Ditinggalkan

1035 Words
Setelah berdiam lama ia akhirnya memutuskan sesuatu. Dengan penuh keyakinan dalam dirinya, ia beranjak keluar untuk menuntaskan masalahnya yang belum usai. Semilir angin di malam hari tak membuat remaja perempuan yang kini tengah merapatkan jaketnya sambil menyalakan motor matic itu mengurungkan niatnya. Karena ia harus berani menuntaskan masalah ini saat ini juga. "Mau pergi ke mana, Del?" "Cuma makan doang kok." "Oh, nge-date ya?" "Nggak kok, cuma ... makan aja." Percakapan beberapa menit yang lalu sebelum Ardan datang. Setelah itu ia berniat untuk menemui Ardan, tanpa sepengetahuan Adel pastinya. Yang jelas, saat ini ia harus fokus mengikuti ke mana arah roda dua milik Ardan melaju. *** Setelah memarkirkan motornya di parkiran kini Adel dan Ardan berjalan beriringan memasuki salah satu restoran yang biasa dijadikan tempat tongkrongan anak-anak seusianya. Ardan menggenggam tangan Adel. "Dingin banget ya," ucap Ardan sambil tambah mengeratkan genggamannya ketika Adel hendak melepas genggaman itu. Sesampainya di dalam Ardan memilih bangku di pojok dekat jendela luar, menampilkan pemandangan lalu lalang kendaraan ibukota. Malam itu awalnya hanya diselimuti suasana canggung, apalagi saat makanan mereka belum juga datang. Adel yang memainkan tissue dan Ardan yang hanya menatap ke arah luar jendela. "Del," ucap Ardan memecahkan keheningan. Adel mengalihkan pandangannya menatap Ardan. "Apa?" "Gue—" Perkataan Ardan terpotong kala laki-laki itu melihat sesosok perempuan yang tidak pernah mau ia temui lagi. Perempuan itu melambaikan tangannya, berbicara tanpa suara dengan isyarat tangan, mengatakan "Aku.mau.bicara.sama.kamu." Ardan mengepalkan telapak tangannya, ia menghela napas pelan mencoba untuk mengontrol emosinya yang tiba-tiba muncul saat ini. "Apa, Dan?" Suara Adel kembali menyadarkan Ardan. Lidahnya tiba-tiba saja kelu, ia kembali melirik kepada perempuan itu. Ia masih di sana, menunggunya dengan penuh harapan. "Gue mau keluar dulu. Lo tunggu di sini, ya." Adel bingung, Ardan tampak aneh di matanya. Namun, ia tetap menganggukkan kepalanya ketika Ardan tanpa melihatnya terlebih dahulu sudah berlari ke arah pintu luar. Ada apa? Hanya itu pertanyaan yang ada dalam benak Adel saat ini. *** Dinda tersenyum tipis tatkala sosok laki-laki yang sudah sangat ia rindukan itu masih sudi mendatanginya. "Hai, Ardan." "Nggak usah basa-basi, ada apa lagi?" Ucapan singkat Ardan yang sangat menohoknya. Dinda hanya tersenyum miris. "Gue kangen sama lo." Ardan berdecih, "Omongan lo nggak penting." Ardan baru saja hendak melenggang pergi kalau saja tangannya itu tidak dicegah oleh Dinda. Dengan sigap Dinda menahan pergelangan tangan Ardan. "Maaf." Ardan bergeming. "Gue bener-bener minta maaf." Rahang cowok itu mengeras. "Gue pikir, dengan gue menghilang dari hadapan elo tanpa mengatakan apapun adalah cara terbaik untuk mendapatkan maaf lo." Tangannya mengepal keras tatkala mendengar penuturan dari mulut Dinda. "Gue pikir, dengan gue pergi dari hadapan lo, lo bisa ngelupain semuanya." Air mata Dinda luruh. "Ternyata, lo masih dendam sama gue, kan?" "Kalo itu yang lo mau," Ardan bergumam, pandangannya lurus tanpa melihat Dinda. "Lo nggak bisa pergi dari hadapan gue kalo gue nggak bisa maafin lo? Oke gue maafin." Ardan tersenyum miring. "Sekarang lo bisa pergi dan ya seperti omongan gue sebelumnya, gue harap kita nggak akan ketemu lagi," katanya dengan suara rendah nan menusuk. Dengan kasar Ardan melepas genggaman Dinda dari pergelangannya. Namun, ketika Dinda mengatakan satu hal. Ardan kembali terdiam, perasaannya kembali bergemuruh hingga tak dapat lagi ia bendung. "Gue kena karma, Dan ... gue suka sama lo." *** Adel melihat makanan yang ada di hadapannya. Sudah sejam lebih ia menunggu Ardan sejak cowo itu pamit kepadanya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan menghabiskan makanan itu sendiri. Rasanya sudah dingin, makanan itu sudah tak panas lagi. Ardan belum juga memperlihatkan keberadaannya hingga Adel mengusaikan makan malam itu. Adel kembali menunggu Ardan. Berharap cowo itu kembali. Namun, hingga sejam kemudian, hingga pada akhirnya Adel membayar semua pesanan itu. Pun hingga ia keluar dari restoran itu dikarenakan sudah akan tutup. Cowo itu tetap tidak kembali. Ada apa? Masih pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. *** Dengan perasaan yang bercampur aduk, Adel berjalan di trotoar pinggir jalan. Uangnya habis untuk membayar semua pesanan tadi. Adel kembali melirik ponselnya yang tak kunjung mendapatkan pesan atau panggilan dari orang yang saat ini sangat ia harapkan. Sebelum ia memutuskan untuk berjalan kaki, Adel sempat menunggu cowo itu di depan restauran yang sudah di tutup. Hingga setengah jam terlewati masih tidak ada tanda-tanda datangnya Ardan. Cewe itu berusaha tetap berpikir positif. Namun, hati kecilnya berkata lain. Hati kecilnya berkata lain ketika ia bertemu dengan tukang parkir restauran itu. "Lagi nunggu siapa, neng?" Adel mendongak. Melihat seragam satpam yang dipakai pria parubaya itu membuat Adel berani menjawab. "Temen saya, Pak. Yang tadi bareng sama saya." "Laki-laki bukan?" Alis pria itu terangkat. "Iya, Pak," jawab Adel semangat. "Cowo pake jaket merah, kaos biru, dan celana jeans. Bapak liat?" "Tadi dia bapak liat kayak ngobrol sama anak perempuan kayaknya seumuran. Terus pas perempuan itu pergi, dia pergi juga naik motornya," jelas satpam itu. "Bapak nggak salah liat, 'kan?" "Nggak kok, neng. Emg janjiannya pulang bareng?" Adel tidak menjawab hanya tersenyum tipis. "Udah malem, neng, mending pulang aja. Pamali anak perempuan pulang malem-malem," kata satpam itu lagi. Adel meng'iya'kan ucapan laki-laki paruh baya itu lalu berjalan pergi. Kalau memang ada urusan mendadak, mengapa Ardan tidak memberi tahukannya. Setidaknya jika Ardan menelponnya menjelaskan sesuatu Adel pasti akan memahaminya. Dia tidak keberatan jika harus membayar semuanya, dia tidak keberatan jika harus berjalan kaki seperti ini. Sungguh tidak keberatan, asalkan Ardan menghubunginya, menganggapnya ada. Adel memegang dadanya yang terasa sesak. Tiiittt! Adel tersentak, matanya terpejam. Motor itu berhasil melewatinya tanpa menyenggol Adel sama sekali. Embusan angin ketika motor yang hampir menabraknya itu lewat seketika membuat seluruh tubuh cewe itu lemas. Adel terduduk lemas di pinggir jalan, cairan bening itu berhasil lolos memburamkan seluruh penglihatan Adel. Adel memukul-mukul dadanya. "Kenapa harus sesak sih?! Aku udah capek!" Adel terisak. "Setidaknya biar kaki aku aja yang pegel ... yang sakit." Adel meremas dadanya yang kian membuatnya sesak. "Biar kaki aja, nggak usah ini!" Adel sesenggukan, mengapa sakit sekali. Suara gemuruh di awan seakan ikut memahami apa yang tengah ia rasakan. Tetes demi tetes air pun turun, membasahi wajah Adel, dan bergabung dengan air mata yang kian turun deras. Masih di trotoar, Adel terduduk menengadahkan wajahnya membiarkan air hujan di malam itu menghapus tiap tetes air mata di pipinya. Membiarkan air itu membasahi tubuhnya berharap rasa sakit itu turut larut dalam air mengalir hingga turun ke dasar bumi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD