Chapter 27

1281 Words
"Lihatlah, wajah suamimu memerah. Dia pasti senang sekali melihatmu yang semakin cantik." Nara berjalan pelan seraya memperhatikan keadaan di sekitarnya . Sesekali gadis itu melirik ke belakang, namun selalu saja tindakannya itu bisa diketahui Moa. Karena merasa tidak nyaman dengan atmosfir di antara mereka, Nara pun sengaja memelankan langkah kakinya sehingga ia sejajar dengan Moa. Gadis itu berdeham pelan, lalu berujar, "kau tahu, kan, yang tadi itu tidak sengaja. Wanita itu benar-benar tidak tahu kita berdua, terlebih lagi dia tidak tahu identitasmu yang sebenarnya." "Lalu?" Nara menggaruk tengkuknya,. "Kau tidak perlu marah pada wanita itu. Dia kan baik, dan kurasa dia tulus--" "Kenapa aku harus marah?" ujar Moa. Ia menatap Nara hingga pandangan keduanya bertemu. "Ya ... kupikir kau akan marah. Baguslah jika tidak. Kupikir kau kesal." Nara membuang pandangannya dan berjalan mendahului Moa. "Jangan berjalan terlalu cepat atau kita akan terpisah. Tempat ini ramai dan biasanya terdapat pencuri. Kau bisa menjadi sasaran empuk mereka dengan penampilanmu yang begitu," ujar Moa di belakang. Di depan, Nara menggembungkan kedua pipinya dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Langkahnya perlahan melambat mau tidak mau. Ia juga tidak ingin menjadi sasaran para pencuri seperti yang dikatakan Moa barusan. "Kau mau makan sesuatu?" tanya Moa seraya menatap ke sekitar. "Kenapa? Kau ingin membelikanku makanan? Memangnya mahluk sepertimu punya uang?" cibir Nara. "Sulit dipercaya. Tidak mungkin kau punya uang." "Aku tidak semiskin yang kau pikir. Memangnya kau pikir baju yang kau pakai itu aku dapat dari mana, hm?" Langkah Nara berhenti di detik itu juga. Ia lalu membalikkan tubuhnya ke belakang dan menatap Moa tak percaya. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau mengira aku mencurinya?" Salah satu alis Moa naik. "Sungguh? Kau ... membeli ini?" Kedua mata Nara membulat. "Sudahlah, aku lapar. Ayo kita makan." Moa kembali melangkahkan kakinya dan berjalan mendahului Nara. "Kau mendapatkan uang dari mana? Hey!" "Heh, kau pikir aku menghabisi manusia begitu saja dan pergi?" Moa menyeringai. Kedua mata Nara mengerjap dua kali. Ia lalu memukul lengan Moa. "Astaga, lihatlah mahluk serakah ini. Kau tadi berkata agar aku hati-hati karena banyak pencuri di sini, tapi lihatlah, ternyata salah satu pencuri itu sedang bersamaku." Nara mendengkus pelan. Ia mempercepat langkahnya dan kembali mendahului Moa. Keduanya berhenti di sebuah kedai makan dan memesan sesuatu. Nara menatap ke sekitar selama ia memakan makanannya. "Tak ada satu pun yang mengenalmu di sini. Kau pasti hampir tidak pernah ke sini lagi sejak sekian lama," ujar Nara. Moa tak menjawab dan sibuk dengan makanannya. "Tapi ngomong-ngomong, kupikir kau tidak menyukai makanan manusia. Tapi yang kulihat sekarang ternyata berbanding sebaliknya. Kau hampir menghabiskan semangkuk gukbap dan lagi kau memakannya dengan lahap." Nara menatap Moa yang terlihat fokus. "Awalnya kupikir kau hanya menyukai jiwa manusia saja." Mendengar itu, Moa tersedak pelan. "Seseorang mengajarkanku agar aku tidak bergantung pada jiwa manusia, karena ada manusia yang tidak bisa aku serap jiwanya dan malah membuat tubuhku sakit." "Ah, benarkah? Ada manusia seperti itu?" "Hm." "Mereka manusia seperti apa?" Moa menurunkan kembali sendoknya dan menatap Nara yang tampak penasaran. "Pendeta." Kedua mata Nara mengerjap dua kali. "A-apa?" "Mereka adalah pendeta. Orang-orang berhati tulus dan bersih, karena itulah aku hampir tidak pernah menyerang pendeta dan menghindari mereka. Menghisap jiwa mereka hanya akan membuatku menyakiti diriku sendiri." "Tapi ... kau membunuh ibuku." Nara menatap Moa sendu. Moa tediam selama beberapa saat. "Bukankah aku sudah menceritakannya padamu? Bukankah kau sendiri tahu dalang dari semua ini?" Nara membuang napas pelan dan mencoba memasukkan sesendok gukbap ke dalam mulutnya. "Maaf, aku tidak bermaksud membahas itu lagi. "Aku hanya ingin tahu siapa orang yang sudah mengajarimu banyak hal tentang kehidupan manusia, bahkan kau sampai bisa memanfaatkan uang mereka. Apa dia seorang wanita?" "Hm." "Wah, benarkah? Apa dia wanita yang baik?" Moa mengangguk pelan. "Aku pertama kali bertemu dengannya di sini." Kedua mata Nara mengerjap. "Eh? Di sini? Maksudmu ... di desa ini?" "Iya." "Benarkah? Ya Tuhan, aku tidak menyangka ada wanita seperti itu. Memangnya dia tidak tahu kau yang sebenarnya? Dia tidak takut?" Meskipun samar, Nara bisa melihat seulas senyuman tipis yang tercetak di bibir Moa di antara helan napas pria itu. "Dia tidak pernah takut padaku." Nara terkagum-kagum setelahnya. "Dia pasti wanita yang hebat. Aku yakin dia wanita yang sangat cantik. Lalu kenapa kau tidak menemuinya sekarang juga? Kau kan sedang berada di sini." Ia tampak antusias sekaligus penasaran dengan sosok wanita yang dibicarakan oleh Moa. Hening selama beberapa saat. "Dia ... sudah meninggal." Senyuman Nara luntur seketika. Gadis itu tampak terkejut. "A-ah, benarkah? Maaf, aku tidak tahu," ujarnya. "Jadi karena itulah kau jarang sekali ke sini. Kau ... juga pasti tidak pernah lagi menyerang penduduk di sini. Aku bisa memahami perasaanmu. Kau pasti merasa kehilangan hingga sekarang." Nara menepuk pelan bahu Moa dan ia mencoba tersenyum, lalu kembali melanjutkan kegiatan makannya. Moa mengangkat wajahnya dan menatap Nara. "Setidaknya aku bisa malihatmu ... di dalam tubuh putrimu," batinnya. *** "Perutku kenyang sekali. Akhirnya aku bisa memakan makanan manusia lagi." Nara tersenyum lebar. Ia lalu membalikkan badannya dan menatap Moa. "Kau benar-benar tidak berbohong. Diam-diam ternyata uangmu banyak juga." Ia meninju lengan Moa. Moa tidak berniat membalas perkataan Nara dan hanya menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Hei, kalau begitu belika aku--" Ucapan Nara terputus saat Moa secara tiba-tiba menarik tubuhnya hingga tubuh mereka berdua menempel. Kedua mata Nara membulat, lalu ia menyadari orang-orang menatap ke arahnya. Nara sedikit menjauhkan tubuhnya dan ia menolehkan kepalanya ke belakang. Ia terkejut bukan main saat melihat sebuah anak panah yang berada di genggaman tangan Moa. Pria itu menatap ke sekitar dengan tajam. "Astaga, apa-apaan ini?" Nara memperhatikan ke sekitarnya. Seseorang tanpa diduga berniat membunuhnya di sana. "Untung saja kau menangkapnya tepat waktu." Nara membuang napasnya lega. Namun di detik berikutnya ia melihat kedua mata Moa mengkilap menjadi biru safir. Anak panah yang ada di tangannya langsung dipatahkan dengan begitu mudah. Nara mengikuti arah pandang Moa dan melihat seseorang berlari di antara kerumunan dengan tergesa. "Biarkan saja dia--" Moa melempar anak panah itu dengan kasar ke permukaan tanah dan dengan cepat ia berlari mengejar pria di depan sana. "Ti-tidak!" Kedua mata Nara membulat. Gadis itu segera menyusul Moa secepat yang ia bisa, meskipun ia tertinggal jauh. Ia menyusuri ke beberapa gang sepi dan berhasil menemukannya. Moa terlihat mencengkeram leher pria tadi seraya mengangkat tubuhnya tinggi dengan satu tangan. "Jangan lakukan! Biarkan dia pergi!" Dengan raut wajah yang sudah berubah, Moa menolehkan kepalanya pada Nara. "Biarkan dia pergi. Aku tidak apa-apa, kau lihat, kan?" Pria yang berada di cengkeraman Moa tampak semakin memucat seiring dengan menipisnya kadar oksigen yang ada di dalam paru-parunya. "Aku akan membiarkanmu hidup tapi kau harus berjanji padaku, kalau kau akan hidup dengan benar dan berhenti menjadi pencuri," ujar Moa. Pria yang hampir sekarat itu mengangguk dengan susah payah. "Aku akan langsung menghabisimu dan membuatmu bernasib seperti teman-temanmu yang lain jika kau sampai hidup seperti ini lagi." Moa menjatuhkan pria itu hingga tak sadarkan diri. Ia lalu meletakkan sejumlah uang di atas tubuh pria itu. "Teman-teman?" Nara mengerutkan dahi. Perlahan ia berbalik dan terkejut melihat ada mayat beberapa orang di belakangnya. Gadis itu secara refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Ayo pergi dari sini." Moa berjalan mendekati Nara. Nara kembali dibuat terkejut melihat beberapa noda yang ada di pakaian Moa yang serba hitam. "Ka-kau membunuh mereka semua?" "Mereka semua akan menyerangmu selama aku mengejar pria itu. Aku terpaksa melakukannya," ujar Moa. Ia langsung menarik tangan Nara dan membawa gadis yang masih syok itu untuk pergi dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD