Datang dan Pergi

1008 Words
Mengingat masa-masa SMP sejujurnya sangat memalukan. Dinda bahkan sampai geleng-geleng kepala untuk mengenyahkan memori yang berputar di benaknya. "Bucin banget, masih bocah udah mikirin nikah nikah!" gerutu Dinda sambil memukul kepalanya. Lalu matanya kembali fokus pada buku tahunan sekolahnya. Ia dan Ardan satu kelas saat kelas sembilan. Dulu Ardan anak yang tidak aktif dalam ekskul dan kegiatan organisasi apa pun. Nilainya dalam pelajaran pun pas-pasan. Namun, cowok itu tidak pernah melakukan pelanggaran sekolah. Walaupun masa SMA cowok itu berubah 180 derajat. Setidaknya Ardan pernah menjadi good boy pada masanya. Dinda dulu lumayan aktif dalam organisasi sekolah. Dia menjadi anggota osis sie kesenian. Mengurus beberapa acara pentas seni dan kemajuan ekstrakulikuler yang berkaitan dengan seni. Anak yang cukup populer, dan pastinya banyak diincar oleh siswa lain. Saat itu Ardan merasa dirinya sangat beruntung bisa berpacaran dengan cewek populer dan banyak disukai cowok-cowok. Namun, nyatanya prestasi Dinda saat SMP tidak menjadikan jalan kehidupannya lurus tanpa hambatan. Seperti saat ini ia malah menjadi pegawai kasir. Dinda yakin temen-temen SMP-nya pasti akan menggibahinya kalau tahu Dinda tidak bisa sesukses anak yang lain. *** Ardan dan Dinda SMP "Aku masih rapat, kamu pulang duluan aja." Dinda membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya. "Nanti aku sampe sore," kata Dinda sambil melirik jam tangannya. "Nggak, ah, aku tungguin aja." Ardan mendrible bola basket di tangannya dan membawa bola itu ke kursi panjang di depan ruang OSIS. Dinda yakin bahwa cowok itu sudah mempunyai janji dengan Dion untuk bermain basket. Cewek itu merasa nggak enak hati jadinya. Sejujurnya, Dinda risih kalau Ardan sudah menunjukan sikap bucin akutnya seperti ini. "Din! Ayo lanjut lagi!" Itu suara Fani, wakil ketua OSIS. Dinda melepas pandangannya dari Ardan. "Oh, iya, Fan!" Sebelum benar-benar masuk, Dinda melihat Ardan sekilas, kini cowok itu tengah memutar bola basket di jari telunjuknya. Dinda mengembuskan napas pelan, Ardan tidak akan kalah dengan rasa bosannya. Alias, tidak apa bosan asal bucin terus jalan. Itulah slogan baru Ardan. Waktu berjalan sangat cepat, tak terasa sudah dua jam mereka rapat. Dinda melepas kacamatanya dan menaruhnya di tas. "Din, itu cowok lo masih nungguin?" Entah sejak kapan Revan sudah duduk di samping Dinda. Cewek itu menengok sebentar. "Iya, setia kan dia," kata Dinda sambil menaik turunkan alisnya. Revan berdecih. "Siapa juga yang mau nyia-nyiain lo." Dinda mendelik, "Banyak kali yang cakep dari gue." "Yang mau kan cuma lo." Reflek mata Dinda berputar malas. Ia jadi curiga bahwa Revan adalah salah satu admin akun gosip yang ada di sosmed. "Kalo yang mau sama lo ada nggak?" tanya Dinda balik. Heran sama cowok satu ini, bisanya merendahkan orang aja. Iya, sih, dia adalah salah satu murid berprestasi, tim sepakbolanya kemarin habis mendapatkan medali emas. Namun, Dinda yakin kalau Ardan mau sedikit aktif dan merubah penampilannya maka Revan akan jauh di bawah Ardan. "Gue balik dulu, ya. Lo jangan kebanyakan nyemilin roiko ya," ujar Dinda sambil menepuk bahu Revan sebelum beranjak pergi. Revan di tempat duduknya hanya menggaruk kepala dan mengerutkan kening. "Perasaan gue nggak suka nyemilin roiko." Gumaman Revan masih terdengar oleh Dinda. Cewek itu bergeleng tak percaya. Yang seperti itu suka julidin orang? "Orang aneh!" "Siapa aneh?" sahut Ardan. Dinda terlonjak, Ardan sedang santai bersandar di tembok luar ruang OSIS. "Udah muterin lapangan berapa puluh kali?" Ardan mengangkat bahu singkat. "Banyak. Siapa yang aneh?" Ardan kembali bertanya. Dinda bergeleng lalu mengambil tangan Ardan dan menyeret cowok itu untuk berjalan. "Nggak penting, lagi ngomongin admin akun gosip aneh banget nggak ada kerjaan." Ardan manggut-manggut sok paham. "Iya nggak ada kerjaan, masa julidin artis terus." Dinda tertawa renyah. "Kok ketawa?" tanya Ardan lagi. "Nggak apa-apa. Kamu sotoy banget." "Lah emang bener kan? Adminnya nggak ada kerjaan gosipin artis." "Iyaaa!" Ardan memakai helmnya saat mereka sudah diparkiran. Memberikan satu helm kepada Dinda lalu menyalakan mesin motornya. "Kita mau makan apa?" "Cari bubur, yuk!" Leher Ardan lantas berputar. "Bubur sore-sore?" Dinda mengangguk semangat. "Ada tau, di pertigaan yang di depan." "Ck, tau. Maksudnya masa sore-sore makan bubur." "Emangnya lambung kita nggak nerima bubur kalau udah sore?" tanya Dinda balik lalu memegang bahu Ardan untuk naik ke motornya. "Nerima, sih," gumam Ardan. Dinda tahu Ardan tidak mau. Namun, karena Ardan sedang bucin pada akhirnya cowok itu akan menuruti permintaannya. Ardan kembali menggerutu ketika ia tidak menemukan lahan untuk parkir. Ia harus maju lagi untuk memarkirkannya di supermarket yang jaraknya sekitar seratus meter. "Motornya di sana," tunjuk Ardan. "Nanti kamu jalan jauh ke sana nggak apa-apa?" Dinda bergeleng. "Nggak apa-apa. Itu aku udah pesenin bubur. Punya kamu nggak pake kacang," tutur Dinda. Ardan menoleh ke abang tukang bubur. Lalu melirik ke sampingnya terdapat penjual nasi goreng. "Kamu mau nasgor?" tanya Dinda mengikuti arah pandangan Ardan. Ardan bergeleng. "Nggak usah, kamu udah pesen bubur." Dinda mengangguk sekilas lalu mengambil kursi plastik untuk duduk. Ardan menoleh ke arah penjual nasi goreng bukan karena menginginkan itu. Ia tertarik melihat seorang anak cewe sepantarannya yang tengah duduk bareng dengan ibunya. Melihat itu Ardan jadi kepikiran tentang ibu dan adiknya. Lalu ia menjadi membayangkan kalau keluarganya masih lengkap. Ardan tersenyum miring, impian yang tidak mungkin terjadi. Lalu pandangan Ardan kembali ke arah Dinda. Saat ini ia memiliki orang yang disayang lagi yaitu cewek di depannya. Di umurnya yang masih usia SMP, Ardan sudah memikirkan untuk mempertahankan Dinda untuk tidak membiarkan cewek itu meninggalkannya. Bahkan ia melakukan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan. Memaksakan diri menyukai hal yang tidak ia suka. Dan masih banyak lagi hal-hal egois yang ia hilangkan. Semua itu hanya karena ia tidak ingin merasakan lagi apa itu kehilangan. Apa itu ditinggalkan. Ardan SMP, memang belum memahami bahwa setiap orang akan datang dan pergi. Bahwa ia hanya menjadi tempat persinggahan. Yang harus dilakukan bukanlah menahan orang agar menetap, ia hanya perlu menjadi tempat persinggahan yang nyaman sehingga orang tidak akan singgah dalam waktu yang singkat. "Din." Dinda yang tengah asyik dengan ponselnya mendongak. "Ya?" "Dulu ada dua orang cewek yang ninggalin aku." Dinda tercenung, tidak paham dengan maksud ucapan Ardan. "Kamu jangan kayak gitu juga ya?" Dinda menelan salivanya. Matanya menelusuri ke dalam netra milik Ardan. Tanpa mau menjawabnya. Dinda hanya termangu. Ia tidak yakin untuk menjawab iya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD