Yang Kedua

1122 Words
Lagi-lagi kebetulan. Ini untuk yang kedua kalinya, Dion menemukan cewe itu terduduk di trotoar. Jika sebelumnya alasan ia keluar malam-malam karena untuk membeli obat. Maka sekarang, apa alasannya lagi. Malam, perempuan, sendirian, hujan, sungguh kondisi yang tidak bisa ia tolelir. Dengan emosi yang hampir meledak Dion keluar dari mobilnya, tidak lupa ia menggunakan payung. Ketika ia sudah mendekati cewe itu dan hendak meluapkan segala emosinya seketika semuanya musnah. Semuanya musnah ketika ia melihat tubuh kurus Adel yang bergemetar dan isakan kecil lolos keluar dari mulutnya. Dion berjongkok di depan cewe itu, payung yang ia pakai melindungi dirinya dan Adel dari deras air hujan. "Masa kecil lo kurang bahagia, ya? Udah gede masih hujan-hujanan gini." Adel terdiam, perlahan ia menengadahkan wajahnya. "Coba kalo waktu kecil lo ketemu gue. Jangankan main ujan-ujanan...," ucap Dion dengan arah pandangnya yang tertuju ke atas langit kemudian ia layangkan pandangan itu ke Adel. "...ke comberan aja bakal gue ajakin." Adel masih terpaku pada sosok di depannya saat ini. Diraihnya tangan Adel untuk memegang gagang payung tersebut. Kemudian Dion melepas jaket yang ia kenakan dan disampirkannya ke tubuh Adel. Setelah itu ia kembali mengambil alih gagang payung yang pegang Adel. Ditarik lembut pergelangan tangan Adel agar bangkit berdiri. "Lo lagi nggak kabur dari rumah, 'kan?" Adel reflek menggeleng, Dion terkekeh karenanya. "Ayo gue anter pulang." Diremasnya tangan yang kedinginan itu, berharap dapat menyalurkan hawa hangat ke tubuh cewe itu. Genggamannya terlepas ketika Adel masuk ke dalam mobil. Dion menghela napas lelah. "Lo kenapa lagi sih, Del?" gumamnya lalu masuk ke dalam mobil. Sesekali Dion melirik ke sampingnya. Belum ada beberapa menit Adel sudah tertidur pulas di sana. Raut lelah menghiasi wajahnya, bekas air mata pun masih setia melekat bersamaan dengan raut lelah itu. Dion mencengkram kemudinya kencang. Satu nama yang terlintas dalam benaknya, jika itu benar maka kali ini ia tidak akan lagi menahannya. Tidak akan pernah lagi. Mobil itu sudah sampai di depan rumah Adel. Dion kembali memandangi wajah lelah cewe itu. Tangannya terangkat untuk merapikan anak rambut Adel lalu berlanjut untuk mengusap bekas air mata di pipinya itu. Kedua kelopak mata itu mengerjap, Dion menarik kembali tangannya. "Udah nyampe," kata Dion singkat. Adel melihat ke arah luar jendela, rumahnya sudah di depan mata. Adel berpikir, jika ia turun dan bundanya melihat kondisinya itu ia bingung menjelaskan apa. "Kenapa?" Adel berpaling ke arah cowo itu. "Makasih, ya." "Hm, sama-sama." "Yon, aku tau ini ngerepotin tapi ... kamu bisa bantu aku? Sekali aja." Dion menaikkan satu alisnya. "Apa?" Adel menceritakan masalah yang ia hadapi saat ini. Dimulai dari ia yang akan makan malam bersama Ardan sampai pada Ardan yang tidak kunjung datang sehingga ia harus pulang jalan kaki dan terjebak hujan. "Aku takut bunda marah," lirih Adel. "Lo takut bunda lo marah sama lo atau sama dia?" "Dua-duanya." "Ayo turun, baju basah lo harus buru-buru diganti," ucap Dion seraya turun dari mobil itu. Adel melongok, apakah Dion tidak mendengarkannya barusan? Adel menceritakan itu agar Dion dapat membantunya. Pintu mobil di sampinya terbuka. "Ayo turun, kok malah diem di sini?" Adel baru hendak membuka seatbelt-nya, tetapi Dion sudah terlebih dahulu membukanya. Jarak wajah mereka cukup dekat, Adel sempat menahan napas sejenak. Setelah terlepas Dion kembali menuntun Adel turun dan berjalan memasuki rumah cewe itu. Ketukan kedua, pintu kayu itu terbuka dengan Bunda yang berada di baliknya. "Assalamualaikum, Tan, saya Dion, ini ada titipan dari Ardan," ucap Dion berkelakar. "Tadi pas mereka pulang tiba-tiba ujan, terus motornya si Ardan mogok. Untung saya lewat jadi Ardan nitip anak gadis tante ke saya. Katanya suruh pulangin dengan selamat." "Oh," Bunda terkikik geli. "Emang dasar si Ardan, terus dianya di mana sekarang?" "Masih di sana kali, Tan, saya sih tugasnya cuma mulangin Adel doang." Bunda mengangguk lalu tersenyum hangat. "Makasih ya, Dion, kalo ketemu Ardan lagi bilangin juga makasih udah mau jagain Adel di luar sana." Tangan Dion mengepal. "Iya nanti kalo ketemu saya sampein." Dion melirik tajam ke arah Adel. "Kalo dia udah dengan baik ngejaga anak tante ini." Adel tahu bahasa dan nada itu, ia tambah menundukan kepala. "Kalo gitu saya permisi dulu, ya, Tan. Oh, iya tadi saya liat Adel udah lama keujanannya takut sakit harus buru-buru ganti baju." "Oh, iya-iya, makasih sekali lagi, ya." Dion mengangguk sekilas lalu pamit pergi dari hadapan Adel. Keluar dari pekarangan rumah cewe itu memasuki kembali mobilnya. "Nggak akan pernah lagi," gumamnya sebelum ia menyalakan mesin mobil itu. *** Pagi ini, Adel merasa tubuhnya kurang sehat. Badannya terasa pegal-pegal, berulang kali Adel memijat lehernya atau meregangkan tubuhnya. Mungkin efek hujan-hujanan tadi malam. Bunda sudah melarang putrinya itu untuk tidak berangkat sekolah, tetapi Adel tetaplah Adel yang akan sangat keras kepala jika sudah berkaitan dengan sekolah. Baru saja ia hendak melepas standar sepedanya jikalau suara mesin motor yang berhenti di depan rumahnya tidak ada. Perhatiannya teralihkan, membuat Adel harus melihat siapa si empunya mesin motor itu. Adel sangat terkejut ketika ia melihat si pengendara yang sudah berdiri tepat di depan gerbangnya yang sudah ia buka. "Dion?" "Bareng?" Satu kata. Cukup satu kata tanpa basa-basi. Cukup satu kata tanpa alasan seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Adel tergugu, ia mengangguk kaku ketika mata tajam Dion menatap tepat di bola mata cokelat Adel. Sejurus kemudian, ia sudah berada di boncengan motor yang sama seperti punya Ardan itu lalu dengan penuh keyakinan yang sudah laki-laki itu bangun sejak semalam ia melajukan motornya menuju sekolah. *** SMA NUSA BANGSA, lagi-lagi dikejutkan dengan seorang yang tidak pernah terlihat menggandeng perempuan. Dua laki-laki yang diketahui tidak pernah berurusan dengan namanya percintaan ala-ala SMA. Dua laki-laki yang populer di sekolah dengan citra yang berbeda. Dan lagi-lagi dua laki-laki yang dilihat pertama kali dekat dengan perempuan yang sama. Mantan ketua OSIS dan mantan biang keonaran. Jika, sebelumnya mereka harus terkejut dengan Ardan yang mau berdekatan dengan cewe itu. Maka sekarang pun sama, mereka yang melihat akan terkejut dengan Dion yang mau memboncengi seorang perempuan. "Itu yang deket sama Ardan bukan, sih?" "Dia udah nggak sama Ardan lagi, emang?" "Gila, deh! Tuh cewe makin cakep yang suka makin banyak." Desas desus itu makin terdengar dan mulai terhenti ketika Dion memberhentikan langkahnya saat di lorong itu. Dion mengembuskan napasnya kasar lalu melirik tajam orang-orang yang menggosipinya tadi. Jika Ardan menanggapi ocehan itu dengan bersikap cuek. Beda halnya dengan Dion, ia tidak akan tinggal diam jika zona nyamannya terganggu. Sifat dasar dari seorang Dion Ardiansyah. "Kalo ngegosip tuh yang cerdas dikit, jangan sampe ketauan orangnya. Kuping gue gatel dengernya gitu juga tangan gue," ucapnya tajam dengan nada mengancam. Nyatanya, tak perlu kekerasan yang dilakukan Dion. Tak perlu mengeluarkan kekuatan fisik, perkataan dan aura yang dimiliki Dion saja sudah cukup membuat semua orang tidak mampu berkutik. Mereka tidak mau mengambil resiko apa yang akan terjadi jika Dion sudah menggunakan fisik. Aura seorang Dion sudah cukup menunjukan siapa dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD