Perbedaan

1015 Words
Ah, bahkan u*****n anak beruk aja jadi terdengar terlalu bagus untuk Kevin. Ardan beranjak dari kursinya. Mengintip dari celah pintu apa yang siluman buaya itu lakukan. Ardan berdecak, "Ngapain juga gue ngintip." Menyadari kebodohannya, Ardan kembali ke kursinya. Ia, tidak boleh kehilangan fokus lagi *** Jam menunjukan pukul setengah sepuluh. Toko tutup jam sepuluh. Dinda sudah merapikan meja kasirnya. Mengumpulkan kertas tak terpakai ke dalam kantong sampah dan membuangnya ke tempat sampah di depan toko. Kevin yang berada di dalam ruangan Ardan mengintip aktifitas yang dilakukan Dinda melalui jendela ruangan Ardan. "Dia ke sini nggak bawa motor, ya, gue liat di luar cuman ada mobil gue sama motor lo doang." Ardan yang mendengar ocehan Kevin hanya memutar malas matanya. Setelah mengirim laporan hari ini kepada ayahnya, Ardan lantas mematikan laptopnya. Ia membuka ponselnya untuk melihat deretan pekerjaan yang akan ia lakukan besok. Pintu ruangannya berbunyi. Membuat Ardan lantas mendongak. "Gue izin pulang, ya, Ar." Ardan mengangguk singkat. "Terima kasih buat hari ini," ucap Ardan singkat. Setidaknya rencana Ardan menjaga jarak dengan Dinda tidak akan membuat dia menjadi tidak sopan. Dinda membalas ucapan terima kasih Ardan lalu menghilang di balik pintu. "Lo nggak ada niat nganterin dia pulang?" Kevin tahu-tahu saja sudah ada di sampingnya. Ardan sedikit terperanjat karena wajah sahabatnya itu hampir menempel di pipinya. "Sableng lo ya, orang kalo liat mikirnya yang aneh-aneh begok!" "Gue yang nganter, ya?" Kemudian cowok itu berlalu tanpa mendengar balasan dari Ardan. Sepertinya yang Kevin berikan bukan pertanyaan melainkan pernyataan. *** Konyol, saat seperti ini Dinda menginginkan kisah yang ada di novel akan ia alami. Membayangkan Ardan berlari ke luar dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Cewek itu terkekeh, ia memukul dahinya pelan. Tampaknya otaknya sudah ruwet akibat hari pertama bekerja yang sangat menguras tenaga. "Dinda!" Dinda yang tengah memukul kening menjadi terhenti. Ia menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang seharian ini menolongnya tengah melambaikan tangan. "Ya?" "Gue anter lo pulang, ya," kata Kevin sambil menunjukan kunci mobilnya. Dinda lantas menggeleng. "Nggak usah!" tolaknya. "Gue naik ojek aja." "Udah malem lagi, mending gue anter aja. Itung-itung irit ongkos. Lagian lo nggak takut dijahatin sama abang ojek. Kan nggak dikenal." Dinda menyengir kuda. "Satu mobil sama buaya juga bisa ngegigit kan?" "Hahaha! Buaya ini udah jinak kok," ujar Kevin sembari membuka pintu mobilnya. Dinda tidak bisa terus menolak. Padahal dalam hatinya ia merasa berat. "Thanks." Untuk itu dengan amat terpaksa perempuan itu mengikuti keinginan Kevin. Takdir emang lucu, yang Dinda harapkan Ardan yang datang justru orang lain. Sesampainya di rumah, Dinda langsung membersihkan diri. Saat di kamar ia tergerak untuk mengambil buku tahunan sekolahnya saat SMP. *** Lampu rumahnya belum menyala. Ardan sudah tahu itu. Kevin mana mungkin berpikir sampai ke situ. Ardan memang sudah tinggal sendiri sejak setahun yang lalu. Rumah ini masih cicilan, Ardan belum mampu membeli cash, pun ia tidak mau memintanya kepada Papa. Kemandirian Adel di Paris membuatnya terpacu untuk seperti itu juga. Ia meraba dinding untuk menyalakan lampu rumahnya. "Ck, rumah gue diberantakin." Dengan terpaksa ia memungut sampah yang berserakan di ruang tamunya. Mengelap noda kecap dan serbuk gula yang kini sudah dikerumuni semut. Ia yang jarang memegang sapu, pada malam itu terpaksa harus menyapu. Ardan menghela napas lelah kala baju dan handuk bertebaran di atas kasurnya. "Dann!" sebuah panggilan terdengar di susul dengan suara kenop pintu terbuka. Suara siapa lagi kalau bukan. "Kevin Beruk lo apain rumah gua!" desis Ardan. Kevin terkekeh. "Gue beli sate nih, jadi lo nggak usah masak." Ardan berdecih, seperti inilah sahabatnya itu. Menyogoknya dengan makanan. Saat Ardan usai merapikan kamarnya, ia membawa handuknya dan berlalu ke kamar mandi. Dibiarkannya Kevin yang tengah menata meja makan. Dari mulai piring, sendok, nasi, hingga gelas minum. Sehabis Ardan mandi ia turut duduk di meja makan, menyantap makanan yang dibawa oleh Kevin. "Anton sama Galang mau ke sini katanya," ucap Kevin sembari membaca ruang obrolan grupnya. Ardan melirik sebentar lalu berdehem. Dapat dipastikan bahwa bersih-bersih singkatnya tadi akan sia-sia jika sahabat-sahabatnya itu berkumpul. "Omong-omong, Dan. Lo masih suka sama mantan lo itu?" Ardan cepat menoleh. "Sama Dinda," kata Kevin lagi. "Nggak," jawab Ardan singkat. "Ada kepikiran mau balikan?" "Suka aja enggak gimana mau balikan," kata Ardan lagi sebelum ia meneguk minumnya. Kevin menelisik raut wajah Ardan. Lalu ia mengangguk. "Berarti nggak masalah kalau gue deketin dia?" Pertanyaan Kevin sudah bisa Ardan tebak. "Nggak," jawab Ardan cepat. "Sip!" kata Kevin seraya berdiri dan menepuk bahu Ardan. Ia berlalu menuju kamar mandi sambil bersiul ringan. Ardan diam. Bohong kalau ia tidak keberatan. Sejujurnya dia sangat keberatan. Namun, Ardan tidak tahu pasti rasa keberatan ini karena semata-mata ia tidak ingin ada kecanggungan karena status mantan pacarnya dekat dengan sahabatnya, atau ada alasan lain. Untuk itu setelah merapikan piring dan gelas kotornya ke westafel. Ardan memutuskan duduk di teras rumahnya sambil memantik sebatang rokok. Menikmati nikotin setidaknya dapat menenangkan sedikit kegelisahan dalam dirinya *** Ardan dan Dinda SMP "Kamu mau ke mana?" tanya Ardan. "Latihan nari," jawab Dinda sambil memakai sepatunya. Saat ini mereka tengah berada di lapangan basket. "Aku anter, ya." Ardan mengikuti dari belakang. Ia mengelap keringatnya dengan handuk kecil dan meneguk minumnya. "Nggak usah, kamu kan masih mau main sama Dion." Dilempar asal botol minum di tangannya lalu cowok itu meraih jaket dan kunci motornya. "Main bisa nanti," kata Ardan sambil tersenyum. Dinda mengangguk kecil dan menyejajarkan langkahnya dengan Ardan. "Dan, kalo misal kita udah gede terus kerja di perusahaan yang sama. Kamu bakalan anter jemput aku, nggak?" tanya Dinda. "Ini pertanyaan asal aja kok." Ardan terkekeh. "Mungkin." "Kok mungkin?" "Kalau dibayar?" Melihat ekspresi bingung Dinda membuat Ardan tergelak. "Bercanda. Iyalah, tanpa harus kamu minta." Dinda tersenyum. "Terus kalo misal di tempat kerja ada yang suka sama aku, kamu bakal gimana?" Saa ini mereka sudah berada di parkiran. Ardan memasang helmnya dan memberikan helm kecil kepada Dinda. "Aku bakalan bilang ke orang itu kalau kamu punya aku." Dinda reflek menepuk bahu Ardan. "Geli ih! Baru juga pacaran!" "Harus nikah dulu baru boleh bilang 'punya aku' ya?" "Iyalah." Ardan mengangguk paham. "Ya udah abis lulus SMA langsung nikah ya. Jadi nanti pas kuliah sama kerja nggak boleh ada yang deketin kamu karena kamu punya aku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD