Perjanjian Gila

1028 Words
"Dinda minta maaf karena sering ngerepotin Mama." Hening. Tak terdengar apa pun dari seberang sana. Dinda menunduk menatap jari telunjuk dan jempolnya yang beradu. "Nanti Mama telepon lagi, ya, Din." Sambungan telepon mereka terputus. Teringat percakapannya dulu pada sang mama saat ia ingin mengambil cicilan rumah. "Aku mau mandiri, Ma. Dinda nggak mau bergantung lagi sama Mama. Jadi Dinda ambil cicilan rumah." "Kamu bisa bayarnya?" Ia mengangguk yakin. "Aku cari kerja." "Nanti kalau ada apa-apa, bilang Mama." *** Ia tidak bisa terus-terusan berleha-leha seperti ini. Dengan kaus panjang corak garis horizontal dan celana baggy pants berwarna moka, perempuan itu keluar rumah. Dinda menenteng totebagnya. Jika mamanya dan Ivan melihat penampilannya saat ini mereka tidak akan percaya kalau Dinda akan mencari pekerjaan yang sesuai jurusan. Karena, seperti kata mamanya, mencari pekerjaan sesuai passion di jaman sekarang sangat sulit. Jangan 'kan mencari pekerjaan sesuai jurusan, untuk mencari lowongan kerjanya sendiri saja sudah susah. Makanya itu, Dinda berencana mengelingi toko di pusat perbelanjaan untuk mencari pengumuman lowongan kerja yang biasa tertempel di pintu depan toko. Tangan satunya memegang es batangan. Satunya lagi totebag. Sampai saat ini, Dinda baru menemukan dua pengumuman lowongan kerja tadi. Namun, sayang kriterianya tidak sesuai. Yang pertama Dinda harus menjaga toko seharian dengan gaji perhari sesuai dengan pemasukan. Jadi, kalau di hari itu yang beli hanya satu, ya, tandanya dia akan mendapat fee dari hasil pembagian keuntungan dari satu pembeli itu. Dan kedua, Dinda diharuskan bekerja dari pagi sampai malam dengan gaji di bawah UMR. Semuanya tidak ada yang lebih enak dari toko Ardan atau setidaknya seperti bekerja di lelaki itu. Mencari pekerjaan memang sulit. Ia bahkan ingin membuka usaha sendiri. Lelah berkeliling pusat perbelanjaan, Dinda memutuskan untuk pulang. Sudah cukup untuk hari ini. Dinda akan melanjutkannya lagi besok. *** Berat rasanya menggeser tubuhnya untuk sekedar menyapu lantai. Dinda membiarkan serpihan keripik yang tengah di makan berserakan di lantai. Sambil menonton berita gosip di televisi, Dinda menyenderkan punggungnya. Tangan kanannya asyik mengambil keripik dan memakannya. Hari menunjukkan pukul satu siang, tetapi Dinda tak kunjung mandi. Rasa malas dalam diri cewek itu meningkat beberapa persen. Fokus Dinda pada televisi terenggut saat benda pipih di atas meja bergetar. Dinda mengambil ponselnya untuk melihat siapa pemanggilnya. Ardan Deg! Susah paya Dinda menelan salivanya. Pelan-pelan ia menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo." "Chat gue kenapa nggak dibales?" "Dendanya bakalan gue bayar kok. Tapi, kasih keringanan buat gue bisa? Nyicil nggak apa-apa, ya?" ujar Dinda melengoskan pembicaraan. "Sepuluh menit lagi gue ke rumah lo." *** Dinda jelas panik saat Ardan mengatakan itu. Ia yang belum mandi dan bersih-bersih rumah, dengan gerakan cepat menuntaskan semuanya. Ardan masih saja berbuat semaunya seperti ini. Sebuah ketukan konstan terdengar. Dinda membuka pintu kayu dan mendapati Ardan sudah berdiri di sana. Perempuan itu bergeser, mempersilakan masuk. "Din, gue butuh bantuan lo. Tapi gue nggak tau lo mau atau enggak." Ardan langsung ke inti saat keduanya sudah sama-sama duduk berhadapan. "Apa?" *** Anggap saja Dinda memang sudah kehilangan kewarasan. Menerima permintaan tolong Ardan meskipun tahu dia akan terluka nantinya. "Bantu gue ngabatalin perjodohan Bunda. Gue belum siap nikah." Dinda mengetuk-ngetukan dahinya ke atas meja. "Bodoh banget sih lo, Din." "Kalau lo mau. Denda tiga kali gaji lo lunas." Hanya karena uang Dinda mau menerima tawaran Ardan. Dinda membuka sekaleng alkohol dan meneguknya. Saat perjanjian berlangsung ia tidak berpikir resiko yang mungkin akan ia terima. "Kenapa lo terima sih, Din. Hahaha!" "Gimana cara gue nolong lo?" Dinda meneguk habis minuman kalengnya. Kemudian melempar badannya ke atas sofa di sampingnya. Dinda hanya bisa pasrah. Semoga akibat yang akan ia terima nantinya tidak terlalu menyakitinya. "Lo jadi pacar pura-pura gue." *** Bunyi alarm dari ponselnya meneriaki telinga Dinda. Perempuan itu tersentak bangun. Berusaha bangkit dari tidurnya, ia memegang kepalanya yang terasa berat. Padahal ia hanya minum dua kaleng alkohol. Perempuan itu memaksa bangun dan ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Dinda menuju dapur untuk membuat sarapan. Karena malas memasak ia hanya mengambil roti dan selai, serta s**u. "Oke gue mau." Memori itu kembali terngiang di kepalanya. Reflek Dinda mengetuk dahinya lagi. "Sialan! Nggak mungkin gue batalin lagi." Dengan rakus Dinda melahap semua rotinya dan meneguk hingga tandas susunya. Perempuan itu ke kamar dan mencari baju yang akan ia pakai hari ini. "Apa yang harus kita lakukan nantinya?" Setelah mendapatkan baju yang pas, Dinda mengambil handuk untuk ke kamar mandi. "Besok kita pergi berdua dulu. Foto berdua di luar untuk jadi bukti ke Bunda kalau selama ini kita backstreet." Usai mandi, Dinda segera bersiap dan berdandan. "Hai orang bodoh!" sapa Dinda kepada dirinya sendiri di pantulan cermin. "Oke." Mata perempuan itu melirik ponselnya. Jam tujuh pagi. Ardan akan sampai di rumahnya jam sembilan. Masih ada waktu dua jam untuk menunggu cowok itu. Tadinya Dinda pikir waktu dua jam itu akan ia pakai untuk memakai make up dan lain-lain. Namun, Dinda berpikir lagi mereka hanya pura-pura. Cukup malam itu terakhir dia merengek untuk balikan dengan Ardan. Sekarang ini, ia tak akan lagi seperti itu. Maka dari itu, Dinda urung menggunakan make up berlebihan. Ia tak ingin terlihat sangat senang dengan hubungan ini. Perempuan itu hanya mengambil bedak dan lipstick. "Besok gue ke rumah lo jam sembilan." *** Entah setan dari mana Ardan berani mengajak Dinda dalam perjanjian paling gila. Ardan memang tidak ingin dijodohkan Bunda dengan anak Tante Nia. Namun, bukan dengan mengajak Dinda berpura-pura menjadi pacarnya juga cara ia menghindari perjodohan itu. Anggap Ardan cowok paling tidak punya hati. Ia tahu Dinda menyukainya, dan sekarang ia malah mengajak cewek itu menjadi pacar pura-puranya. "Gue tau lo b**o, Dan. Tapi gue nggak nyangka lo sebego ini," maki Ardan pada dirinya sendiri di depan cermin. Yang Ardan pikirkan saat itu, Dinda adalah perempuan yang tepat untuk menjalani rencananya. Selain mempertimbangkan kalau Dinda akan menyetujui perjanjiannya. Mengetahui beberapa kali Bunda terlihat menyukai Dinda pun menjadi alasan Ardan kalau rencananya ini kemungkinan besar akan berhasil. Ardan melirik jam di ponselnya. Jam delapan pagi. Dengan langkah berat ia menuju kamar mandi. Hari ini ia mengajak Dinda pergi keluar untuk berfoto. Padahal cowok itu belum memiliki rencana akan ke mana. Setelah mandi, Ardan bersiap memakai baju. Terlintas ia kembali berpikir apa ia harus membatalkan perjanjiannya? Sial! Kelakuannya tadi malam sukses membuat Ardan di pagi hari ini menjadi stress.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD