Tak Pernah Dilupakan

1060 Words
"Nanti aku jemput jam sepuluh?" Ardan memberhentikan mobilnya di depan tempat kerja Dinda. "Jam sepuluh aku masih bersih-bersih toko dulu. Setengah sebelasan aja biar nggak nunggu lama." Dinda membuka sabuk pengamannya. "Dah!" Ia melambai pada Ardan sambil membuka pintu mobil. Ia tak menyangka padahal baru beberapa hari yang lalu ia bergalau ria. Kini dirinya datang ke tempat kerja dengan diantar lelaki itu. "Pagi!" Dinda menyapa kala membuka pintu toko. "Pagi! Cerah banget mukanya," kata Bunga dengan senyum menggoda. "Masa?" Dinda menyentuh kedua pipinya. "Iya." Bunga melempar apron hitam, dengan sigap ditangkap oleh Dinda. "Kalo gue nggak salah liat, tadi kayaknya abis keluar dari mobil seseorang nih." Dinda tersenyum malu. Ia menyimpan tas kecilnya di laci lalu memakai apron yang dilempar Bunga tadi. "Itu cerita CLBK, Bung." "Wow!" Bunga menghampiri Dinda. Menyenderkan tubuhnya di meja kasir. "Pacaran sejak kapan? Putus kenapa? Terus bisa balikannya gimana?" Bunga sampai memajukan mukanya. Dinda menyisir rambutnya sebelum ia mengucir. "Pacaran dari SMP. Putus karena aku yang bodoh. Bisa balikan lagi karena jodoh. Hahaha." "Nikah kapan?" tanya Bunga lagi. Wajah Dinda lantas memerah. "Udah nikah aja, baru juga jadian lagi." Bunga mengembuskan napas kecewa. Ia masuk ke dapur sambil berseru, "Ga asik nih. Padahal gue kan pengen makan gratis ke kondangan." Sambil membantu Bunga menata kue yang sudah jadi ke atas piring, Dinda terkekeh. "Pokoknya aku nikahannya kalau nggak sabtu, ya, minggu." "Yeu, dasar." *** Kaki Ardan bergoyang di bawah meja. Matanya berulang kali melirik jam di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjuk angka sembilan. Dinda menyuruhnya menjemput jam setengah sebelas. "Okey, sejam lagi." Tiba-tiba memori kemarin terlintas di benaknya. Bagaimana cowok itu berusaha mendekati Dinda bahkan memaksa untuk mengantar. Ah, Ardan tambah tidak tenang. "Bodo amat sama setengah sebelas!" Ardan lantas bangkit dari duduknya. Menyambar tas, ponsel, dan jaketnya yang ia sampir di sandaran kursi. Lelaki itu merasa terancam. *** Dinda tak menyangka kalau Ardan sudah menjemputnya. Lelaki itu melambai di luar toko kue. Mata Dinda membulat. Dengan isyarat gerakan bibir dan gerakan tangan, perempuan itu berkata, "Kok udah jemput jam segini?" Ardan ikut membalas. "Nggak apa-apa." Kepalanya menggeleng. "Aku tunggu di sini!" Dinda memajukan bibirnya. Bukan apa-apa, Dinda hanya tidak enak kepada Ardan harus menunggunya lama. Melihat sikap Ardan seperti ini ia jadi teringat kenangannya dulu saat mereka SMP. Diam-diam Dinda tersipu malu. Ardannya sudah kembali. Tidak mau membuat Ardan menunggu lama. Dinda melakukan pekerjaannya dengan cepat. Bunga sampai tidak keenakan karena dia malah terlampau berleha-leha. "Santai aja lagi, Din, kayak dikejar apa aja." Dinda mengangkat kursi itu ke atas meja dengan keadaan terbalik. Matanya melirik Bunga sejenak. "Bukan dikejar, Bung. Tapi, ditungguin," kata Dinda dengan memelankan kalimat akhirnya. Menangkap kalimat terakhir Dinda, kepala Bunga jadi memutar ke semua arah untuk mencari objek yang dimaksud. "Wow, itu orangnya! Tadi pagi aku nggak liat jelas." Mata Bunga menyipit ke arah Dinda. "Iya deh, yang nggak mau buat mamasnya nunggu lama." Dinda membalas ledekan Bunga dengan rajukan kecil yang malah terlihat lucu dan membuat Bunga tambah tertawa. "Udah sana. Yang bagian itu biar aku aja. Kamu udah banyak juga kerjanya. Daripada Mamasnya diculik cewek lain tuh diri di depan sana." "Nggak apa-apa, Bung?" tanya Dinda dengan wajah merasa bersalah. Bunga mengangguk lalu menepuk bahu Dinda sekilas. "Santai aja. Lagian bagian lo udah selesai semua tadi. Dah sana pulang duluan." "Makasih banget, Bunga." Dinda membekap badan Bunga yang lebih tinggi darinya itu. "Iya woy, pengap. Wadu tubuh kecil tapi tenaganya." Dinda terkekeh. Lalu mengambil tas dan mengeluarkan bedak dan lipstiknya. Setelah melihat riasannya sudah seperti semula. Ia pamit untuk pulang. "Duluan, ya, Bung, maaf banget nggak bisa bareng." "Iya, Dinda. Santai. Hati-hati, Din!" Dinda melempar lambaian tangannya sebelum pintu tertutup. Cewek itu berlari menghampiri Ardan. "Ada nyamuk!" Dinda menampar pipi Ardan. "Nah, kena!" Tangan Dinda terdapat darah dan mayat nyamuk. "Ih, berdarah. Abis gigit kamu, nih." Perempuan itu mendongak dan memperlihatkan telapaknya. Saat itu juga ia melihat pipi pacarnya sudah memerah dan meninggalkan bekas tamparannya. Ardan meringis. "Sakit, Din." Dinda menutup mulutnya. Perempuan itu ikut meringis saat Ardan mengusap pelan pipinya yang memerah itu. "Maaf, ahahaha!" "Bahagia banget, ya," gerutu Ardan sambil menekan tombol buka pada kunci mobilnya. Dinda dan Ardan memasuki mobil lelaki itu. "Ini aku ada minyak kayu putih. Pipi kamu bentol." Dinda mengeluarkan minyak kayu putih dari tasnya. Sambil dipolesi minyak kayu putih oleh Dinda, Ardan malah sibuk melirik isi tas perempuan itu. "Koyo? Balsem? Ckck, emang udah sepuh kamu, ya." "Diem, aku colokin ke mata nih," ancam Dinda. Membuat Ardan tergelak. Menyadari suatu hal, Ardan kembali melihat ke arah toko kue itu. Matanya bergulir ke kanan dan kiri mencari seseorang. "Nyari siapa?" "Yang kemaren mau nganter kamu pulang mana? Nggak kerja?" "Ya ampun dicariin dong!" seru Dinda. Membuat Ardan melepas matanya dari toko itu untuk melihat pacarnya. "Emang kenapa?" cemberut Ardan "Ke mana dia?" "Udah pulang duluan. Emang harusnya dia pulang jam sembilanan. Kemaren juga gitu. Tapi kayaknya kemaren dia ikut pulang jam setengah sebelas karena nunggu aku." Ardan menganggukan kepalanya pelan. "Kenapa hari ini pulang duluan?" "Karena tadi dia ngajak pulang bareng terus aku bilang hari ini dijemput pacar aku." Jawaban Dinda lantas membuat pipi Ardan memerah. Melihat itu Dinda jadi gemas sendiri. Ia mengacak poni cowok itu. "Cepetan kita pulang. Aku udah capek banget." Ardan tersenyum semangat. "Udah makan?" Dinda bergeleng. "Belum. Kita beli kwetiaw aja." "Sip." *** Dinda pikir mereka akan makan di pinggir jalan. Menikmati suasana malam hari. Ditemani suara kendaraan yang berlalu lalang. Diganggu beberapa kucing yang mengusel di kakinya. Atau dinyanyikan lagu oleh pengamen yang datang. Nyatanya, mereka malah berada di ruang tamu. "Terima kasih, Mas. Tipnya lewat aplikasi, ya," seru Ardan kepada abang ojek online. Cowok itu dengan girang membawa kwetiaw pesanannya ke depan Dinda. Tak mengacuhkan perempuan yang tengah mencebik kesal. "Aku maunya makan di luar." "Oh, ya udah ayo ke teras," jawab Ardan santai. Membuat reflek Dinda menjitak kepala lelaki itu. "Kamu mah, ih." "Aduh! Di luar banyak nyamuk, Din. Terus kalo kita ngobrol nanti ada yang nguping. Nih, kwetiaw yang kamu." Ardan menyodorkan piring ke Dinda. "Kamu masih nggak suka pake acar, 'kan? Acarnya buat aku, ya." Ekspresi Dinda berubah seketika. Tak menyangka kalau Ardan masih mengingatnya. "Kamu masih inget aku nggak suka acar?" "Masih. Selama aku inget nama kamu ya aku juga bakalan inget kebiasaan kamu jugalah." Dinda terdiam. Rasa kesal yang ia rasakan sebelumnya mendadak menguap. Kalimat Ardan, membuat seakan-akan semua dalam diri Dinda adalah satu paket yang tak pernah ia lupakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD