Sakit

956 Words
Adel yang berada di samping laki-laki itu sedari tadi hanya menundukan kepalanya, tangannya saling bertautan. Ketika Dion berbicara tanpa ia sadari ia mundur beberapa langkah seakan menjaga jarak, jaga-jaga kalau sang singa sudah mengeluarkan cakarnya. Dion tanpa berkata-kata lagi ia kembali berjalan. Namun, sebelum itu sikap Dion kembali mengejutkan, ia berbalik menghampiri Adel. Tanpa izin ia menggenggam tangan cewe itu lalu menuntunnya ke kelas. Adel bergerak gelisah di balik genggaman itu, ia ingin menolak, tetapi takut. Dion menyadari hal itu. "Kalo mau gue lepas, jalannya jangan di belakang gue. Setuju?" tanyanya dengan pandangan lurus ke jalan. Adel hanya mengangguk dan sepertinya Dion mengetahuinya. Ia berhenti yang otomatis Adel pun ikut berhenti. Kini mata tajam milik Dion beralih menatap Adel. Ia menaikkan wajah Adel yang menunduk hingga sepasang bola mata itu kembali dapat ia tatap. "Tetep di samping gue," ucap Dion seraya melepas genggaman itu. Yang Adel tidak ketahui adalah makna lain dari kalimat itu. *** Hari ini Ardan tidak masuk sekolah. Entah apa yang terjadi dengan laki-laki itu. Niatnya hendak menanyakan keberadaan Ardan kepada kelima temannya yang lain. Apakah ketidakhadirannya sekarang ada kaitannya dengan yang tadi malam? Namun, kondisi saat ini adalah jangankan untuk menghampiri teman-temannya dan bertanya, untuk bertegur sapa aja tidak bisa ia lakukan. Adel sedang kurang sehat terlihat dari wajahnya yang pucat, hal itu sudah cukup menjadi alasan bagi Dion untuk melarang Adel ke mana-mana dan menyuruhnya tetap beristirahat di UKS. Dion tidak meninggalkannya sendirian, ia menemaninya. Dengan buku tebal yang berada di pangkuannya ia bersandar pada sofa yang berada di ruang itu. Adel tampak gelisah dalam tidurnya. "Makanan udah gue beliin di kantin. Sekarang lo mau ngapain lagi? Tinggal istirahat aja kenapa susah banget, sih," ucap Dion. "Aku mau ketemu temen-temen aku dulu." "Ya ampun berapa kali gue ngomong, nanti kalo kondisi lo udah fit lagi. Makanya lain kali nggak usah main ujan-ujanan." "Siapa yang main ujan-ujanan." "Terus kemaren apa? Oh gue tau ... ditinggal sendirian sama seseorang?" Dion memutar matanya jengah, ia menutup buku itu lalu berjalan menghampiri cewe yang sedang berbaring itu. "Nggak usah kayak anak kecil yang nggak dibolehin ketemu ama ibunya. Lo nggak berencana bunuh diri, 'kan?" Adel membelalakan matanya kaget. "Enggak!" "Ya makanya, masih ada hari esok, kalo lu mau main lagi sama temen-temen rusuh lo itu. Sekarang mending lo istirahat, karena harusnya lo istirahat tuh di rumah. Kalo sekarang lo nggak istirahat dan kondisi kurang fit ini berlanjut sampe besok, gue bakalan maksa lo istirahat, entah di rumah atau di sini lagi." *** Kelima anak laki-laki yang biasanya membuat kantin ramai itu, kini mereka sedang berdiam diri di atap. Anton yang tengah duduk di bangku tidak terpakai dengan seputung rokok di sela jari-jarinya memecahkan keheningan itu dengan tiba-tiba menggebrak meja. "b*****t lo, Ton! Kaget begok!" umpat Kevin mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. "Untung gue lagi nggak ngunyah kacang," ujar Galang sambil membuka bungkus kacangnya. Anton tidak menghiraukan semua gerutuan teman-temannya. "Gue denger tadi Adel berangkat bareng Dion." "Tumben sih," kata Ryan dengan pandangan lurus ke depan seperti sedang memikirkan sesuatu. "Gue nggak pernah liat dia deket sama cewe dah, sempet kaget juga," timpal Aldi. Galang mengangguk-angguk sambil mulai menyuap kacang kesayangannya. "Kayak Ardan dulu ya." Mereka terdiam lalu saling melirik satu sama lain. Seperti sedang memikirkan satu hal yang sama. "Gue punya firasat buruk, deh," ungkap Aldi yang membuat akhirnya mereka bungkam. Bungkam karena mereka benar-benar satu pemikiran. *** Laki-laki itu menghela napas pasrah ketika seorang wanita berpakaian serba putih menghampirinya. "Besok udah boleh pulang, kok. Kalo sekarang mending istirahat di sini dulu," ucap suster itu seraya menyuntikkan vitamin pada dirinya. "Kalo ada perlu apa-apa bilang aja, ya." Setelah mengatakan itu suster itu pun berlalu dari hadapannya. Ardan menatap seluruh ruangan serba putih yang sedang ia tempati ini. Sepi. Hanya ada suara dari televisi yang menyala yang menemaninya saat ini. Ardan yang sudah tidak tahan dengan kondisi ini langsung mengambil ponselnya yang berada di nakas samping tempat tidurnya. Baru saja benda pipih itu menempal pada telinganya suara kenop pintu kembali terdengar. Pintu itu terbuka menampilkan sesosok perempuan dengan kantong plastik di tangannya. "Lama, ya?" "Bentar, kok, saking bentarnya gue sampe bosen." Perempuan itu masuk dan menutup pintu. "Maaf," ucapnya saat ia sudah menduduki kursi yang berada di samping kasur Ardan. "28." Dinda mengernyitkan dahinya bingung. "Maksudnya?" "Udah 28 kali lo ngucapin maaf dari tadi malem. Kurang dua lagi biar 30." Dinda tersenyum tipis mendengarnya. Tangannya bergerak lincah menyiapkan bubur yang tadi ia beli untuk diberikan pada Ardan. "Ini, nggak pake kacang, 'kan?" Ardan berdehem seraya menerima mangkuk bubur itu. "Gue bener-bener nyesel, Dan. Gue tulus minta maaf sama lo." Mendengar perkataan Dinda lagi, Ardan yang hendak menyuap pun menghentikan aktifitasnya. "Gue juga maafin lo, ini buktinya." Ia menunjuk kondisinya saat ini. Dinda kembali memperhatikan kondisi Ardan. Orang yang pernah ia manfaatkan, orang yang pernah ia abaikan, dan orang yang dia acuhkan perasaannya, kini orang itu malah melakukan pengorbanan besar untuknya. Makin lama ia merasakan pandangannya menjadi buram. "Yailah, lo kenapa nangis, sih? Nanti orang liat nyangka yang enggak-enggak aja," gumam Ardan lalu kembali menyuap buburnya. Dinda menghapus cairan bening yang lolos dari matanya. "Abis ini gue janji nggak bakal muncul di depan lo lagi." Ardan terdiam karena perkataan Dinda itu. "Sebentar lagi temen-temen gue mau dateng. Kalo lo ada urusan lo bisa pulang." "Yaampun, Dan, maksud gue itu nanti kalo lo udah pulih. Kenapa lo ngusirnya sekarang." "Siapa yang ngusir elo? Gue cuma ngasih tau nanti temen-temen gue pada dateng ke sini, siapa tau lo nggak nyaman kalo ada mereka, lagian lo di sini kan buat nemenin gue. Kalo udah ada mereka lo nggak perlu nemenin gue lagi." Dinda terpana dengan Ardan di depannya, sudah tidak ada lagi guratan emosi di wajah cowo itu. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh lagi, gue juga udah tulus maafin lo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD