Pengakuan

1064 Words
Ardan jadi kesal sendiri saat Dinda dengan santainya berjalan melewatinya. Memasukan meja dan kursi ke dalam toko. Jam menunjukan pukul sepuluh. Kata open di pintu masuk sudah berubah menjadi close. Gorden toko pun sudah ditutup. "Permisi, mau saya masukin kursi dan mejanya ke dalam." Dinda berkata sopan kepada Ardan yang tengah mengisap nikotinnya duduk santai di kursi. Ardan mengembuskan asap rokoknya lalu berdiri. Dinda melewati lelaki itu dan kembali sibuk membersihkan toko. Ardan harus menahan diri untuk tidak meraih tubuh itu dan berkata sesuatu. Apa lagi saat matanya menangkap Dinda tengah berbincang akrab dengan seseorang. *** Lelaki itu membuat putung rokoknya dan menginjaknya. Ia menggaruk telinganya yang terasa gatal kala mendengar percakapan di sampingnya. "Bener nggak mau dianter aja?" "Iya, bener, Mas. Udah kamu pulang aja. Aku biasa kok nunggu di sini. Lagian jam segini masih rame, 'kan." Ardan tidak habis pikir, kok bisa ya maksa banget padahal cewek itu jelas-jelas menolaknya. Ardan membuang mukanya ke arah lain. Menunggu angkutan umum jurusa ke rumahnya datang. "Tapi tetep aja. Ini udah malam. Agak rawan pulang sendiri." "Eung—itu angkutan aku udah ada. Aku masuk ya, Mas." Dinda langsung melambaikan tangan, dan masuk ke dalam angkutan itu saat sudah berhenti di depannya. Jujur, perempuan itu risih dipaksa. Ardan ikut masuk ke dalamnya. Duduk bersampingan dengan Dinda tanpa mengucapkan sepatah kata. Rasanya tenggorokan Ardan sudah gatal saja ingin memuntahkan suatu perkataan. Namun, sayangnya sesuatu dalam diri Ardan menolak itu. Maka yang terjadi, lelaki itu selalu urung ketika ingin melakukannya. Ardan membuang mukanya ke jendela. Matanya sukses membulat kala ia melihat seseorang. Orang yang sama yang memaksa Dinda pulang dengannya. Mau ngapain dia? Angkutan yang membawa mereka pelan-pelan berhenti. Ardan menoleh ke luar jendela. Mereka berhenti di depan perumahan perempuan itu. Ardan ikut turun. Dinda sedikit terkesiap karena Ardan turun juga. Perempuan itu mempersiapkan hatinya atas apa yang akan dilakukan Ardan nantinya. "Perumahan kamu di sini?" Kepala Dinda memutar. Itu Mas Rafi, cowok itu keukeuh ingin mengantarnya. Sampai-sampai mengikuti angkutan umum yang dinaiki Dinda. "Kok, Mas, ngikutin sampe sini?" "Aku tiba-tiba kepikiran aja. Khawatir, Din, karena udah malam. Nggak apa-apa kamu nggak mau dianterin, nanti aku ikutin angkutan yang kamu naikin sampe rumah dengan selamat," tuturnya dengan senyum di akhir. Dinda menggaruk tengkuknya tidak keenakan. "Makasih loh, Mas. Sekarang aku udah di sini dengan selamat. Mas Rafi bisa pulang juga," kata Dinda. "Oke. Saya pulang dulu, ya." Dinda mengangguk. "Hati-hati, Mas." Dinda melihat kepergian Rafi sampai motor itu menghilang dari pandangannya. Saat Dinda ingin masuk ke perumahannya. Ia baru sadar kalau Ardan masih di sana. Tanpa mau menghiraukannya, Dinda berlalu. Sudah cukup ia bertingkah bodoh kemarin. Untuk sekarang, tidak lagi. 'Hati, tolong kerja samanya ya!' *** Ardan membuka bungkus nikotinnya lagi. Menghisap satu batang untuk menemaninya berjalan menuju perumahannya. Ia sengaja berdiri di sana tadi. Dan Dinda sama sekali tidak menegurnya. Apa cewek itu sudah berhenti menyukainya. Kalau seperti itu untuk apa ia berpikir ingin menjalani hubungan dengan dia? Setelah sampai rumah, Ardan langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Lalu tangannya tergerak untuk membuka ponselnya. Menyalakan ponselnya yang ia matikan selama lima hari. Entah sudah berapa ratus notifikasi. Dan dugaannya benar. Dari mulai notifikasi pesan, **, twitter, email, sampai ada beberapa panggilan dari keluarganya. Namun, bukan itu yang dicari Ardan. Ia menggulir layar ponselnya. Untuk mencari kontak seseorang. Dirinya terpaku untuk beberapa saat ketika membaca pesan itu. Ardan lo di mana? From: Dinda Hilang saat gue bener-bener butuh jawaban. Ahahaha From: Dinda Fix gue cewek bodoh banget ya. Masih aja ngeharapin orang yang nggak mau digapai From: Dinda Dan, tentang ciuman itu. Gue pengen tau artinya. Tapi kalau lo ngehilang gini, gue mungkin artiin sendiri aja kali ya. Itu ucapan perpisahan dari lo. From: Dinda Maafin gue yang udah ngeganggu lo selama ini. Gue nggak akan ngejar lo lagi. Kalau itu yang lo mau :) From: Dinda Ardan langsung bergegas. Sesuatu dalam dirinya mendorong cowok itu untuk berlari. Kini Ardan sudah memutuskan. *** Dinda pikir, ia tak butuh alasan dari Ardan lagi untuk menghapus satu foto itu. Sikap Ardan sudah menjelaskan bahwa ia benar-benar harus berhenti. Tombol delete sudah di depan matanya. Namun, lagi-lagi jarinya terasa berat untuk mengeklik itu. Dinda berdecak kesal lalu melempar ponselnya. Ia mengacak rambutnya, mencoba menghentikan bayangan kebersamaannya dengan Ardan yang masih terus terngiang. Kepalanya tertunduk di antara kedua lututnya yang ditekuk. Sebuah ketukan keras di pintunya membuat Dinda terlonjak. Ia buru berlari ke luar kamar. Membuka pintu rumahnya. Tubuhnya menegang saat tubuh itu menyelimutinya. Saat wajahnya menabrak dadda bidang itu. "Maafin gue," lirihnya. "Maafin gue yang pengecut ini." Dinda terdiam. Tidak membalas ucapan maupun pelukan itu. Ia tidak lagi mau mengartikan semuanya dengan indah. "Saat bersama lo, gue ngerasain apa yang lo rasain. Tapi di saat bersamaan gue belum siap untuk ngerasain sakitnya jatuh cinta, Din." Dinda mengerjap pelan. Terasa pelukan Ardan tambah mengerat saat cowok itu mengucapkan kalimat terakhirnya. "Tapi gue sadar sekarang, daripada nggak siap sakit hati, gue lebih nggak siap kehilangan lo." Air mata Dinda menetes di ujung matanya. Pelan-pelan perempuan itu mengangkat tangannya. Membalas pelukan itu. Pada akhirnya, yang ia pinta terwujud. Apa ini mimpi? *** Dinda terbangun karena pelukan erat di pinggangnya. Matanya mengerjap pelan. Ia mengucek matanya yang terasa susah dibuka. "Eungh, Ar, lepasin," pinta Dinda. Alih-alih melepas, Ardan malah tambah mengeratkan pelukannya. Dinda terkekeh. Ardan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Dinda. "Masih ngantuk, nanti aja bangunnya." Dinda mencubit lengan Ardan. Membuat cowok itu meringis. "Aku kerja, Ardan. Nanti kesiangan ... ARDAN!" Teriakan nyaring Dinda pada akhirnya berhasil melepas kungkungan tangan Ardan pada tubuhnya. Dinda bangun untuk segera bersiap-siap. Masih terdengar gerutuan Ardan yang ditangkap telinga Dinda. Perempuan itu tersenyum tipis. Kemudian ia masuk kamar mandi. Dinda sudah tidak terkejut saat keluar kamar mandi, Ardan sudah menyiapkannya sarapan. Seperti yang lelaki itu lakukan waktu itu. "Cowok yang kemaren itu siapa, sih?" Dinda mengerjap sebentar. Lalu ber-oh ria. "Itu Mas Rafi, keponakan yang punya toko. Dia yang ngisi nyanyi solo di sana." Ardan mengangguk kecil. "Sampe ngikutin kamu ke sini padahal udah ditolak," gerutu Ardan diakhiri dengan decihan. Dinda lantas tertawa. "Kamu nguping?" Lelaki itu gelagapan karena ketauan menguping Dinda kemarin. "A-aku kan di sana makanya denger. Nggak sengaja denger itu!" sulut Ardan. Mulut Dinda membentuk o sambil menampilkan wajah jailnya. "Kamu berhenti dari situ. Balik ke toko aku aja, ya." Dinda menggeleng sambil mengangkat piringnya dengan piring Ardan. "Aku udah suka di sana. Berkaitan sama kue. Suatu saat nanti gue mau buka toko kue juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD