Waktu tak terasa berlalu dengan begitu cepat. Nara yang masih berada di dalam Hutan Moa mulai perlahan kian terbiasa dengan kehidupannya di sana. Di samping itu, seharusnya Moa berperan sebagai sosok yang patut Nara jauhi, namun pada kenyataannya justru mereka berdua melakukan hal yang sebaliknya. Gadis yang sempat berencana membuat senjatanya sendiri secara diam-diam kini justru seolah melupakan tujuannya itu.
Asap terlihat mengepul melewati dahan-dahan pohon, lalu berterbangan ke langit dan menghilang bersama dengan angin. Sementara di bawahnya, si pelaku pembuat kepulan asap itu tampak menikmati ikan bakar dengan wangi yang begitu menggoda, membuat air liur seolah hampir menetes keluar dari ujung bibir yang sudah lembap.
“Kau berencana makan itu sendirian?” Moa bertanya dari bawah pohon, menatap anak manusia yang terlihat fokus pada ikan bakar di depannya.
Nara mengangguk dengan semangat. “Tentu saja. Aku lapar sekali,” ujarnya. Ia menyudahi acara bakar ikannya dan kini sibuk meniupinya.
“Dasar tamak. Kau juga tidak tahu berterimakasih, padahal aku sendiri yang menangkapnya.”
Nara yang susah membuka mulut itu lantas melirik sosok di depan sana. “Kau tidak ikhlas menolong wanita? Lagi pula jika aku memang menawarimu, kau akan tetap menolaknya, kan? Kau dari dulu selalu begitu. Jadi kenapa aku harus repot-repot menawarimu? Kau bisa berburu sendiri.” Nara melahap ikan itu dengan kedua mata yang sesekali menyipit karena sensasi panas di sekitar mulutnya.
“Aku penasaran kenapa tidak ada lagi yang datang ke sini. Kau tidak membunuh semua orang di desa, kan?”
“Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak pernah bohong dengan ucapanku?” ujar Moa dengan kedua mata yang sudah terpejam.
Kedua sudut bibir Nara naik, gadis itu tersenyum tipis. “Aku penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Di samping itu, aku juga salut padamu. Sudah sebulan ini kau tidak pergi ke desa, kan?”
“Kau pikir aku hanya pergi ke desamu itu? Kau pikir di Joseon ini tidak ada desa lain? Tentu saja ada. Tapi kebanyakan dari mereka tak memiliki pendeta seperti desamu. Mereka juga tak melakukan pertahanan apapun. Tapi ada juga yang melakukan tumbal. Kasihan sekali, tapi itu tidak masalah buatku.”
“Ya ampun, jahat sekali. Mereka sangat kejam.”
“Bukankah perlakuan orang-orang di desamu lebih kejam?” Kedua mata Moa terbuka lalu menatap Nara. Salah satu sudut bibirnya terangkat.
“Bisa kau berhenti membahasnya? Aku muak mendengar itu.”
Tawa Moa terdengar. “Katanya mereka ingin desanya terlindungi. Katanya mereka menomorsatukan keselamatan sang pendeta yang begitu mereka puja. Lalu apa yang terjadi padamu? Mereka langsung membuangmu, dan parahnya lagi, kakekmu adalah dalang dari semuanya. Si tua bangka picik yang berpuluh-puluh tahun bersembunyi dalam topeng kebaikan itu berhasil mengelabui semua orang. Hebat sekali.
“Kau bisa diam tidak? Kau merusak nafsu makanku,” keluh Nara. Ia mendengkus pelan dan kembali memakan ikan bakar miliknya. “Kau berusaha mencuci otakku, ya? Kau pasti sengaja mengundur waktu kematianku agar aku terpancing untuk membenci orang-orang desa dan dendam pada mereka. Kau ingin aku membunuh mereka dengan tanganku sendiri, kan?” tukasnya.
Moa kembali tertawa. “Aku bisa saja melakukan itu, tapi sayangnya aku tidak berniat melakukannya padamu. Kenapa aku harus repot-repot mencuci otakmu jika yang kukatakan itu adalah faktanya?”
Nara terdiam selama beberapa saat. Gadis itu lalu membuang napas pelan.
“Mungkin sekarang orang-orang di desamu itu sedang menyusun rencana untuk menyerangku. Tapi sepintar apapun mereka mencoba menyelinap ke sini, aku akan langsung bisa menemukannya. Ini hutanku, dan aku tahu setiap bagian yang ada di sini,” ujar Moa. “Pria yang beberapa kali mencoba menyelamatkanmu juga sepertinya menahan keinginannya. Mungkin ayahnya atau kakekmu yang busuk itu menyusun rencana dan mengatakan sesuatu pada pemuda itu.”
“Kenapa kau begitu yakin dengan ucapanmu?” Nara berujar. “Memangnya kau tahu apa yang akan terjadi? Kau bahkantidak datang ke desa.”
‘Karena aku mengalami ini sebelumnya,’ batin Moa.
“Aku sudah bisa menebaknya. Rencana yang dibuat manusia itu selalu bisa dengan mudah ditebak. Kau tahu apa artinya? Mereka selalu merencanakan hal yang sama. Begitu klise, mereka seolah malas untuk berpikir dan menemukan ide baru,” cibir Moa. Ia lalu bangkit dari posisinya dan berjalan melewati Nara, lalu berjongkok di tepian sungai dan mengambil air dengan kedua tangannya.
“Apa ini?” Kedua alis milik Moa saling bertaut melihat sesuatu yang megapung di atas permukaan air dan mengalir melewatinya.
“Ada apa?” Nara menoleh dan menatap benda-benda itu. Kedua matanya berkedip dua kali, lalu ia beranjak dan pergi ke sungai untuk melihatnya lebih dekat. “Ini … bunga canolla,” gumamnya. Kenapa bisa ada di sini?”
“Bunga canola?”
“Memangnya di hutan ini ada ladang canolla?” tanya Nara.
Moa menggelengkan kepala. “Tidak pernah ada canolla di sini. Satu-satunya ladang canolla terdekat itu ada di desamu, kan? Di dekat hutan yang mengarah ke Gunung Seongju,” ujarnya.
Nara dibuat tertegun. Tentu saja ia tahu di mana letak ladang canolla itu. Pasalahnya ia dan Yooshin beberapa kali ke sana.
“Yooshin … “ Tanpa sadar ia bergumam.
Pria itu pasti menyebarkannya di sungai, aku yakin. Sungai di sebelah barat masih terhubung dengan sungai ini dan kurasa pria yang bernama Yooshin itu sengaja melakukannya. Memangnya siapa lagi? Tidak mungkin jika canolla-canolla ini berterbangan karena angin lalu jatuh ke sungai.”
‘Dia masih hidup. Dia baik-baik saja,’ batin Nara. Ia tersenyum tipis mengetahui kenyataan itu. Meskipun ia semakin sulit bertemu dengannya, namun Nara masih begitu bersyukur kalau pria itu baik-baik saja.
***
Angin membawa canolla itu pergi dan mengalir menyusuri arus sungai yang cukup tenang. Warna kuningnya yang cerah terlihat seolah bersinar di atas permukaan air.
“Aku berharap canolla ini akan menemukanmu, dan begitu juga sebaliknya. Kau juga menemukan canolla ini,” lirih Yooshin.
Canolla yang bermekaran membuatnya teringat pada Nara, yang juga tak kembali seiring berjalannya waktu. Ia juga tak bisa pergi dan menunggu waktu yang tepat untuk membawa gadis itu kembali. Yang ia bisa lakukan kini adalah berdoa atas keselamatan Nara, berharap gadis itu baik-baik saja. Jika apa yang ayahnya dan Seungmo katakan itu benar, maka kemungkinan besar hingga detik ini Nara masih bisa bernapas.
Perjanjian itu kembali terulang seperti belasan tahun lalu, namun Yooshin tak ingin Nara mengalami akhir yang sama dengan mendiang ibunya.