Canggung

1017 Words
“Ya udah, kita masuk dulu,” kata Ardan memecah kecanggungan. Dinda pegawai kasirnya? Berarti maksudnya ia akan bertemu dengan cewek itu selama enam hari?! Gila! Bagaimana bisa perempuan yang paling ia hindari justru menjadi partnernya dalam bekerja. "Itu lo makan dulu aja." Ardan melirik kantung yang Dinda bawa. Kemudian ia berjalan menuju satu ruangan yang terletak di bagian belakang toko itu, sejajar dengan meja kasir, tetapi berada dalam ruangan. Di meja kasir itu Dinda menyantap sarapannya. Kini, di kepala Ardan muncul pemikiran lain. Bagaiamana dia harus bersikap, apakah dia harus mundur dari sini dan memilih mencari pekerjaan lain. Ia tidak membenci perempuan itu, hanya saja Ardan enggan berkomunikasi lagi dengan dia. Melihat Dinda jadi mengingatkannya pada sikap bodohnya dulu. Ardan ABG yang mengacaukan hidupnya hanya karena patah hati. Sejam berlalu. Sudah beberapa pelanggan yang mendatangi tokonya. Beberapa kali Dinda seperti kesulitan, tetapi Ardan sama sekali tidak bergerak untuk membantunya. "Gue harus jaga jarak sama dia," tekadnya. *** "Popok bayi." Dinda membaca daftar barang yang harus ia cek hari ini. Perempuan itu menelusuri setiap lorong rak. "Ah, di sana," ucapnya ketika menemukan deretan barang yang ia cari. Dinda bertolak pinggang. Kepalanya mendongak membaca tulisan di rak paling atas. "Nggak ada yang lebih tinggi lagi dari itu?" Entah karena tingginya yang minimalis atau memang raknya yang ketinggian. Dinda celingak-celinguk mencari kursi atau tangga kecil yang dapat ia gunakan untuk meraih rak paling atas. Untungnya ia mendapatkan itu di bawah meja kasir. Saat Dinda susah payah meraih rak paling atas, suara pintu ruang kerja Ardan terdengar. Dinda tersenyum tipis, mungkin saja Ardan mau membantunya. Namun, senyumnya pudar saat pintu toko kembali berbunyi disertai dengan suara bariton cowok itu. "Gue keluar dulu, ya." Dinda melongo. Beberapa popok yang tak sengaja tersenggol tangannya jatuh menimpa kepalanya. "KELUAR DULU?!" jeritnya tertahan. Cewek itu berdecak lalu meniup kesal poninya. "Gue lagi kesusahan gini dan dia seenaknya pergi tanpa nolongin?" Ia tertawa garing. "Ahaha iya juga namanya juga bos. Tapi cueknya parah sih!" gerutu dia sambil turun dari kursi kecil itu dan mengumpulkan barang-barang yang jatuh ke lantai. Bohong kalau Dinda tidak merasa bahwa Ardan sedang berusaha menjaga jarak. Buktinya saat tadi ia kesulitan mencari barang, padahal Dinda sudah berbicara dengan nada yang keras. "Duh, cukur kumis di rak yang mana, ya!" Dinda yakin Ardan mendengarnya, tetapi laki-laki itu sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Dinda tak membayangkan bagaimana seterusnya ia akan bekerja di sini. Setidaknya Dinda harus bertanya terang-terangan untuk meyakinkan bahwa Ardan sudah tidak ada dendam padanya. Pintu toko kembali terbuka. Dinda menoleh dan bersiap menyambut pembeli yang datang. "Ada Ardan?" tanya lelaki yang baru masuk itu. Dinda mengerut, wajah cowok ini tampak tak asing. Ah, iya ini teman SMA Ardan dulu. "Tadi keluar," jawab Dinda sambil memasang senyum ramahnya. Kevin memperhatikan wajah Dinda dengan serius, matanya mengerjap sembari mengingat wajah yang tak asing baginya itu. "Lo?" "Dinda, temen SMP Ardan. Dulu kita pernah ketemu pas Ardan di rumah sakit." Mata Kevin membulat, jarinya menjentik saat ia mengingat kejadian itu. "Oh, iya bener. Lo yang nemenin Ardan pas itu!" Kevin tertawa girang. "Kok bisa di sini?" Dinda tidak tahu apa maksud pertanyaan Kevin. Kok bisa di sini merujuk pada Dinda yang ada di sini, jelas-jelas jawabannya karena Dinda pegawai kasir. Atau merujuk pada alasan Dinda jadi pegawai kasir? Kalau pertanyaan ke dua tampaknya Kevin sudah kelewat batas. "Maksud gue, ini cuma kebetulan atau udah direncanain kalau kerja di tempat Ardan?" "Oh!" Dinda terkekeh. "Kebetulan kok." Dia sudah salah paham. Kevin menggaruk kepalanya. Dia hampir keceplosan. "Btw, Ardan masih lama, ya? Ruangannya di mana biar gue tunggu di ruangannya aja." Dinda menunjuk pintu yang terletak di sudut dekat kasir. "Itu. Kalau lamanya gue nggak tau, soalnya Ardan baru keluar." Kevin mengangguk sekilas. "Oke gue masuk dulu." "Iya, silakan," ucap Dinda ramah. Dinda harap Ardan cepat-cepat balik. Ah, ia seharusnya meminta nomor lelaki itu agar dapat menghubunginya saat ada tamu yang mau bertemu dengan Ardan. "Oh, iya gue bukan tamu!" Kevin berbicara tiba-tiba dengan kepala menyembul dari ambang pintu. Hal itu membuat Dinda terperanjat. "Baik, Mas." Dinda mengelus dadanya, jantungnya terasa mau copot karena terkejut. "Hehe, kaget, ya." Hehe? Gila kali dia malah ketawa gue udah mau meninggoy karena kaget, batin Dinda kesal. "Maaf, ngagetin, nggak sengaja," kata Kevin seperti memahami isi hati Dinda. "Iya, Mas, kaget banget mana kepalanya melayang." Kevin menoleh ke tubuhnya. Ah, iya, badannya di balik pintu dan yang keluar hanya kepalanya. "Din, panggil Kevin aja jangan Mas, kan seumuran." Dinda mengangguk sekilas. "Okey, Kevin." "Manggil Masnya nanti aja, kalo udah jadian," kata Kevin lalu buru-buru masuk ke dalam ruangan Ardan. "Hah?" Apa Dinda tidak salah dengar? Gombal di hari pertama kenalan? "Hehe, cringe banget," bisik Dinda pada dirinya sendiri. Ia benar-benar berharap Ardan cepat balik ke toko. Ardan, di mana kamu?! *** Kening Ardan bertaut kala ia mengenali mobil CRV hitam milik seseorang. "Ngapain tu beruk ke sini sih." Dengan cepat Ardan membuka helmnya. "Di mana anak beruk?" kata Ardan spontan ketika membuka pintu tokonya. Mata Dinda melebar, mulutnya terbuka, ekspresi yang Ardan tahu bentuk keterkejutan. "Oh, maksud gue pemilik mobil di depan." "Kevin?" Alis Ardan naik satu. "Kenal?" Aish, kenapa juga dia peduli Dinda kenal Kevin atau tidak. "Mm, maksud gue, iya Kevin. Di mana?" Baru saja Dinda hendak menjawab, Kevin sudah menyela. "HALO HONEY!" "Ck, anak beruk," desis Ardan. Ardan berlalu melewati Dinda untuk masuk ke ruangannya. Sedangkan Kevin sebelum ikut masuk ia menyempatkan diri tersenyum dan melambai pada Dinda. "Ngapain ke sini?" tanya Ardan saat pintu ruangannya tertutup. "Bosen di rumah lo." "Belum pulang juga?" Kevin mengendikkan bahu. Ia memiringkan kepala sekilas untuk menunjuk Dinda yang ada di depan. "Mantan lo kan itu?" Ardan berdehem. Ia membuka laptopnya kembali untuk menyelesaikan laporan keuangan yang akan ia berikan kepada ayahnya. Ya, memang, untuk enam bulan pertama kinerja Ardan masih dalam pantauan ayahnya. "Lo yang rekrut?" "Bukan gue." Kevin mengangguk pelan. "Kebetulan." Cowok itu berbalik. Ardan dapat melihatnya dari ekor mata. "Mau ke mana?" "Mau nolongin cewek yang ada di depan. Kasihan tuh banyak pembeli kayaknya." Ardan berdecih, siluman buaya memang. Fokus Ardan sedikit kabur saat menyadari Kevin mendekati Dinda. Sialan tu anak beruk! umpat Ardan dalam hati
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD