bisa membelinya." Nara mengembalikan benda itu ke tempat semula. "Mungkin aku akan membelinya lain kali." ia tersenyum. "Kalau begitu ambil saja." Wanita itu tiba-tiba berujar. "Ya?" "Kau bisa mengambilnya. Aku memberikan ini padamu, kau tidak perlu membayarnya. Aku baru pertama kali melihatmu dan kau seperti bukan berasal dari sini. Kau juga sangat cantik. Ambilah." Kedua mata Nara mengerjap. "Apa tidak apa-apa?" "Hm. Kau bisa mengambil ini, tak apa. Biar suamimu yang memasangkannya pada rambutmu." Nara baru saja hendak mengucapkan terima kasih namun ia berhenti saat mendengar ucapan wanita itu. "Suami?" Nara tertegun, lalu menoleh ke sebelahnya. Moa juga tampak terdiam. "Ini, coba kau pasangkan." Wanita itu memberikan sepasang tusuk rambut tadi pada Moa dan pria itu menerimanya. Dengan ragu, Nara berbalik. Moa menatap rambut Nara dan dengan perlahan dia memasangkan tusuk rambut itu. "Ah, lihatlah. Istrimu cantik sekali. Dia terlihat semakin cantik." Nara mengerjap dan kembali memutarkan tubuhnya. "Te-terima kasih," ujarnya pelan. Jika saja wanita itu tahu siapa pria yang ada di sebelahnya, dia pasti sudah lari terbirit-b***t sejak tadi, bahkan saat mereka datang. Nara mengambil sebuah cermin yang disodorkan wanita itu dan menatap penampilannya. Ia tersenyum. "Lihatlah, wajah suamimu memerah. Dia pasti senang sekali melihatmu yang semakin cantik." Nara berkedip. Ia lalu menoleh ke arah Moa yang menunduk. Nara lalu merendahkan kepalanya untuk melihat wajah Moa. Pria itu tampak terdiam saat pandangan mereka bertemu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD