Usaha Melupakan

1034 Words
Dinda memutuskan untuk menghapus kontak lelaki itu. Selama dua hari ini, Dinda hanya mengurung diri di rumahnya. Selama persediaan mie instan di rumahnya masih ada, Dinda sebisa mungkin tidak keluar rumah. Dirinya masih malu dengan tingkah bodoh yang ia lakukan dua hari lalu. Bisa-bisanya ia menangis seperti anak kecil kehilangan mainan di tengah jalan. Entah Dinda masih bisa menatap wajah tetangga sekelilingnya atau tidak. Dinda yakin kalau dirinya sudah menjadi buah bibir ibu-ibu arisan satu komplek. Setiap mengingat kejadian itu Dinda jadi bergidik, merinding sendiri lalu ia akan mencuci muka. Bersugesti untuk menghilangkan setan bucin dalam dirinya. Hari ini Dinda mulai membuat list kegiatan dan rencana yang akan ia lakukan. Selama dua hari terkurung di rumah, Dinda jadi merasa bodoh sendiri. Mungkin saja Ardan di luar sana sedang bersenang-senang di saat Dinda malah mengacaukan dirinya sendiri. Perempuan itu mendapat info lowongan kerja dari mamanya di salah satu toko bakery. Proses interviewnya besok. Dinda harus mempersiapkan segalanya. Ia tak mau mengacaukan kesempatan ini. Juga, ia harus bersiap mendapat serangan tatapan dari tetangganya nanti saat ia keluar rumah. Dinda jadi berdoa semoga tetangganya dicabut ingatannya akan kejadian itu. Sial! Dinda selama dua puluh empat tahun kamu hidup, bisa-bisanya mempermalukan diri seperti itu! batinnya memaki. *** "Nggak usah tegang, itu kenalannya temen Mama. Mama udah bilang kamu jago bikin kue, tapi nggak jago jualan." Dinda tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk hanya berdeham mendengarkan ocehan mamanya. Sejak ia bangun tidur, sarapan, sampai mandi mamanya tak memutus sambungan telepon sama sekali. Katanya, untuk menemani aktifitas Dinda berangkat melamar kerja. "Kira-kira kerjanya hari ini atau besok, Ma?" "Ya, tergantung kesepakatanlah. Liat nanti aja. Kamu udah pake baju rapi aja." "Iya, Ma." Dinda menaburkan bedak ke wajah. Memoles lipstik ke bibir. Lalu menyeprotkan parfum ke badan. Setelah itu ia mengambil tas dan map cokelat di meja. "Dinda udah siap jalan, Ma," ujar Dinda memberitahu. "Mapnya jangan ketinggalan." "Iya." "Kunci rumahnya." "Iya, Ma." Dinda keluar rumah dan mengunci pintu. "Kedengeran kan bunyinya?" "Hati-hati, ya. Nanti kabarin lagi hasilnya." "Iya, Ma. Aku berangkat dulu." Setelah mengucapkan salam, Dinda mematikan ponselnya. Ia menggunakan masker dan topi hitam untuk menutupi wajahnya. Berharap tidak ada yang menyadari keberadaannya. Dinda juga sengaja menggunakan kulot hitam dan baju lengan panjang berwarna navy. Dinda baru membuka maskernya saat tiba di lokasi toko kue. Melihat nama toko kue yang disebutkan mamanya, Dinda langsung masuk ke dalamnya. Liliana Bakery Ornamen bata yang terlihat dibagian depan menyambut penglihatan Dinda pertama kali. Pintu setengah kaca itu dibuka oleh Dinda. Di dalamnya Dinda disuguhkan dengan air terjun buatan lalu kasir dan etalase makanan. Di sisi lain ruangan itu terdapat live music. Setiap dindingnya diberikan hiasan daun-daun. Keseluruhan dari desain toko kue ini berunsur kayu dan daun. Warna cokelat dan hijau mendominasi. Dinda tidak sadar kalau dirinya sudah dipanggil karena terlalu fokus mengamati detail desain toko ini. Membuat, Indri, pemilik toko harus menyolek bahu perempuan bertopi hitam itu. "Mba Dinda?" Dinda terlonjak. Ia berbalik mendapati Indri tengah menampilkan wajah bersalah. "Maaf, kaget, ya. Nggak maksud ngagetin." Tangan Dinda bergerak membantah. "Enggak apa-apa, kok, Bu. Ini saya terlalu terpukau sama desain tokonya. Nyaman banget. Fotogenic lagi." Indri tersenyum simpul. "Terima kasih, ini saya yang desain. Nggak nyangka kalau sampe dipuji segitunya." Indri menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan. "Saya Indri. Pemilik toko kue ini." Dinda lantas menerima uluran tangan itu. "Saya Dinda." "Udah siap interviewnya? Di sana aja, yuk. Mumpung tokonya belum buka juga." Perempuan itu membuka topinya. "Baik, Bu," kata Dinda sopan lalu membuntuti calon atasannya. Ia menghirup napas dalam dan mengembuskannya. Semoga rencananya hari ini lancar. *** Dinda diterima bekerja di sana. Untuk sementara ia akan berada di bagian kasir. Ada satu orang lagi partnernya bernama Bunga. Bunga berumur dua tahun di atasnya. Namun, ia sama sekali tidak mau dipanggil dengan sapaan Mba, Kakak, atau sejenisnya. Katanya, dua tahun itu nggak jauh. Bunga tak seperti umumnya senior dalam dunia kerja. Ia sama sekali tidak memunculkan sikap senioritas. Bunga bahkan mengajarinya saat melayani pembeli. Beda dengan saat ia bekerja di minimarket. Di toko kue ini, Dinda harus memastikan lagi kalau kue yang disajikan higienis alias terhindar dari satu pun kotoran. Bunga juga mengajarkan Dinda untuk selalu sigap jika ada pembeli yang memanggilnya. Kata Indri, selama seminggu ini Dinda hanya akan belajar dalam hal seperti ini dulu. Bagaimana menghadapi pelanggan. "Awalnya kamu kerja di mana?" Kini mereka tengah menata kue yang barusan dibawa Bunga dari dapur. "Minimarket gitu." "Jangan pakai piring yang itu." Bunga memberikan piring lonjong. "Oh, oke," ucap Dinda. "Terus kalau Bunga sendiri kerja di sini udah berapa lama?" "Tahun ini udah tahun kedua. Masih baru juga kok. Makanya jangan jadikan aku senior karena aku pun masih tahap belajar." "Lumayan, udah lama, kok, itu mah," komentar Dinda. Kue terakhir sudah ditata di etalase. "Makasih, Din. Udah bantuin." "Sama-sama." Mata Dinda melirik ke live music. "Itu yang main di sana kita nyewa orang atau gimana?" Bunga ikut melihat sekilas ke arah pandang Dinda. "Tergantung. Kita bisa nyewain tempat dan alat musiknya kalau misal ada yang mau buat acara. Di hari minggu sama sabtu ada penampilan rutin dari keponakan Bu Indri." Dinda mengangguk paham. Suara pintu terbuka terdengar. Bunga menepuk bahu Dinda menyemangati. "Pelan-pelan aja. Aku bantu kalau ada kesulitan," bisik Bunga. Perempuan itu menghirup napas dan mengembuskannya. "Selamat datang! Mau pesan apa?" *** "Besok jum'at masuknya lebih pagi tiga puluh menit. Karena kita tutupnya maju tiga puluh menit juga. Jangan kesiangan loh," ingat Bunga. "Siap!" Dinda kembali menata kursi dan mengelap meja. Sedangkan Bunga tengah mengepel lantai. Jam sepuluh waktu tutup toko kue itu. Kalau dilihat dari betapa disiplin dan rapinya pekerjaan Bunga, Dinda bisa menebak bagaimana bekerja di toko ini tidak bisa seenaknya seperti di tempat kerjanya sebelumnya. Usai meyakinkan kondisi toko sudah bersih, Dinda dan Bunga baru pulang. Dinda menunggu angkutan umum di halte. Sambil menunggu ia memasang musik dan mendengarnya lewat headphone. Sudah empat hari Ardan menghilang. Bohong kalau Dinda sudah melupakannya begitu saja. Terkadang di waktu tertentu, cewek itu masih terus memikirkannya dan berusaha menebak di mana keberadaan Ardan. Ia pun tidak menghapus semua fotonya bersama Ardan. Dinda menyisakan satu foto. Ia hanya perlu satu alasan lagi untuk menghapus satu foto itu. Ia hanya perlu mendengar alasan Ardan menghilang karenanya. 'Dan, kalau emang kita udah selesai harusnya lo nggak ngasih kenangan itu.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD