Tak Jujur dengan Hati

1034 Words
"Lo mau Ardan cepet balik, nggak?" Kevin kembali duduk di kursi besarnya. Dalam hati Shella merutuki dirinya sendiri. Cemburunya udah akut. "Emangnya mereka tuh pacaran atau apa sih?" "Mantan. Tapi masih saling suka. Cuma Ardannya yang belum siap balikan." Mata Shella melirik ke ujung kiri atas, berpikir. "Emm, dulu alasan putusnya karena Dinda berarti." "Ya gitu. Nanti gue minta bantuan lo dikit, ya." Kevin memutar kepalanya untuk melihat perempuan itu. Shella bergeleng. Ia kembali duduk di sofa Kevin. "Nggak mau," tolaknya keras. "Kalau ada Ardan di rumah gue, minggu nggak bakal bisa pergi." Otomatis Shella berdecak kesal. "Iya, iya!" Kesal. Shella malah harus ikutan ribet karena urusan percintaan orang. *** "Kue keju di toko itu enak banget, Dan. Tadi siang Shella beliin buat gue. Nagih banget rasanya." Ardan berdelik. Gaya bicara Kevin sudah seperti youtuber makanan saja. "Kayak lagi ngidam lo. Shella hamil?" Sebuah tepukan cukup keras mendarat di kepala Ardan. "Mulut nggak pernah disekolahin gini nih." Ardan lantas terkekeh geli. Keluar setelah lima hari mengurung diri di rumah Kevin, Ardan seperti ikan yang baru dicemplungin ke air alias kerasa banget bebasnya. Sayangnya, selama itu ia masih tidak tahu pasti akan perasaannya. Ardan tidak yakin apa yang harus ia katakan ketika bertemu Dinda dan perempuan itu menuntut jawaban kepadanya. Mungkin dia akan lari saat itu juga. Mobil hitam milik Kevin berhenti di depan toko kue bertulis Liliana Bakery. Ardan memarkirkan mobil Kevin di depan. Sahabatnya itu duluan ke luar mobil. Lalu disusul Ardan di belakangnya. Dari luar Ardan dan Kevin mendengar suara musik. Ardan sudah menebak kalau ada live music di dalam toko itu. Kevin masuk duluan dan mengambil kursi di dekat jendela. Kemudian Ardan duduk di depannya. "Pesenin, Dan." Lantas Ardan berdecak dan kembali berdiri. Betapa terkejutnya Ardan kala ia mendatangi meja kasir. Seorang yang selama lima hari ini ingin ia hindari tengah berdiri di sana dengan celemek hitam dan topi hitam berlogo toko ini. Ardan sudah ingin berbalik jika Dinda menyecarnya pertanyaan. Nyatanya, Dinda hanya bertanya pertanyaan yang biasa dilontarkan. "Mau beli yang mana, Mas?" Ardan bergeming, Dinda sama sekali tidak menyapanya. Dengan berusaha bersikap santai Ardan menyebutkan pesanannya. Dinda menaruh kue pesanan Ardan ke atas nampan dan menyodorkannya. Ardan memberikan sejumlah uang. "Terima kasih." Setelah mengatakan itu Dinda kembali melayani pelanggan lain yang datang. Komunikasinya dengan Dinda hanya sebatas itu. Dengan kikuk Ardan mengambil pesanannya dan kembali ke tempat duduknya. Mata Ardan menghunus tajam ke arah Kevin. Kevin memalingkan wajahnya kepada orang yang tengah bernyanyi solo. "Lo sengaja, 'kan?" desis Ardan. "Eh, Dan, mau rikues lagu nggak tuh," tunjuk Kevin ke penyanyi laki-laki di depan sana. Berusaha mengalihkan pembicaraan. "Lo tau dia di sini makanya lo udah kayak orang ngidam maksa ke sini." Kevin menoleh. Alisnya menyatu satu sama lain. "Apa?" tanyanya dengan tampang tak berdosa. Ardan menatap Kevin datar. "Mata Kevin menyapu penjuru ruangan. Lalu berhenti pada sosok yang ia kenal. Loh, Dinda? Dia udah nggak kerja sama lo?" Kevin memajukan tempat duduknya. "Gue kira lo ngehilang itu Dinda masih kerja di tempat lo. Terus dia kenapa keluar?" cecar Kevin tak mempedulikan ekspresi Ardan yang tampak kesal. Lelaki itu sampai berulang kali mengorek kupingnya yang tak gatal. Ardan menyandarkan punggungnya lalu menyuap sepotong kue. Dahi Kevin mengerut tatkala menyadari tidak ada adegan drama yang terjadi. Minimalnya salah satu dari Dinda atau Kevin yang berlari kabur. Parahnya, mereka saling adu argumen sampai seisi toko kue ini tahu. Namun, yang terjadi Ardan malah asyik makan dan Dinda yang tengah melayani pelanggan di balik meja itu. "Lo tadi ngobrol apa aja sama, Dinda?" Ardan mengeluarkan ponselnya. Ia mengendikkan bahu. "Pesen kue-lah. Lo 'kan minta dipesenin kue gimana, sih," sulut Ardan. "Asem mulut gue. Mau di luar aja." Ardan bangkit dari duduknya. Membawa piring kuenya keluar toko. Liliana Bakery memang memyediakan kursi dan meja di luar toko yang dikhususkan untuk pengunjung laki-laki yang ingin merokok. Kevin sedikit cengok. Ini tak seperti yang diharapkannya. Kemudian saat ia keluar toko ia mendapati Shella sudah ada di sana. Argh! Shella datang di saat tidak tepat. "Gue 'kan belum ngechat lo. Ngapain lo ke sini," cicit Kevin. Shella memanjangkan lehernya melihat kondisi Dinda—perempuan itu tengah menawarkan berbagai macam kue di etalase—dan Ardan yang tengah merokok di luar. "Kok mereka santai aja berdua." Kevin mendorong tubuh Shella ke luar. "Ya udah tinggalin sekarang aja, sih," bisik Shella. Ardan menoleh ke belakang sadar akan kehadiran Shella ia mengangguk singkat untuk menyapa gadis itu. "Hai, Dan. Boleh pinjem Kevinnya?" Ardan melirik Kevin yang tengah menampilkan wajah tegang. Entah tegang karena bertemu Shella atau karena hal lain. Untuk itu Ardan hanya mengangguk. Ardan sempat melihat wajah Kevin yang semakin kaku saat Shella menariknya. Dalam hati Ardan terkekeh, segitu tertekannya, pikir Ardan. Lelaki itu tidak tahu apa yang membuat Kevin lebih tertekan. Yaitu meninggalkan Ardan sendiri dalam kondisi yang Kevin yakin tidak baik-baik saja. *** "Shel! Ah, lo mah. Ngapain nongol dulu sih. Gue 'kan bilang nanti lo dateng kalo gue chat." Shella membuka cermin kecilnya dan memoles lipsticknya yang tampak memudar. "Gue liat Ardan udah keluar, gue kira mereka udah baikan. Terus ngapain gue ngumpet di warteg." Pada awalnya, Kevin berencana menyuruh Shella datang dan berpura-pura mengajaknya pergi saat kondisi Ardan dan Dinda bertemu dengan keadaan baik. Namun, kalau chaos Shella juga tetap diminta datang untuk membantu menenangkan Dinda dan memberi pengertian kepada perempuan itu, begitu pula yang dilakukan Kevin kepada Ardan. Nyatanya, tidak ada dari dua kejadian yang diperkirakan Kevin yang terwujud. "Terus itu mereka berdua kenapa?" tanya Shella. Kevin menghela napas. Lelahnya double. Pertama karena kondisi jalanan yang macet, ke dua karena masalah Ardan yang masih stuck. "Malah jadi kayak orang nggak kenal." Shella berdecak panjang. Ia merapihkan poninya yang sedikit berantakan. "Rumit banget, sih, hubungan mereka. Padahal pilihannya dua, pergi atau menetap." "Kalau buat lo pilihannya ada tiga, pergi, menetap, dan mengurung," tambah Kevin. Paham dengan maksud Kevin, Shella mendengkus. "Apa sih kemampuan gue sampe lo bisa dikurung. Padahal kalau ngebebasin diri juga bisa," ketus Shella. Pandangannya ia lempar ke luar jendela. Ucapan Shella sukses membuat Kevin terdiam. Perempuan itu benar. Ini hanya alasan Kevin saja seakan-akan ia ditahan oleh Shella. Padahal ia pun bisa lepas kalau ia mau. Pada akhirnya, Kevin pun harus jujur pada dirinya sendiri. Kalau ia memang menginginkan perempuan itu juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD