Memalukan

1044 Words
Ban mobil itu berputar pelan hingga berhenti sempurna. Pengendara memasang rem tangan dan mematikan mesin mobilnya. "Tiga hari lagi, Dan. Inget! Awas lo kabur." Ardan mengembuskan napasnya. Selama tiga hari ke depan sudah dapat dipastikan ia akan diteror oleh kelima teman-temannya. Kening cowok itu mengerut kala menemukan seorang cewek itu tengah berjongkok di depan pintu rumahnya. Ia turut berjongkok untuk melihat wajah cewek itu. "Dinda?" Dinda mendongak. Ia tersenyum lebar. "Ardan." Senyumnya menampilkan sederet gigi putihnya. "Lo baru pulang? Dari mana? Tadi lo cepet banget cuss lari dari toko." Pipi perempuan itu merah. Dapat ia tebak kalau Dinda sedang mabuk. "Lo mabuk lagi?" Dinda bergeleng cepat. Tangannya mendorong tangan Ardan yang ingin membantunya berdiri. "Nggak boleh pegang-pegang!" seru Dinda. Ardan mengangkat kedua tangannya. "Okey, maaf." "Lo kok," Dinda cegukan,"nggak makan makanan yang gue buat." Dinda memukul d**a cowok itu. "Jahat tau nggak sih lo. Gue bangun pagi-pagi lebih pagi dari biasanya buat masak." Telunjuknya mengarah ke wajah Ardan. "Biasanya gue beli bubur doang. Lo cuma gue minta makan bukan beliin apartemen kenapa susah banget!" "Din, ayo gue anter pulang." "Stop!" Dinda menahan tangan Ardan yang menarik lengannya. "Kenapa lo baru bilang sekarang?! Kenapa nggak setiap pulang kerja lo tawarin gue pulang bareng, hah? Rumah kita satu arah!" Dinda menjauhkan dirinya dari Ardan. "Gue tau lo udah nggak suka gue." Setetes air keluar dari sudut mata cewek itu. "Tapi plis banget, lo hargain usaha gue. Segitunya lo ngehindar sampe nggak dimakan sama sekali." Tangisan cewek itu makin kencang. Membuat Ardan panik. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri takut ada tetangga yang keluar karena terganggu. Tangannya menutup mulut cewek itu yang makin histeris. "Lo jahap bangep. Gue capek bikhinnya." Dinda berbicara di balik bekapan tangan Ardan. Tidak mau membuat tetangga mendengar tangisan Dinda, cowok itu buru membuka pintu rumahnya dan membopong cewek itu masuk. "Huek!" "s**t!" Dinda memuntahkan isi perutnya ke baju Ardan. Ardan menurunkan cewek itu ke atas sofa. Saat ditaruh, cewek itu malah menjatuhkan semua tubuhnya di sana. Ia tertidur. Ardan menggeram kesal kala ia melihat kaus kesayangannya harus terkena muntahan. "Din, gue harap lo nggak nyesel besok pagi," gumam Ardan sebelum ia meninggalkan cewek itu di ruang tamu. *** Kepalanya terasa berat kala ia bangun dari tidurnya. "Aak!" Sebuah gelas ditaruh di depannya. "Ini minum dulu." Dinda mengambil gelas itu dan meneguknya. "Terima ka—" Matanya membulat ketika menyadari bahwa di rumahnya ada seseorang. Ia buru menoleh. Mendapati Ardan yang tengah mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lo kok ada di rumah gue?!" Gerakan tangannya berhenti. Laki-laki itu mengangkat satu alisnya. "Nggak salah?" Dinda menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Ini bukan ruangan miliknya. Lebih tepatnya rumah ini bukan miliknya. "Kok gue ada di sini?" Ardan membuka kulkas dan mengambil dua buah telur. "Ya lo pikir aja." Kepala Dinda terasa nyeri kala ia berusaha mengingat kejadian tadi malam. "Seberapa banyak lo minum?" tanya Ardan lagi. Flashback on Tidurnya tidak nyenyak. Dari mulai rebahan, menghadap kanan, menghadap kiri, sampai tengkurap pun sudah ia lakukan. Hatinya masih terasa sesak. Ardan menolaknya lagi dan lagi. "Kalo emang lo nggak suka kan bisa lo tolak langsung. Nggak gentle banget jadi cowok!" gerutu Dinda. Ia bangkit dari tidurannya dan keluar kamar. Langkahnya menuju dapur. Ia mengambil beberapa kaleng minuman alkohol. Membawanya ke ruang tamu. "Baru kali ini ada yang nolak makanan dari gue." Dinda meneguk minumannya. "Lo bakalan nyesel Arfabian karena udah nolak makanan yang gue buat." Dinda terus meracau. Sampai akhirnya dalam alam bawah sadarnya Dinda berjalan ke rumah Ardan yang terletak di perumahan yang berjarak lima ratus meter dari perumahannya. Flashback off Dinda berdecak. Ia memukul keningnya kesal saat mengingat kejadian memalukan tadi malam. Menangis histeris. Memarahi Ardan. Terakhir, memuntahkan isi perutnya ke baju cowok itu. "Sarapan dulu. Udah gue buat." Dinda menunduk kikuk. "Nggak usah gue langsung pulang aja." "Gue udah masakin," potong Ardan. "Sarapan di sini," perintahnya tanpa bisa di tolak. Dengan malu Dinda memaksa menghampiri Ardan di meja makan. Ardan menyiapkan bubur dan telur rebus. Cowok itu juga membuatkannya lemon hangat. "Terima kasih," ucap Dinda. Ardan hanya berdeham. Ia melahap nasi gorengnya sendiri. Melihat dua menu yang berbeda Dinda sudah menebak betapa repotnya cowok itu. "Lo bisa masak juga." "Semua orang bisa. Itu keahlian dasar orang yang tinggal sendiri." Dinda mengangguk setuju. Ini bukan pekerjaan wanita. Pria pun dapat melakukannya. "Yang kemarin—" Ardan menggantung kalimatnya. Sendok yang hendak masuk ke dalam mulut Dinda berhenti di udara. Cewek itu menaruh kembali sendoknya. "Gue dapet kabar kalau Aldi masuk rumah sakit. Gue panik karena info yang gue dapet tu anak udah kritis. Tapi pas gue ke sana, taunya nggak separah itu." Ardan terkekeh di ujung kalimatnya, merasa konyol sendiri karena kemarin ia sudah sangat panik. "Sakit apa?" tanya Dinda. "Ah, kecelakaan. Kakinya patah, tapi kata dokter dua bulan juga udah bisa digerakin." Dinda mengangguk kecil. Ia melanjutkan makannya lagi. "Tadinya udah mau gue makan." Ardan menyibukkan dirinya dengan memotong telur dadar di piringnya. "Tapi kelupaan karena dapat kabar itu," jujur Ardan sambil menyuapkan nasi gorengnya. Dinda mengerjap pelan. Ardan tengah menampik perkiraan bahwa cowok itu menolak pemberiannya. Ini hanya salah paham. Mengetahui Ardan mau meluruskan salah paham membuat Dinda tidak dapat menahan senyumnya. "I-iya nggak pa-pa. Maaf juga tadi malem gue udah ngomong aneh-aneh." Setelahnya tak ada lagi percakapan. Ruang makan itu hanya diisi suara dentingan piring dan sendok. Mereka makan dalam diam. Seusai makan, Dinda menawarkan diri untuk mencuci semua piring di sana. Ardan tidak bisa menolak lagi karena cewek itu memaksa. Pada akhirnya cowok itu memutuskan untuk mengelap meja. "Pulangnya gue anter aja," kata Ardan sambil membawa kunci mobilnya. "Nggak usah, gue jalan kaki aja." "Gue liat tadi malem nggak ada bawa sendal." Dinda membulatkan matanya. "Oh ya?" Bahkan ia tidak sadar untuk sekedar menggunakan sandal. "Lo masih mau pulang dengan kondisi nyeker kayak gitu? Kalau tadi malem okelah karena udah sepi. Tapi kalo pagi-pagi gini." Dinda mengangguk kecil. Ucapan Ardan benar, bisa-bisa ia menjadi pusat perhatian di sepanjang jalan. Lebih parah lagi kalau ibu-ibu tukang gosip menyangkanya cewek tidak benar. "Terima kasih, Dan." "Santai aja. Gue mau manasin mobil dulu." Ardan yang sudah hendak berjalan keluar rumah, membalikkan badan lagi dan mengatakan hal yang membuat Dinda ingin tenggelam saat itu juga. "Oh, iya, selama lo kerja sama gue, gue harap lo mau berhenti minum. Ini udah kedua kalinya. Lo paham 'kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD