Menutup Hati

1024 Words
"Din." "Ya?" "Lo ... nggak apa-apa? Maksud gue kalau ngerasa nggak enak badan—" "Gue nggak pa-pa." Dinda jadi senyum-senyum sendiri mengingat percakapan singkatnya dengan Ardan saat jam pulang kerja. Mengetahui Ardan masih peduli dengannya saja sudah membuat Dinda cukup senang. Untuk itu daripada tidur, Dinda lebih memilih bangun lebih pagi dari sebelumnya untuk menyiapkan sarapan pagi yang akan ia berikan kepada Ardan. Dengan bermodal video tutorial dari youtube, Dinda mencoba memasak masakan khas korea, topokki. Bahan sudah ia persiapkan di atas meja. Dinda menggulung adonan tepung beras itu menjadi bentuk lonjong. Matanya bolak-balik melihat layar ponsel dan masakannya. Usai menyelesaikan masakannya, Dinda lantas bergegas mandi dan bersiap berangkat kerja. "Gue harap lo suka, Dan." Dinda memasukan masakannya ke dalam kotak makan. *** Untuk pertama kalinya Dinda dan Ardan tiba di toko secara bersamaan. Biasanya Dinda duluan yang menunggu cowok itu atau sebaliknya. Ardan belum menyadari kotak makan yang dipegang Dinda. Ia bahkan tidak sadar kalau Dinda sudah melempar senyum padanya. "Pagi, Dan." Kening Ardan berkerut. Gerakan tangannya di kenop pintu toko terhenti. Ia menoleh ke sampingnya. Tidak ada yang berbeda dari penampilan cewek itu. Ia mengangguk kecil untuk membalas sapaan Dinda tanpa mau mengucap sapaan yang sama. Saat pintu terbuka Ardan masuk dan berjalan lurus menuju ruang kerjanya. "Ardan!" panggil Dinda. Suara hentakan flat shoes milik cewek itu terdengar, karena ia berlari kecil. Membuat Ardan kembali berbalik dan menjumpai Dinda yang sudah menyodorkan kotak makan berwarna ungu. "Gue lagi belajar bikin ginian. Lo cobain, ya." Ardan menatap kotak itu dan Dinda bergantian. "Gue mau jualan ini. Lo cobain terus kasih ulasan, ya, kira-kira kurang apa," bohong cewek itu. Dinda menyadari ekspresi Ardan yang tidak akan menerima pemberiannya itu. "Oh, oke." Ardan mengambil alih kotak itu dari tangan Dinda. "Makasih, ya." Dinda mengangguk girang. "Selamat menikmati!" kata Dinda sambil tersenyum semringah. Hari ini tampaknya akan berjalan lancar. Dinda harap ini bukan hari menyedihkan lagi seperti kemarin-kemarin. *** Kevin harus mendatangi Dinda untuk meminta maaf. Karenanya, cewek itu harus mendapat serangan dari Shella. Mengingat Shella membuat Kevin kesal sendiri. Ia seperti terperangkap oleh cewek itu. Ia menyesal pernah mendekatinya. Alhasil ia seperti tidak bisa lepas dari Shella. Selama ini memang Kevin tidak pernah ada dipihak memutuskan hubungan. Ia akan melakukan sesuatu yang buruk agar pacarnya saat itu yang memutuskannya. Namun, berbeda dengan Shella. Cewek itu keukeuh mempertahankan hubungannya yang toxic. Alih-alih memutuskan Kevin, Shella justru tambah lengket kepada Kevin. Membuat cowok itu makin lama makin merasa terganggu. "Astaga!" Kevin terlonjak saat seseorang berdiri di tengah jalan. Bunyi ban berdecit terdengar. Dengan kasar Kevin membuka pintu mobilnya. Matanya menatap tajam cewek di depannya. "Lo kalo mau mati loncat dari gedung. Biar nggak ngerugiin orang." Kevin berkata kasar. "Gue mau ikut." Shella berlalu dari hadapan Kevin dan masuk ke dalam mobil cowok itu. Kevin menyugar rambutnya kesal. Apa lagi yang perempuan itu mau? Cowok itu membuka kembali pintu mobil sisi penumpang. "Keluar," titah Kevin. "Nggak!" Shella menolak. Ia membuka kaca dari tasnya. "Gue mau minta maaf juga sama Dinda," aku Shella sambil memoles bibirnya dengan lipstick. "Gue nggak mau main-main lagi. Sekarang keluar." Shella menarik sabuk pengamannya. "Gue juga nggak main-main. Gue serius minta maaf. Lo nggak percaya?" Alis Shella terangkat satu. Ia menepuk bangku pengemudi di sampingnya. "Ayo, masuk!" Helaan napas berat lolos dari mulut Kevin. Dengan terpaksa cowok itu memasuki mobil lalu menjalankannya. "Kalau lo macem-macem gue pastiin lo bakalan nyesel." "Uuuu, serem!" Shella menyandarkan dirinya ke bangku penumpang dan memejamkan matanya. "Tapi gue yakin lo nggak bakal nyakitin gue." Kevin terdiam. Rahangnya mengeras. "Iya kan?" kata Shella, membuka satu matanya untuk melihat ekspresi kesal cowok di sampingnya. Nyatanya, yang diucapkan Shella memang benar. Kevin tidak akan mungkin menyakitinya. Karena Shella adalah anak dari teman mamanya. *** "Tunggu di dalem aja, biar gue yang bilang lo minta maaf juga." "Nggak. Gue mau ngomong langsung." Shani membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Diacuhkannya panggilan Kevin. Sejujurnya, Shella tidak pernah melakukan ini—minta maaf kepada cewek yang ia tuduh pelakor. Namun, karena kali ini ia benar-benar sudah salah paham Shella ingin menyelesaikan perkaranya dengan mantan dari sahabatnya itu. Bagaimana pun juga Shella harus memiliki hubungan baik dengan teman dekat Kevin. "Shel!" Sayangnya, panggilan Kevin dianggap angin lalu oleh Shella. Cewek itu membuka pintu toko Ardan dan langsung berdiri di hadapan Dinda. Dinda jelas terkejut melihat kedatangan Shella. Ia sampai beringsut mundur satu langkah. "Gue mau minta maaf sama lo karena udah salah paham," kata Shella to the point. "Lo tau sendiri gimana buayanya Kevin. Tapi karena alasan dia deketin lo karena mau buat Ardan cemburu, ya, gue sadar kalo gue salah." "Maksudnya?" Suara Ardan terdengar. Lalu matanya beralih kepada Kevin yang masuk ke dalam tokonya dengan wajah panik. "Shella!" Kevin kembali memanggil. Ia menarik lengan cewek itu dan menyeretnya keluar. "Lo!" Kevin bergeram kesal. "Kenapa? Gue bener 'kan?" Rasanya, Kevin benar-benar ingin membakar cewek barbar itu hidup-hidup. *** Suasana tampak canggung karena info yang baru mereka tahu. Ardan merasa sudah dijebak oleh Kevin. Sahabatnya itu masih tidak menyerah juga untuk membuktikan bahwa Ardan masih menyukai Dinda. Sebenarnya Ardan sedikit curiga kalau Kevin memang mau membuatnya cemburu. Namun, fakta bahwa Dinda menjadi disakiti karena kejadian itu membuat Ardan bersumpah akan menciptakan goresan indah di wajah Kevin. "Gue minta maaf atas nama Kevin. Temen gue itu emang paling nggak beres dari temen gue yang lain." Ardan berucap canggung. Dinda menunduk. Pikirannya malah melayang pada fakta ingin membuat Ardan cemburu. Sejujurnya, ia justru malah berterima kasih kepada Kevin. Walaupun resiko yang ia terima mendapat jenggutan keras. Mengingat jenggutan kemarin membuat kulit kepala Dinda merasa nyutnyutan lagi. "Din?" Ardan kembali memanggil. "Ya?" Sial! Dinda malah bengong. "Oh, iya. Iya, gue maafin. Santai aja," katanya gelagapan. Merasa tidak perlu ada pembicaraan lagi, Ardan balik badan untuk memasuki ruangannya lagi. Namun, belum sempat ia masuk Dinda sudah memanggilnya lagi. Membuatnya urung dan berbalik mendapati wajah Dinda yang menatapnya lurus. "Gue cuma penasaran, apa rencana Kevin berhasil?" Ardan mengerjap cepat. Dinda bertanya apakah Kevin berhasil membuatnya cemburu. Jelas, iya. Namun, Ardan kembali tersadar bahwa ia tidak mungkin mengatakan itu. Tekadnya bulat untuk tidak lagi membiarkan Dinda masuk ke hatinya. Untuk itu, dengan tegas Ardan menjawab cewek itu dengan nada yakin. "Enggak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD