Berjuang?

1009 Words
Jawaban Ardan sebenarnya sudah dapat ditebak oleh Dinda. Cowok itu tidak akan mengatakan iya. Awalnya, Dinda menganggap itu sebagai sikap gengsi Ardan yang tidak mau mengatakan sejujurnya. Namun, sebuah kotak makan yang ia lihat saat ini mematahkan semua perkiraannya. Beberapa menit yang lalu Ardan sudah pulang duluan. Ia menyerahkan kepada Dinda kunci toko. Katanya, ada urusan mendadak yang mengharuskan ia meninggalkan toko sebelum waktu toko tutup. Dinda yang sudah bersiap pulang memberanikan diri masuk ke dalam ruangan Ardan. Niatnya ingin mengambil kotak makannya yang berada di atas meja kerja Ardan. Namun, saat ia melihat isinya tak tersentuh sama sekali. Saat itu juga ia meyakini bahwa Ardan benar-benar sudah melupakannya. Kalau yang dikatakan Ardan tadi siang adalah kalimat jujurnya. "Haha, b**o banget sih lo, Din. Masih berharap." Dinda tertawa garing. Sementara air dari sudut matanya menyembul keluar *** Jemari lentik itu mencuci kotak bekal ungunya. Dinda menghela napas berat. Dadanya masih merasa sesak. Namun, wajahnya mengatakan hal sebaiknya. Susah payah ia berusaha tersenyum. "Din?" Suara Adel di telepon menginterupsinya. "Oh, iya?" "Yakin nih aku kamu nggak dengerin 'kan?" "Denger kok!" sahut Dinda cepat. "Aku ngomong apa?" Dinda memukul keningnya. Ia tidak bisa berbohong. "Haha, maaf-maaf. Salah aku juga sih, kamu kecapean abis pulang kerja malah aku telepon." Dinda terkekeh. "Iya nggak pa-pa, lagian orang yang baru jadian biasanya punya banyak cerita yang dicurhatin," godanya. "Kalau hubungan kamu sama Ardan gimana?" tanya Adel. Gerakan tangan Dinda yang tengah mengelap piring terhenti. Ia mengerjap cepat sambil berusaha mengatur nada suaranya. "Baik kok. Dia atasan yang baik. Berapa kali aku ditolongin." Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Cuma hubungan kerja. Kalau selain itu?" "Selain itu apa? Nggak ada lagi. Kami sekarang cuma sebatas pegawai sama atasan." "Kamu udah ngelupain dia?" Dinda terdiam, ia menggeleng pelan walau Adel tidak dapat melihatnya. "Kamu harus berjuang, Din. Sekali lagi." Berjuang? Bahkan salah satu perjuangannya pagi ini ditolak mentah-mentah oleh laki-laki itu. "Del, udah dulu ya. Besok aku masuk pagi, takut kesiangan." "Oh oke-oke. Makasih, ya, Din, udah jadi temen curhat aku hari ini." "Iya, Del. Aku seneng kok denger cerita kamu. Jangan kapok nelpon aku, ya. Maaf hari ini nggak bisa denger cerita kamu dengan konsen." Dinda menyimpan piring terakhirnya ke rak. Melepas apronnya dan membawa ponselnya masuk ke dalam kamar. "Iya, nggak pa-pa kok. Dah, Dinda. Selamat malam!" "Malam!" balas Dinda sebelum sambungan telepon mereka benar-benar putus. Dinda membaringkan tubuhnya di kasur. Menatap langit-langit kamarnya yang terasa sepi. Nyatanya, usaha Dinda akan tetap sia-sia saja kalau Ardan selalu mendorongnya menjauh. *** "Bukan yang itu." "Bukan itu." "Eh, ya udah yang tadi." Ardan memutar kepalanya lalu mengacungkan jari tengahnya kepada lelaki yang kini berbaring di tempat tidur rumah sakit. "Bisa yang bener nggak, Al?" Aldi, si pasien yang kini memiliki perban di kakinya hanya mengulum senyum. "Lo nggak inget dulu waktu lo sakit juga ngerjain gue." Setelah menyetel siaran televisi yang diinginkan Aldi, Ardan berjalan ke arah sofa tempat teman-temannya yang lain duduk. "Oh, bales dendam." Saat ia mendengar berita di percakapan grup kalau Aldi kecelakaan Ardan langsung cepat-cepat ke rumah sakit. Padahal saat itu ia ingin menyantap masakan buatan Dinda. "Ck, ada yang ketinggalan." Kevin yang tengah asyik dengan ponselnya mendongak. "Apa?" "Makanan. Belum sempet gue makan panik gue tadi. Ini gara-gara si bangsul satu ini," tunjuk Ardan kepada Galang. "Lah kok gue?" protes Galang tidak terima. "Sialan lo nggak nyadar," sulut Kevin. "Baca lagi yang lo kirim di grup. Lo bilang maafin semua kesalahan Aldi ya teman-teman, Aldi sudah istirahat dengan tenang." "b*****t, 'kan? Emang nih orang halal dimaki," timpal Anton yang sudah menggerutu sejak sampai di kamar Aldi. "Apaan lo bilang?!" Aldi yang tidak memegang ponsel tidak bisa melihat chat yang dikirim Galang itu. "Ya, kan, maksud gue lo lagi tidur Al, terus ya namanya kan istirahat dengan tenang. Pas lo bangun tadi lo teriak mulu anjir sakit sakit!" kata Galang membela diri. "Ya, tetep aja lo gila ngechat kayak gue udah mati." Ardan mengurut keningnya. Terjadi lagi adu debat di kamar rumah sakit. Ia jadi flashback masa SMA dulu saat ia dikeroyok oleh Bara. Sebelum geng rusuhnya ini datang ia terlebih dahulu ditemani oleh Dinda. Cewek itu berkali-kali menangis dan meminta maaf. Saat Ardan mengatakan sudah memaafkannya, ia memang jujur. Sikap Dinda yang seperti itu membuatnya tersadar bahwa cewek di depannya itu bukanlah cewek yang mencampakkannya. Namun, entah kenapa sekeras apa pun hatinya berkata sudah memaafkan perempuan berambut panjang itu Ardan tetap tidak bisa menerima Dinda masuk lebih dalam ke hatinya. Ia masih membangun tembok itu. Hubungan kerja yang mengharuskan mereka bertemu membuat Ardan menjadi tambah memperhatikan cewek itu. Dan perasaan takut itu justru tambah besar. Karena yang Ardan yakini, seberapa besar perasaannya terhadap seseorang sebesar itulah sakit yang akan ia terima nantinya. Ardan belum siap untuk merasa sakit itu lagi. "Dan!" panggil Aldi. Ardan lantas mendongak untuk melihat temannya. "Ya?" "Gue denger lo sekarang kerja sama siapa tuhh. Mantan lo yang dulu nemenin di rumah sakit?" "Dinda," balas Kevin. Matanya mengerling jail ke arah Ardan. "Terus?" Mata Ardan bergantian melirik teman-temannya yang kini menatapnya. "Itu namanya takdir, Dan," celetuk Anton Ardan sontak tertawa. "Takdir apaan! Nggak jelas lo, ah!" "Hmm, lo nggak niat jomblo seumur hidup 'kan?" tanya Galang kemudian. Ia menghela napasnya sambil mengangkat tangan untuk menepuk bahu Ardan. "Lo nyari cewek lain enggak. Sama cewe yang ada dideket lo aja nggak mau. Jangan kejebak sama masa lalu lah." Setelah keluarganya, teman-temannya-lah yang selalu mencerewetinya untuk cepat-cepat punya pacar. Padahal ia sudah nyaman dengan hidup sendirinya saat ini. "Oh, atau gini." Aldi berkata dengan semangat. "Gimana kalo lo pergi ke acara kencan buta?" Ardan mengerutkan dahinya. "Nggak jelas lo ah. Enggak enggak." "Bener, gue tadinya mau bareng si Aldi. Udah mesen tiket dua. Tapi karena si bangsul malah kecelakaan, jadi sama lo aja." "Dan, kali-kali lah lo coba. Buat hiburan aja sih. Nggak usah jadi beban," bujuk Ryan. "Biasanya sih kalo si Ryan yang ngomong ni anak bakal manut," celetuk Kevin sambil berlalu ke luar kamar. "Gue mau angkat telepon dulu." "Ckck, bisa-bisa telponan tu anak," decak Aldi sambil bergeleng. "Gimana, Dan?" tanya Galang lagi. "Sekali seumur hidup, Dan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD