Foto Berdua

1324 Words
Ban mobilnya berputar semakin pelan hingga berhenti dengan sempurna di depan pagar kecil bercat hitam itu. Rumah minimalis berkamar dua milik Dinda terlihat asri dari depan. Berbeda dengan rumahnya. Rumah perempuan itu banyak ditumbuhi berbagai tanaman di depannya. Seperti rumah Bunda, nilai Ardan. Lelaki itu menapaki jalan kecil dari pagar sampai teras. Beberapa tanaman di pot milik Dinda terlihat mirip dengan tanaman milik bundanya. Dinda berbeda dengan adiknya, Adel. Dari dulu, Dinda memang sudah memiliki sifat feminimnya. Pembawaannya yang dewasa dan anggun menjadi alasan utama Ardan tertarik pada perempuan itu. Ditambah lagi saat mereka berpacaran dulu, Dinda sesekali memperlihatkan sisi manjanya. Sisi yang baru ia lihat semenjak kenal perempuan itu. Tak disangka, justru sifat itu yang membuat Ardan tambah tertarik dan sampai sekarang cowok itu berharap bisa melihat sikap kekanak-kanakan dari perempuan itu. Ardan mengangkat satu tangan untuk mengetuk pintu rumah Dinda. Tangannya mengepal erat. Rasa ragu apakah ia harus melanjutkan rencana ini atau tidak kembali menyelimuti hati Ardan. Lelaki itu mengambil napas dan mengembuskannya. Berusaha menetralkan hatinya. Ketukan yang ke tiga kenop pintu itu berputar, tanda ada orang yang membukanya dari belakang. Napas Ardan tertahan saat sosok perempuan itu muncul. Rambutnya dikepang daun. Kardigan berwarna ivory yang membalut dress biru pastel bercorak kotak-kotak selutut. Serta flat shoes hitam yang dikenakan cewek itu terlihat simpel, tetapi ... cantik. "Ardan!" panggilan dari suara lembut milik Dinda menyentak Ardan. Cowok itu lantas mendongak. "Eung, iya?" Sial, ia tersadar sudah memperhatikan penampilan Dinda dari atas sampai bawah secara terang-terangan. "Ayo, jalan," ajak cowok itu lalu berbalik memunggungi Dinda. Cewek itu mengerutkan keningnya sambil menengok ke bawah. Apa ada yang salah dengan penampilannya? Tak ingin membuat Ardan menunggunya, Dinda buru mengunci pintu lalu melangkah cepat mengejar cowok itu. Dinda sudah berada di jok samping kemudi. Pintu sudah tertutup rapat. Ardan sudah duduk di sampingnya. Dinda rasa sudah tidak ada apa-apa lagi, tetapi kenapa Ardan belum menjalankan mobilnya? "Ada apa?" tanya Dinda. Ardan menunjuk sabuk pengaman. "Belum make." Mulut Dinda membulat. "Oh, maaf." Ia lantas menarik sabuk itu di sampingnya. "Udah," ucap Dinda. Ardan menginjak pedal rem mobilnya. Menyalakan mesin mobil lalu memindahkan tuasnya. "Lo bisa gue ajak sampe sore, 'kan?" Dinda mengangguk. "Bisa. Gue kan udah free." "Oke." *** Dinda membuka pintu mobil dan ketika itu ia terperangah karena pemandangan di depannya. Ardan membawanya ke Rainbow Garden Lembang. Warna-warni tanaman yang membentang sangat memanjakan matanya. Tanpa ia sadari, Dinda melangkah maju masuk ke dalamnya. Meninggalkan Ardan yang masih di dalam mobil. Dinda membentangkan tangannya. Memejamkan mata dan merasakan udara yang berembus di sekelilingnya. Senyumnya mengembang saat matanya kembali terbuka. Dinda berbalik lalu berjingkrak ke arah Ardan. "Dan, ayo foto!" Ia menarik tangan cowok itu. Memposisikan Ardan di tempatnya lalu berlari mendekati tulisan besar bertuliskan Rainbow Garden. "Jangan ngeblur, ya. Tulisannya jangan sampe nggak ke foto," pinta Dinda. Cewek itu sudah mengangkat kedua jarinya membentuk peace. Senyumnya melebar memperlihatkan sederet gigi putihnya. "Pake aba-aba!" Ardan mengangkat ponselnya. Memposisikan gawainya landskap agar tulisan di belakang Dinda terlihat. "Udah." "Ih, kok nggak pake aba-aba!" protes Dinda. Ardan berjalan santai ke arah Dinda. Raut kesal cewek itu tercetak. Tangannya menengadah. "Mana gue liat hasilnya. Awas kalo gue pas lagi merem." Ardan melihat telapak tangan Dinda dan mata perempuan itu bergantian. Alih-alih memberikan ponselnya, Ardan malah menggenggam tangan itu dan menariknya mendekat. "Kita harus foto berdua," kata Ardan. Ardan mengangkat ponselnya dan mengarahkan kamera ke arah mereka berdua. Mengabaikan Dinda yang membeku di tempatnya. Jantungnya berdegup cepat kala Ardan mendekatkan dirinya ke tubuh Dinda. Membuat lengan mereka bersentuhan. "Lo kok bengong sih," protes Ardan saat melihat hasil potretannya. "Ah-anu...," gugup Dinda. "Gue kaget. Belum siap udah lo cekrek aja," dalih Dinda. "Ya udah sekali lagi." Ardan kembali mengangkat ponselnya. Dengan susah, Dinda memaksa untuk menarik kedua sudut bibirnya. "Lo kaku banget senyumnya. Santai aja." "Mungkin lo bisa lepas ini dulu." Dinda mengangkat kedua tangan mereka yang masih bertaut. Netra Ardan membesar. "Oh, sorry." Sungguh, cowok itu tidak menyadari kalau tangan mereka masih saling menggenggam. "Kita cari spot lain aja," putus Ardan gugup. Cowok itu mengusap tengkuknya salah tingkah. Dinda melempar pandangannya ke arah lain. "Iya, udah." Tangan Ardan membentang mempersilakan jalan. "Silakan lo duluan jalan. Lo yang pilih spot yang cocok." Dinda bergerak kaku mengikuti perintah lelaki itu. Aroma pinus yang menyeruak ke rongga hidungnya tadi masih membekas. Aroma khas Ardan. Dinda membawa Ardan ke pohon yang atasnya tertata sangkar burung dengan berbagai warna pastel. "Di sini." Ardan berjalan mendekati cewek itu. Berdiri di samping Dinda untuk berfoto. "Ulang nggak?" tanya Ardan ke Dinda. "Ehmm, iya ulang. Ganti gaya." "Harusnya ada yang motoin," gumam Ardan, lalu matanya berlari mencari orang yang bisa ia mintai tolong. "Mba!" panggil Ardan. Cowok itu berlari kecil menghampiri perempuan berhijab yang ia panggil. "Bisa minta tolong fotoin saya sama pacar saya? Sebentar aja, Mba. Sekali foto aja." Perempuan itu mengangguk mengecil menerima permintaan tolong Ardan. "Makasih, Mba." Ardan memberikan ponselnya ketika perempuan itu sudah berdiri di depannya dan Dinda. "Saya kasih aba-aba, ya," kata si Mba. "Satu, dua, tiga!" Ardan meraih pinggang Dinda mendekat dan tersenyum. Lagi, lagi, Dinda merasa jantungnya memompa cepat. "Mau sekali lagi, Mas?" tawar Mba itu. Ardan lantas mengangguk cepat. "Boleh, Mba." Saat perempuan itu kembali memberikan aba-aba. Ardan melepas tangannya di pinggang Dinda. Menempatkan tangannya di bahu. Usai memfoto, Ardan mendekati perempuan itu untuk mengambil ponselnya. Saat itu juga Dinda mengembuskan napasnya. Dengan rakus ia menghirup udara sekitar, karena tanpa disadari sedari tadi ia menahan napas. "Din!" panggil Ardan santai tanpa mengetahui kalau cewek itu sedang susah payah mengontrol kecepatan jantungnya yang seperti tengah berlari maraton. "Ya?" cicit Dinda. Sejak kapan suaranya jadi mengecil? "Lo mau gue foto di situ?" "Ya?" Alisnya terangkat berusaha mencerna pertanyaan Ardan. "Gue fotoin lo. Mau?" "I-iya," jawab gugup Dinda. Cewek itu menempatkan satu tangannya di pinggang dan satunya lagi membentuk love. "Satu, dua, tiga! Dah. Gantian gue dong." Ha? Seorang Ardan mau difoto? Apa Dinda tidak salah dengar? Belum sempat Dinda meyakini pendengarannya, Ardan sudah menarik tangannya dan memberikan ponselnya. "Setelah ini kita pakai foto sendiri-sendiri ini untuk dijadiin foto profil whatsapp." *** Setelah puas berfoto. Ardan dan Dinda mengisi perutnya di restauran di dalam floating market. "Mau foto pakai hanbok nggak?" Dinda mengerutkan dahinya. "Jangan bilang lo bawa hanbok?" Mendengar pertanyaan Dinda dan ekspresi terkejut perempuan itu membuat tawa Ardan membuncah. "Mana ada. Ribet." Reflek Dinda mengembuskan napasnya. Ia sudah panik saja karena tidak menyangka kalau Ardan akan seniat itu kalau sampai membawa hanbok, pakaian adat korea. "Maksud gue kita nyewa di sini." "Oh? Disediain." Kepala Ardan mengangguk sebelum menyuap makanannya. "Baru tau, ya?" "Gue bahkan baru tau tempat wisata ini ada di Bandung." "Serius?" Ardan tidak menyangka kalau orang seperti Dinda tidak tahu Rainbow Garden Lembang. "Iya, gue main paling jauh ke Bogor. Itu pun sendiri," jelasnya. Mulut Ardan membulat. Kepalanya mengangguk paham. "Tapi setidaknya di sosmed banyak kali." "Sosmed yang gue buka nggak jauh dari kue sama masakan kali, Dan." Ardan menyadari satu hal. "Berarti—" Ia menggantung ucapannya. Matanya melirik cewek itu yang kini tengah menyeruput minumnya. "Ini pertama kalinya lo main jauh berdua?" Sontak Dinda tersedak. Ardan cepat memberikan tisu kepada Dinda. "Hati-hati dong minumnya." Sialan! Ardan benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. *** Ucapan Ardan ternyata benar. Cowok itu menyewa hanbok. Katanya ia penasaran karena sering melihat pakaian adat itu ketika tidak sengaja ikut menonton drama korea yang ditonton Adel. Dinda dibalut hanbok berwarna putih bercampur pink pastel menambah kesan anggun perempuan itu. Cantik. Puji Ardan dalam hati. Iya, hanya sebatas dalam hati. Ia tidak berani mengungkapkannya. "Kita kehabisan gaya, Din." Mata Dinda melirik ke arah lain, berpikir. Kemudian ia menyuruh Ardan untuk berdiri tegap lurus ke depan. "Satu, dua, tiga!" kata fotografer yang barusan Ardan sewa. "Hasil fotonya mau dikirim atau dicetak?" kata lelaki gondrong itu. "Dua-duanya, Mas," putus Ardan. "Kami ganti baju dulu, ya, Mas." Selesai berganti pakaian Ardan mengambil hasil cetak fotonya. Ia terpaku kala melihat hasil foto terakhir. Foto itu memperlihatkan dirinya yang tengah melihat lurus ke depan. Sedangkan Dinda menoleh ke samping untuk menatapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD