Hati yang Bimbang

1029 Words
Kevin yakin, orang paling bodoh di antara mereka berenam adalah Ardan. Selain bodoh dalam hal akademik, Ardan juga bodoh dalam hal segalanya termasuk perasaan. Laki-laki bercelana bokser itu tidak menyangka kalau malam tenangnya harus dirusuhi oleh kedatangan Ardan. Tiba-tiba muncul dengan rambut berantakan, muka kusut, dan bau anggur yang pekat. Kevin memberikan minuman lemon kepada temannya itu. Mendengarkan keluh kesah Ardan sambil memainkan ponsel. "Lo denger gue nggak sih." Ardan bersulut-sulut. Terkadang memang menyebalkan melihat lawan bicara kita tidak memperhatika malah sibuk dengan ponselnya. Meski Ardan tahu kalau telinga sahabatnya itu akan tetap mendengarnya. Tetap saja kesal, seperti tidak dihargai! "Hemm, lanjutin aja, gue dengerin." Ardan terdiam. "Lo nyium dia, suka dia. Terus apa?" Mata Ardan melirik ke arah lain dengan sorot bimbang. "Gue nggak bisa mulai lagi." "Karena masa lalu?" tukas Kevin. Ia sampai mendongak mendengar ucapan Ardan barusan. Melihat keterdiaman Ardan, Kevin jadi geleng-geleng kepala. See? Manusia bodoh bukan dirinya, tapi Arfabian. "Gue harus gimana?" Ardan menghela napas lemah. Ia menyugar rambutnya lalu merebahkan diri di sofa milik Kevin. "Orang kayak lo nggak mempan dikasih nasehat. Ujung-ujungnya masuk kuping kanan keluar kuping kiri." Kevin berdiri. "Lo harus bisa damai sama diri sendiri dulu. Inget, Dan, mau lo sejauh apa pun lari kalau emang dia buat lo, dia bakalan datang lagi ke hidup lo." Melihat Ardan sudah memejamkan mata, Kevin jadi berdecak kesal. "Bodo, ah. Malah tidur ni bocah." *** "Lo nggak pulang?!" Ardan malah tambang bergelung di kasur Kevin. Mulutnya bergumam, "Enggak, gue di sini dulu buat mikir." Kevin memutar malas matanya. Ia membuka lemari dan mengeluarkan setelan kerja. "Lo kerja?" Walaupun belum sepenuhnya melek, Ardan dapat melihat kemeja, dasi, celana hitam, dan jas yang dikeluarkan Kevin dari dalam lemari. "Iya, dipaksa kakak gue." Ardan bangun dari tidurnya. Mengambil handuk baru di lemari kecil Kevin lalu menuju kamar mandi. "Lo jangan macem-macem di rumah gue!" teriak Kevin dari dalam kamar. "Nggak bakal macem-macem selama stok makanan tersedia," jawab Ardan sambil masuk ke dalam kamar mandi. Kevin berdecih, lalu teringat kalau dirinya sering menginap di rumah Ardan. Ternyata ini rasanya. Kelar berpakaian, Kevin keluar kamar. Ia jadi ngeri sendiri kalau stok makanan habis. Ada beberapa yang sudah menipis dan Kevin harus membelinya. Ia tidak mau mengambil risiko. "Bi, nanti tolong cek kulkas, ya. Ardan nginep nggak tau berapa hari. Beli banyak aja." Ardan kalau sudah galau, makannya pasti banyak. Tidak akan ada kamus 'badan kamu kurus karena stress' bagi Ardan. Bi Lastri mengangguk. Ia adalah asisten rumah tangga harian di rumah Kevin. Biasanya Bi Lastri akan datang jam tujuh pagi dan pulang jam delapan malam. "Baik, Mas. Tumben Mas Ardan ke sini." "Lagi galau dia. Jangan kaget kalau nanti tiba-tiba ada yang nangis di pojokan ya, Bi," kelakar Kevin. Kevin menyambar tas dan kunci mobilnya. Menengok sebentar ke depan pintu kamar mandi lalu berteriak. "Dan, jangan lama-lama di kamar mandi! Jangan gantung diri!" "GUE GAK SEFRUSTRASI ITU GILA!" sulut Ardan membuat Kevin tergelak. Ia sampai memegang perutnya. Memang paling mood kalau nyari gara-gara ke Ardan. *** Ardan keluar kamar mandi dengan kondisi rumah yang sepi. Bahkan Bi Lastri yang biasa bebersih di ruang tamu, tak terlihat. Cowok itu lantas masuk ke kamar. Mengecek ponselnya. Sudah ada puluhan notifikasi dari satu nama. Ardan belum siap berbicara dengan cewek itu. Bak remaja labil, Ardan masih bingung dengan keputusannya. Antara mengikuti kata hatinya saat ini atau memenuhi rasa amannya. Bagi Ardan, menjalani hubungan percintaan sama dengan siap untuk tersakiti. Mencintai seseorang berarti harus siap dikecewakan. Dan untuk saat ini Ardan belum siap akan hal itu. Untuk itu saat dering panggilan dari Dinda mati. Ardan langsung mematikan ponselnya. Benar kata Kevin, ia harus memikirkan masalah ini sendiri. Ia butuh waktu untuk memahami hatinya. "Sorry, Din. Gue emang pengecut." *** Kevin menghela napasnya saat melihat perempuan berjaket kulit hitam dan kulot hitam sebetis itu masuk ke ruangannya. "Hai, Vin. Aku bawain ini, nih." Shella mengangkat paperbag bertulis merk salah satu toko bakery. "Ngapain ke sini, sih," protes Kevin. "Biar seluruh kantor tau kalo Kevin udah punya pacar," jujurnya. Shella menghadapi Kevin tidak seperti perlakuannya ke mantan-mantannya dulu. Lelaki seperti Kevin ini harus diceplas-ceplos biar paham. Main kode-kodean sama Kevin sama saja siap merasakan sakit hati. Bukan karena tidak peka, tapi pura-pura tidak peka. Sebenarnya lelaki yang paling menyebalkan itu bukannya yang tidak peka, tetapi yang hanya pura-pura tidak peka. Shella duduk di sofa kecil di ruangan Kevin. Membuka paperbagnya dan mengeluarkan kue bolu keju kesukaan Kevin. "Emm, wanginya udah enak banget. Sini, Kevin, cobain dulu." Shella menepuk tempat kosong di sampingnya. Kevin memakai kacamatanya lagi. Menarik kursi untuk mendekati mejanya. Kembali memfokuskan diri ke layar komputernya. "Shella aja." Shella memotong kue itu. Menaruh potongan kecil di atas piring lalu berjalan ke arah Kevin. "Ardan di rumah lo sampai kapan?" tanya Dinda. Ia menikmati kuenya sambil menatap pemandangan di luar kantor melalu jendela besar di ruangan Kevin. "Nggak tau." Perempuan itu mengangguk kecil. Mulutnya membulat membentuk huruf o. "Tau nggak gue ketemu siapa di toko kue tadi?" Kevin mengendikkan bahunya. Ia masih fokus dengan laporannya. "Dinda." Shella menyuap sendoknya ke dalam mulut. "Dia udah nggak kerja sama Ardan. Beran—" "Alamatnya di mana?" Kursi Kevin lantas berbalik menghadap Shella. Perempuan itu sampai berjengkit. "Alamat apa? Ish, ngagetin aja," gerutu Shella. "Alamat tokonya-lah." Shella memotong kuenya dan kembali memakan. "Kalau gue kasih tau gue dapet apa?" Kevin lantas berdiri. Ia meraih bahu Shella dan mendekati wajahnya ke perempuan itu. Hanya sekilas. Kevin menempatkan bibirnya di bibir merah ranum milik Shella. "Hari minggu kita jalan terserah lo mau ke mana." "Ngehadirin undangan pernikahan sahabat gue?" Kevin mengangguk. Membuat Shella tersenyum. Ia sedikit berjinjit dan balik mencium Kevin. "Deal." Argh! Padahal Kevin paling malas menghadiri acara pernikahan kecuali acara pernikahan kelima sahabatnya nanti. Shella salah satu perempuan yang punya pasangan, tapi kalau menghadiri acara pernikahan temannya selalu sendiri. Apa cuma Shella aja yang seperti ini? Enggak! Tapi yang bikin kesalnya, biasanya lelaki yang malas menghadiri pesta pernikahan itu laki-laki yang sudah berstatus suami. Sedangkan Kevin, baru jadi pacar saja diajak ke pesta pernikahan susahnya luar biasa. Melihat Kevin kali ini rela menghadiri pesta pernikahan demi tahu alamat kerja Dinda. Shella yakin, Kevin memang membutuhkan itu. "Minta alamat Dinda buat apa, sih?!" Sial! Dia jadi overthingking lagi!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD