Kebingungan Hati

1299 Words
Adel berjalan di lorong dengan bahu yang merosot ke bawah. Semua orang yang melihat pun akan tahu, jika gadis itu sedang tidak bersemangat. Sayup-sayup Adel mendengar suara ribut dari arah ujung lorong. "Cepat bersihkan!" "Pak! OMG, nggak mau ah, geli, jijik, euwh!" Bella mengibaskan tangan di depan hidungnya. "Oh kalau begitu kamu akan mendapat nilai nol dalam pelajaran saya." Rey menyedekapkan kedua tangannya di depan d**a. "Pak Rey, ya ampun, nggak usah lebay kenapa sih, saya juga yakin Bapak waktu masih sekolah suka nyontek kan? Itu manusiawi, Pak." "Oke berarti nol." Rey mengucapkan kalimat final itu dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana hitamnya sambil hendak berlalu. Melihat itu Bella panik. "E-eh, Pak!" "Sekarang pilih, ulangan ulang atau selesaikan hukuman ini." Bella membuang wajahnya ke arah lain dan pandangannya menangkap sosok yang menjadi rivalnya. "Ngapain lo ngeliatin gue?" ucapnya ketus yang ditujukan kepada Adel. "Bella! Gudang atau ulangan?" Bella kembali melihat Rey. "Ya, ulangan lah, ogah banget disuruh bersihin gudang. Udah kan urusannya? Saya mau pulang!" ucapnya sengit lantas pergi. Rey hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Adel kembali berjalan dan berhenti di depan Reynald yang sedang mengusap dahinya lelah. "Untung siswi bengal di angkatan kamu cuma dia doang," ujar Rey kepada Adel. "Hehe, kenapa emangnya Mas?" "Belum nikah bisa ko'id Mas Rey." Mendengar itu tawa Adel membuncah. Baru kali ini Adel melihat Rey tampak kerepotan. "Belum pulang?" Rey bertanya. "Baru mau ini." Rey mengangguk kecil. "Ya udah hati-hati pulangnya. Mas Rey masih harus ngerapihin nilai-nilai murid nih." "Semangat kerjanya!" Rey terkekeh lalu berbalik. Namun, langkahnya terhenti dengan sesosok gadis yang sepertinya sedang menguping di balik tembok. "Itu siapa?" Adel berbisik. Rey tersenyum tipis. "Udah nggak usah dipikirin, itu orang aneh. Pulang sana." Adel pun berjalan pulang, sedangkan Rey masih senantiasa berdiri di tempatnya. Ia bergeleng lalu tersenyum lagi. "Dasar anak tengil." *** Langkah kakinya terhenti ketika menemukan sebuah kunci motor di ujung sepatunya. Lantas ia berjongkok untuk mengambil kunci itu. Pasti sedang ada yang kehilangan kunci motor. Matanya bergerak menelusuri area parkir. Dan berhenti ketika melihat sosok itu. Dion. Sekali lagi, sekali lagi Dion berusaha mencari kuncinya yang entah berada di mana hingga ia mengobrak-abrik isi tasnya. "Arghh! Sial banget sih gue." Dion menyugar rambutnya ke belakang. Ketika ia membalikkan badan ia terkejut oleh kehadiran Adel. Begitu pun Adel, ia terkejut dengan sikap Dion yang terlihat ... kacau. "Ada masalah?" suara halus Adel menginterupsi Dion. "Kunci gue—" "Bukan itu," Adel menyela "aku tau ada hal lain yang membuat kamu jadi ... jadi resah. Apa karena aku? Aku salah?" "Nggak, Del—" "Aku minta maaf kalau sikap aku terkesan sok tau atau sangat ikut campur. Tapi—" Dengan gerakan cepat, lantas Dion langsung menarik pergelangan tangan Adel hingga wajah Adel pun menabrak d**a bidang Dion. Kini, Adel berada dalam dekapan laki-laki itu. "Ya, ada hal lain, tapi bukan itu. Lo nggak salah nggak perlu minta maaf." Dion mengeratkan dekapannya, dan menenggelamkan wajahnya di bahu Adel. "Nggak ada yang salah dalam hal ini. Ini cuma tentang bagaimana melepaskan sesuatu yang penting," lirih Dion. Terdapat kesedihan ketika Dion mengatakan hal itu Adel masih bergeming, otaknya masih sulit mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu Dion mulai melonggarkan dekapannya, sebelum akhirnya benar-benar melepaskan dekapan itu. Ia kembali mengambil pergelangan tangan Adel dan mengambil kunci yang berada genggaman perempuan itu. Bahkan Adel pun sampai lupa memberikannya. Dion menaikki motornya dan menyalakan motor itu lantas pergi. Kembali pergi meninggalkan Adel yang kini diselimuti kebingungan. Kebingungan akan perkataan terakhir Dion. *** Semenjak kejadian kemarin entah mengapa Adel merasa Dion seperti menjauhinya. Dion memang orang yang tak acuh dan semua orang tau itu. Namun, kali ini rasanya berbeda. Adel memaksakan senyumnya ketika berpapasan dengan Dion. Sedangkan Dion hanya memandang lurus ke depan. Ia menghindar. Adel mulai merasa resah. Saat ini ia sudah berkumpul dengan teman-temannya. Adel melirik dari ujung matanya, menyaksikan bagaimana tingkah laku keenam temannya itu. Kevin yang sedang menyoraki adik kelas perempuan, yang didukung oleh teman-temannya yang lain. Adel menghela napas lelah. Mungkin ini yang dinamakan manusia butuh sosialisasi. Dia butuh ... teman. "Woy, Del, diem aja lu," tegur Anton sontak seluruh orang di meja itu melihat ke arahnya. Alih-alih menjawab, Adel justru melihat mereka satu persatu. Ya, mereka adalah temannya saat ini. Namun, bukan teman yang saat ini ia butuhkan. Karena jika Adel menceritakan pada mereka ini, ia sangsi. "Lo lagi ada masalah, ya?" Kali ini Kevin bertanya "Kalo ada masalah ceritain jangan dipendem sendiri," ucapnya dengan nada yang lebih serius. Adel tersenyum kikuk. "Enggak ada apa-apa kok." Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kalo ada orang yang tiba-tiba ngejauhin kita padahal kita nggak ngerasa punya salah apa-apa. Menurut kalian gimana?" Adel bersuara lagi, ia ingin tahu apa jawaban teman-temannya ini. "Ya, cuekin aja," kata Kevin yang dibalas anggukan oleh temannya yang lain. "Udah? Gitu doang?" Sekali lagi mereka menganggukan kepala. Adel menghela napas, begini lah jika minta pendapat dengan lelaki. Andai saja diantara mereka ada yang memiliki gender yang sama dengannya mungkin akan lebih baik. "Lagian ngapain dipikirin, sih, selama nggak mengganggu lo." Ya, mereka berpendapat menggunakan logika bukan hati, itulah masalahnya. Dengan terpaksa Adel menarik ujung bibirnya. "Betul juga omongan kamu. Udah bel tuh, aku duluan ke kelas ya. Dah!" Dan Adel memutuskan pergi. Ia mempercepat langkah kakinya untuk keluar dari kantin. Ketika pintu kelasnya mulai terlihat, langkah kaki itu mulai diperlambat. "Lagian ngapain dipikirin, sih, selama nggak mengganggu lo." Mungkin kali ini ia akan mengikuti saran dari Kevin. Itu nggak mengganggu! Sama ... sekali. *** Ardan merapikan segala peralatan tulisnya ke dalam tas dengan tergesa-gesa. Kevin yang berada di sampingnya hanya melirik tanpa minat. Huh! Setelah semuanya beres, Ardan sudah mengambil ancang-ancang untuk segera berlari ketika ia mendengar suara bel berbunyi. Kring! Kring! Dan pada saat itu juga langkah kakinya turut meramaikan hebohnya suara bel pulang. Ia terus berlari sampai dirinya sudah berada di depan kelas Adel yang masih tertutup rapat itu. "Lama banget, sih!" gerutunya tepat sebelum pintu itu akhirnya terbuka seakan-akan mendengar gerutuan Ardan. Adel tampak terkejut ketika ia melihat Ardan yang sedang menampilkan senyum lebar kepadanya. "Kamu ngapain?" "Nunggu lo pulang," jawab Ardan santai. Tepatnya, sedang berusaha santai karena hatinya justru sedang berdegup kencang. Adel mengerutkan dahinya. "Ada apa?" Ardan menampilkan tampang berpikirnya cukup lama hingga membuat Adel jengah, lantas pergi yang kemudian ditahan oleh Ardan. "Gue mau ngajak lo nge-date." Ah, s**t! Ardan berharap dia bisa berbasa-basi terlebih dahulu, bukannya langsung to the point seperti itu. Adel bungkam, ekspresi terkejutnya tak bisa ia tutupi. Baru saja Adel hendak membuka mulutnya Ardan kembali berkata. "Nanti malem jam delapan gue jemput di rumah lo. Dah!" Ardan mencubit pipi Adel yang memasang wajah 'd***u' dengan mulut terbuka. Sebelum ia berbalik Ardan kembali berkata kepada Adel, "Mulutnya ditutup, nanti lidah gue bisa masuk." Lantas ia segera berlari menjauh. Seperti ada sengatan yang membuat ia kembali sadar, Adel segera menutup mulutnya bahkan ke dua telapak tangannya turut menutup mulut itu rapat-rapat. "ARDAN!" teriaknya di balik telapak tangannya itu. Di balik telapak tangan yang menutupinya itu terdapat semburat merah yang menghiasi pipinya. Beraninya Ardan bicara sefrontal itu! *** Malam ini dengan menggunakan celana jeans panjang dengan baju kaos lengan panjang bergambar menara eiffel serta sepatu conversenya, Adel menunggu kedatangan Ardan di depan rumah. "Kenapa nggak nunggu di dalem, Del?" tanya Bunda yang melihat Adel mondar mandir di teras. "Di sini aja, Bun." Perbincangan mereka terhenti ketika deru mesin motor milik Ardan terdengar. Ardan mematikan mesin motornya lantas turun untuk berpamitan dengan Bundanya Adel. "Bun, Adelnya dipinjem dulu ya." "Hati-hati dijalan ya, Dan. Awas! Adel jangan sampe lecet dan harus kamu kembalikan seperti semula tanpa ada kekurangan apapun," cerocos Bunda yang dibalas anggukan hormat dari Ardan. "Siap, bu bos!" Setelah mencium punggung tangan Bunda Adel dan Ardan segera pergi meninggalkan kesunyian malam di jalan itu. Dibalik tirai, kembali sepasang bola mata hitam menatap kepergian seseorang untuk sekian kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD