Dua Bulan

1031 Words
Dua bulan sudah mereka menjalani hubungan itu. Hari ini tepatnya dua bulan itu. Tak banyak yang mereka rencanakan karena yah ini bukan pertama kalinya mereka merasakan tanggal yang sama saat mereka jadian. Ardan menunggu Dinda yang tengah melakukan tawar menawar dengan penjual ayam. Dari tadi Ardan sudah menyuruh perempuan itu untuk langsung membeli saja. Bukan apa-apa, Ardan merasa malu jika harus menawar. Memangnya seperti itu boleh? Beneran boleh? Ngelanggar peri-ke-pedagang-an nggak, sih? Seperti itulah yang dipikirkan Ardan. "Ya udah nggak jadi deh, Bang." Ardan jelas melongo mendengar ucapan Dinda. Setelah tiga puluh menit melakukan tawar menawar, hasilnya tidak jadi? "Din!" desis Ardan di telinga Dinda. "Udah diem aja," bisik Dinda. Tangannya mengangkat satu jari telunjuk. Lalu disusul jari tengah. Ardan mengerutkan dahinya. Saat jari manis ikut terangkat. "Mba! Mba! Iya, boleh, Mba!" Senyum Dinda merekah, ia mengangkat dua alisnya kepada Ardan yang terlihat kebingungan. Perempuan itu melenggang menghampiri penjual ayam. Mengeluarkan sejumlah uang dan menerima kantong plastik berisi dua kilo ayam. "Makasih, Bang. Bakalan langganan kalau begini," kata Dinda lalu menarik tangan Ardan pergi. "Gila! Keuangan aku bisa aman damai kalau dipegang kamu." Ardan berdecak kagum. Dinda terkekeh. Ia mengintip kantung belanjanya. "Perlu apa lagi?" "Oh, terasinya lupa." Kantung belanja itu diambil alih oleh Ardan. "Kamu di sini, ya, aku nggak lama mau beli terasi doang." Ardan mengangguk cepat. "Oke." Dinda memperlakukannya seperti anak kecil saja. Menuntunnya saat di keramaian. Menyuruhnya jangan ke mana-mana saat perempuan itu ingin pergi ke suatu tempat seperti ini. Ardan jelas kesal. Namun, Dinda lebih kesal lagi karena pernah mereka saling mencari karena Ardan yang tiba-tiba menghilang. Ardan itu kalau lagi jalan matanya ikut jalan ke sekelilingnya. Apa saja ia perhatikan, entah barang yang dijual pedagang, atau anak kecil yang lagi nangis pun dia kepo sampai ikut menyaksikan. Sedangkan Dinda kalau jalan cepatnya bukan main. Alhasil Ardan selalu tertinggal. Dinda berlari keluar dari kerumunan orang di pasar. Ia mengangkat dua terasi yang terlihat seperti bungkus permen itu. "Udah semua. Ayo, pulang." Hari ini keluarga Ardan akan kumpul. Bunda, Papa, Adel, dan Dion. Dinda dan Ardan diberi tugas untuk membeli bahan-bahan masakan. Kumpul keluarga ini juga sekaligus hari yang bersejarah karena Adel akan mengumumkan berita bahagianya. Setelah memasukkan semua bahan ke bagasi. Dinda dan Ardan lantas masuk ke dalam mobil. Dinda tidak merasa canggung berada di dalam keluarga Ardan itu semua karena memang sebelum berpacaran pun Dinda sering ikut bergabung ke dalamnya. "Ini kalau ada yang kelupaan Bunda bakalan marah," kata Ardan setelah menyalakan mesin mobilnya. "Ya udah nggak apa-apa. Dimarahin berdua. Hahaha!" Ardan menyipit tajam. Membuat Dinda menutup mulutnya menggunakan tangan. Tidak mungkin dimarahi berdua. Nyatanya yang kena jitakan hanyalah dirinya. *** Setelah mengumumkan kabar bahagia tentang kehamilannya yang sudah menginjak usia dua bulan, mereka melanjutkan dengan makan siang. "Terus kalau Ardan sama Dinda kapan mau nyusul?" celetuk Bunda. Sontak Ardan dan Dinda saling bertatapan. Dinda mengerjap cepat lalu cepat menyuap makanan. Pertanda kalau ia tidak mau menjawab, yang otomatis Ardan-lah yang harus buka suara. "Nanti, Bun. Lagi enak gini dulu. Dinda lagi mau fokus sama usaha bakery-nya." Dinda jadi makin menunduk. Sebenarnya dari sebulan yang lalu pun Ardan sudah membahas ini dengannya. Namun, karena merasa belum siap, Dinda beralasan kalau ia harus fokus ke usaha bakerynya yang baru ia jalani sebulan ini. Bunda terdiam, terlihat raut kecewa karena alasannya ternyata ada pada Dinda. Namun, ia segera menyadari karena bisa menimbulkan ketidaknyamanan pada Dinda. "Kalau gitu kamu harus suport, Ar!" nasehat Bunda. "Bunda setuju sama keputusan Dinda. Kita nggak bisa memastikan ekspektasi kita tepat saat udah nikah. Bisa aja saat kita ngerasa bisa ngelakuin keduanya ternyata malah enggak sama sekali. Ya, kayak gini. Bunda paham sama yang dikhawatirkan Dinda," lanjut Bunda membuat Dinda mendongak dan melempar senyum tipis kepada wanita paruh baya yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri sejak beberapa tahun yang lalu. "Makasih, Bunda," ucap Dinda. Dinda jadi merasa bersalah sendiri kepada Ardan dan orang tuanya. *** Entah semua wanita seperti ini atau hanya Dinda saja. Saat berada di pesta pernikahan Adel, Dinda membayangkan berada di panggung itu bersama Ardan. Saat Dinda tahu kalau Ardan ingin dijodohkan rasanya Dinda ingin menarik penghulu untuk segera menjadikan Ardan miliknya agar tidak dijodohkan dengan yang lain. Namun, saat mereka sudah berada di dalam hubungan ini dan jalan untuk berada di ikatan suci di depan mata, entah kenapa rasa gugup menyerang Dinda. Segala macam pikiran bertumpang tindih memenuhi kepalanya. Membuat nyalinya ciut dan berakhir dengan kata 'belum siap'. Mau curhat kepada Adel tentang masalah ini pun Dinda merasa tidak enak. Setelah dipikir-pikir memang sejak berpacaran dengan Ardan. Apa pun masalahnya, Dinda tidak pernah curhat kepada Adel. Selain karena malu, Dinda pun tidak mau melihat reaksi Adel nantinya. Berada di posisinya dan berantem dengan Ardan atau sependapat dengan Ardan dan bertengkar dengannya. Kedua-duanya bukan pilihan yang Dinda mau. Karena itulah Dinda tidak bisa leluasa bertukar pendapat dengan Adel. Padahal Dinda yakin kalau Adel bisa membantunya mengatasi kegugupan ini. "Din." Dinda mendongak. Ardan memegang kepalanya dan mengecup keningnya. "Mikirin apa sih." Dinda tengah duduk di taman belakang rumah Bunda. "Lagi liat itu." Dinda menunjuk ikan peliharaan Bunda. Lalu ia melihat ke atas yang tidak ditutupi atap. "Itu kalo hujan, ikannya kehujanan nggak kedinginan, ya, mereka?" "Biasanya, sih, dipakein jaket sama Bunda," jawab asal Ardan sambil ikut duduk di samping perempuan itu. "Dikasih wedang jahe nggak?" "Iya. Sama jagung bakar. Udah kayak di puncak nggak tuh." Tawa Dinda membuncah. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu lelaki itu. Mereka terdiam. Hanya ada suara percikan air dari kolam ikan di depan mereka dan suara napas masing-masing. Keduanya sama-sama terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. "Dan." "Hmm." "Keluar, yuk." "Ke mana?" Dinda tidak tahu ke mana. Ia hanya ingin jalan keluar. Kemudian Ardan berdiri. Membuat Dinda yang tengah bersandar ikut menegapkan tubuhnya. "Ke lapangan komplek aja, yuk. Mau main badminton?" Dinda mengangguk cepat. "Aku ambil raket dulu. Kamu tunggu di luar aja." Dinda mengangguk lagi seperti anak kucing lalu berjalan keluar. Dalam hati Dinda merasa sedikit tenang. Sikap Ardan yang seperti ini yang membuat Dinda dari dulu menyukai lelaki itu. Ardan selalu tahu cara agar hubungan mereka tidak menjadi ruwet. Ia selalu berusaha agar hubungan yang mereka jalani tidak menimbulkan kegelisahan satu sama lain. Ardan tahu cara membuat Dinda nyaman. Itulah yang dapat perempuan itu simpulkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD