Khawatir

1010 Words
Jam setengah tujuh pagi Ardan sudah jalan dari rumahnya. Perjalanan rumah Ardan ke toko memakan waktu tiga puluh menit. Ia tidak akan mau terlambat lagi seperti kemarin. Cowok itu bertekad untuk bersikap profesional sebagai atasan Dinda. Dengan begitu ia tidak akan memperlihatkan sisi jeleknya lagi di hadapan cewek itu. Hari ini Ardan mengendarai roda empatnya. Luas area parkir di tokonya kebetulan cukup untuk tiga mobil. Di teras tokonya terdapat tiga meja kecil yang masing-masing meja di taruh dua kursi saling berhadapan. Keluar dari mobilnya, Ardan melihat punggung cewek yang ia kenali tengah duduk sambil menyeruput yogurt. Padahal Ardan merasa sudah datang pagi-pagi, tapi kenapa cewek itu lebih dulu di sini. "Eh, Ardan." Dinda yang menyadari kedatangan Ardan lantas berdiri. "Gue nggak engeh lo naik mobil," ujar Dinda basa-basi. Ardan hanya berdeham. Tidak ada niatan untuk membalas ucapan Dinda. Dalam hati Dinda menyemangati dirinya, Nggak pa-pa dicuekin. Pintu toko sudah terbuka. Ia turut masuk ke dalam kala Ardan membukanya. Tanpa mau menoleh ke arah Dinda, Ardan langsung masuk ke dalam ruangannya. Dinda melihat punggung Ardan yang menghilang dengan nelangsa. Dia bukanlah lelaki yang Dinda kenal dulu. Keadaannya benar-benar sudah berubah. Padahal Dinda masih berharap kalau mereka bisa bersama lagi. "Aish!" Ia menepuk pelan pipinya. "Napa jadi mellow gini, sih. Plis deh masih aja galau-galau." Dinda menepuk daddanya. "Yang kuat, yang kuat! Lemah banget lo!" gumamnya. Sedangkan Ardan, di balik mejanya tengah menelungkupkan wajah di atas meja. Mengatur ritme jantungnya yang tak beraturan. "Gue nggak boleh goyah," tekad Ardan sambil mengepalkan tangannya. *** Dinda tak henti melirik pintu ruang kerja Ardan yang tak kunjung terbuka. Rasa penasaran menyelimutinya. Apa yang Ardan lakukan di dalam. Apa cowok itu tertidur. Atau dia lagi chattan sama cewek lain? Apa Ardan udah punya pacar? Berbagai pertanyaan menyerang benak Dinda secara keroyokan. Tring Suara pintu toko terbuka. "Selamat berbelanja!" ucap Dinda ramah. Tak lupa dengan senyum lebar yang ia pasang sepaket dengan salamnya. Pria bertubuh gempal dengan kumis tebal itu berjalan mengelilingi rak. Toko Ardan di pasang cctv, jadi Dinda tidak perlu memantau pria itu dari dekat. Monitor cctv terdapat di ruangan Ardan. Pria itu berjalan menuju kasir dengan membawa minuman dingin. "Ada lagi, Pak?" kata Dinda menawari. Tangannya mengulur untuk mengambil botol minum untuk diperiksa harganya. Saat tangan Dinda ingin meraih botol itu, tangan si Bapak menyentuh punggung tangan Dinda. Perempuan itu reflek menarik tangannya sendiri. "Ih, kagetan nih mbanya," ucap bapak itu menggoda. Dinda lantas beringsut mundur. "Loh ini berapa? Nggak dicek?" Dinda kembali berusaha fokus ke layar komputer. "Lima ribu, Pak." Ia memasukkan botol itu ke dalam kantung plastik dan menyodorkannya kembali ke pria di depannya. "Nih," kata si bapak. Kening Dinda mengerut. Tak paham, karena bapak itu tidak memberikan uangnya. "Ini ambil di saku baju saya." Demi tuhan rasa ingin mencekik lelaki paruh baya di hadapannya membuncah. Tangan Dinda mengepal keras. "Maaf, Pak, uangnya bisa ditaruh di meja," kata Dinda berusaha tetap sopan. "Kalau saya nggak mau? Ini ambil di sini. Ada lima puluh ribu. Nggak perlu kembalian. Kembaliannya buat kamu," ujar Bapak sambil mengerlingkan mata. Isi perut Dinda seketika terasa ingin keluar. "Maaf, Pak. Uangnya bisa— woa!" Dinda menutup mulutnya terkejut. "Thanks kembaliannya!" Entah sejak kapan Ardan sudah berada di samping pria itu. Mengambil uang lima puluh ribu di saku si bapak dengan kasar. Lalu menampilkan senyum smirk. "Sekarang Bapak bisa pergi dari toko ini dan jangan pernah kembali lagi." Tangan Ardan menunjuk pintu keluar. "Siapa kamu?!" Si Bapak melotot tak terima atas perlakuan kasar Ardan. "Saya pemilik toko ini. Oh, iya toko kami dilengkapi kamera cctv saya bisa aja ngelaporin Anda. Atau," Ardan membuang wajahnya ke arah lain, "catcalling doang susah di kasih sanksi." gumamnya. "Gue bakal kasih lo sanksi sosial," kata Ardan menatap tajam bapak itu. Bahasa sopannya sudah hilang entah ke mana. "Gue share vidio ini ke yutub, ke ig, ke sss, bahkan gue tag akun sss lo. Biar anak sama istri lo bahkan tetangga-tetangga lo semuanya tau sikap brengsekk lo ini." Ardan tertawa meledek. "Wow, jadi viral nggak tuh. Terkenal dengan waktu beberapa detik. Pengen kan?" Si Bapak yang sudah tak tahu ingin membalas apa serta merasa takut omongan Ardan menjadi kenyataan, tanpa babibu langsung keluar dari toko Ardan. Ardan bahkan bisa melihat bagaimana paniknya si bapak karena kelupaan dengan motornya sendiri sampai-sampai dia balik lagi untuk mengambil motor yang masih menangkring cantik di parkiran toko. Dinda melihat itu hanya terkikik. "Sampe kelupaan sama motornya gitu. Berhasil juga gertakan kamu, Dan." "Itu bukan gertakan." Ucapan Ardan sontak membuat Dinda termangu. "Gue emang bakalan ngeshare vidio itu ke sosial media, pastinya ngeblurin muka lo. Kalo sampe tu buaya ubanan dateng lagi ke sini." Dinda menunduk. "Dan lo—" Ardan menoleh ke arah Dinda. "Sopannya sekali aja. Kalo dia masih keterlaluan berani untuk ngelawan. Karena nggak selamanya pertolongan itu ada. Lo harus bisa lindungin diri lo sendiri." Setelah mengucapkan itu, Ardan kembali masuk ke dalam ruangannya. Dinda mengerjap pelan. Tubuhnya terasa lemas. Ardan benar, seharusnya ia berani untuk bersikap tegas. Jujur, Dinda merasa takut, tapi hal yang membuat dia tidak bisa melawan bukan semata-mata karena takut saja. Sisi kecil hatinya berharap pertolongan dari cowok itu. Dinda meringis, Ardan seperti mengetahui isi hatinya. "Karena nggak selamanya pertolongan itu ada." Kalimat itu seperti menegaskan bahwa dirinya dan Ardan tidak akan selalu bersama. Ardan sudah tidak ada untuknya. Dinda tertawa garing. Ia mengambil botol minum dan meneguknya. "Iya, Dan, gue sadar diri kok," gumamnya sambil menyeka sisa air di bibirnya. *** Melihat Dinda digoda seperti itu membuat kepalanya menjadi panas. Untungnya tadi Ardan menyempatkan diri melihat layar monitor cctv. Jadi, ia bisa datang tepat waktu. Saat gelagat aneh itu ia tangkap, Ardan yang tadinya tengah bermalas-malasan sontak menegap. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras, tatapannya menjadi gelap. Jika itu kondisi saat ia masih SMA, sudah dapat dipastikan bapak itu pulang dengan wajah yang berbeda. Ardan menyugar rambutnya ke belakang. Ia meraih ponselnya dengan kasar dan mengetikkan beberapa kalimat lalu mengirimnya. Lo nggak ke sini? To: Kevin Untuk hari ini, ia akan membiarkan Dinda pulang bersama Kevin. Ia akan berusaha terlihat baik-baik saja melihat mantannya jalan bersama sahabatnya. Toh, Ardan sudah melupakan Dinda, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD